[Dek, mbak mo curhat, tapi Bulik jangan tau ya, kita ketemuan di tempat biasa] isi pesan masuk dari mbak Karin, kakak sepupuku yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. [Iya mbak, kapan?] pesannya aku jawab [Besok aja ya, kerjamu kan libur, mbak juga sempatnya besok]
Keesokan harinya kami pun bertemu di sebuah mall yang letaknya pertengahan antara rumahku dan rumah mbak Karin. “Mba … ada apa?” tanyaku kemudian kepada mbak Karin setelah duduk disampingnya. “Mas Ardi, dek! Dia ketahuan selingkuh lagi!” kata mbak Karin dengan suara pelan. “Apa? Lagi?” aku benar-benar terkejut mendengarnya. Kukira mas Ardi sudah benar-benar insyaf, lima belas tahun pernikahan sudah dua kali berselingkuh, yang terakhir dilakukannya beberapa tahun lalu, tapi kala itu ia sungguh-sungguh berjanji tidak akan mengulanginya. “Ini sudah yang ketiga kali mbak, dengan siapa?” tanyaku lagi. “Dengan teman kantornya … malah berencana mo menikah” terlihat mbak Karin berusaha menahan air matanya yang mau tumpah. Aku memeluknya dan berusaha menenangkannya. “Tidak tahu di untung memang mas Ardi, dulu selingkuh dengan tetangga, sekarang selingkuh dengan teman kantor, dia itu memang bukan tipe lelaki setia mbak …” “Dek, apa kurangnya mbak coba? selama ini mbak sudah menerima mas Ardi apa adanya, mbak sabar menghadapi keluarganya, mbak sudah bantu-bantu kerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, apa masih kurang?” mbak Karin mulai terisak. Kuusap-usap bahunya dengan lembut. “Menurutku mbak Karin istri yang baik bahkan terlalu baik, mas Ardi saja yang keterlaluan, lalu apa mbak sekarang mau memaafkan dan menerimanya lagi?” “Mbak masih mencintai mas Ardi, dek, dan mas Ardi juga tidak mau menceraikan mbak” “Mencintai saja ngga cukup mbak, mbak butuh dicintai juga dengan sepenuh hati, jika mas Ardi berbuat seperti itu berarti dia ngga mencintai mbak sepenuh hati, rasanya sudah cukup mbak bersabar untuk mas Ardi. Bukankah kesetiaan, tanggung jawab dan komitmen itu penting dalam pernikahan?, walaupun aku belum menikah tapi aku tahu, mbak bisa lihat pernikahan orangtuaku, orangtua mbak, puluhan tahun masih terjaga, itu karena mereka saling menjaga perasaan satu sama lain” “Iya dek, lalu bagaimana dengan anak-anakku nanti?” “Aku rasa Arin dan Dika akan baik-baik saja mbak, mereka bukan anak kecil lagi, mereka sudah beranjak remaja, mereka akan mengerti jika diberi pengertian, dan menurutku hal ini harus dibicarakan juga ke ibu dan bapak, mereka pasti akan mengerti ini mbak”
Di rumah orangtuaku, kami berkumpul, aku, mbak Karin, mas Ardi, dan kedua orangtuaku. “Ardi … Karin sudah cerita semua sama kami, bukan mau ikut campur, tapi Paklik rasa kelakuanmu sudah keterlaluan” “Saya mencintai Karin dan juga teman kantor saya Lik, apa itu salah?” “Seperti itu masih juga kamu tanyakan? Kamu punya adik perempuan kan? Kalau adikmu diperlakukan juga seperti itu, kamu mau?” tanya bapak “Ya ngga lah, Lik” jawab mas Ardi “Berarti kamu itu mau menang sendiri, mau enaknya sendiri saja. Kalian sudah belasan tahun menikah harusnya kamu kuat dengan godaan wanita yang belum jelas kebaikannya seperti istrimu ini?” kata bapak lagi. “Saya ngga bisa menahan perasaan saya Lik, saya ingin menikahi Risa, teman kantor saya itu, tapi saya ngga mau menceraikan Karin, karena saya ngga tahu bagaimana kehidupan saya nanti dengan Risa?” “Enak sekali bicaramu Ardi! Hawa nafsu saja yang kamu turuti. Kamu pikir gampang apa punya istri dua!? Tanggung jawabnya berat nanti di akhirat. Istrimu saja harus ikut pontang panting cari uang untuk menutupi kebutuhan kalian, sekarang mau punya dua istri, terus kamu takut ngga bahagia sama dia, kamu bisa kembali pada Karin, begitu? Lelaki macam apa kamu?” suara bapak meninggi. “Saya tetap pada pendirian saya ingin menikahi Risa, saya ngga mau menggugat cerai Karin. Jika Karin nekat menggugat cerai, saya minta rumah kami dijual saja dan saya minta bagian saya” jawab mas Ardi enteng tanpa memikirkan nasib anak-anaknya jika rumah mereka dijual. Aku tahu selama ini mbak Karin yang membayar cicilan rumah dan membayar semua biaya renovasi rumah. Mendengar hal itu rasanya ingin sekali kutampar wajah lelaki itu. Tapi mbak Karin yang duduk di sebelahku terlihat sabar dan tegar.
“Ardi, kedua anakmu sudah besar-besar, harusnya kamu memikirkan untuk biaya pendidikan mereka, kuliah mereka, jangan urusan bawah perut saja pikiranmu!, kamu ngga takut anak-anakmu membenci bapaknya?!” kata bapak lagi dengan keras. “Hidup kita sudah ada yang mengatur Lik, saya cuma menjalankan saja” kata mas Ardi tanpa merasa bersalah. “Ingatlah Ardi, umurmu makin bertambah, kalau ngga dari sekarang kamu berbuat baik dengan keluargamu, kapan lagi? Atau kamu mau ditinggalkan dan sendirian di masa tuamu nanti!” bapak masih berusaha menasihati, tapi dasar mas Ardi, lagi-lagi memberi jawaban yang seenaknya. “Kalau soal itu, bagaimana nanti saja Lik!” jawabnya.
Bapak menghela nafas berat mendengar perkataan mas Ardi, ada marah yang tertahan. ”Kamu dengar itu Nduk, apa pemimpin rumah tangga yang seperti ini akan terus kamu bela?” tanya bapak. “Saya pasrah Lik, saya akan pikir-pikir dulu” jawab mbak Karin. “Ya sudahlah, terserah kamu Nduk, sekarang kamu boleh pergi Ardi, biar Karin di sini dulu!” kata bapak marah. Ardi pun bergegas pergi.
“Yang sabar ya Nduk dan ingat! … kamu harus pikirkan kebahagiaanmu dan anak-anakmu” bapak menguatkan mbak Karin. Karin tertunduk menyender di bahu ibu. “Iya Karin, buatlah keputusan yang benar. Bulik rasa itu sudah menjadi tabiat Ardi, ia akan seenaknya mengulangi dan mengulangi lagi perbuatannya, apa kamu sanggup menanggung beban yang seperti itu terus?” kata ibuku “Mbak Karin, kalau aku jadi mbak, aku akan langsung menggugat cerai lelaki seperti mas Ardi itu, bukannya berubah sudah dimaafkan malah mengulangi terus, coba saja nanti kita lihat, dia ngga akan bahagia dengan si Risa itu!” kataku dengan geram. “Hush Nella, jangan bicara seperti itu, biarkan mbakmu tenang dulu, jangan dipanas-panasi” kata bapak. “Habisnya Nella geram pak, kok ada ya lelaki seperti itu, mau enak sendiri saja, mbak Karin juga sih terlalu sabar!” jawabku. “Karin, kami ngga bisa banyak membantumu, kamu lah yang akan merasakan dan memikul segala hasil keputusanmu sendiri, tanya hatimu mana yang terbaik untukmu dan anak-anakmu” ibu menambahkan.
“Paklik … Bulik …, hatiku memang sakit, tapi banyak sekali hal-hal yang kupertimbangkan, aku masih mencintainya, dan aku juga ngga mau rumah kami dijual, aku masih bingung …” “ mbak Karin menutup kedua wajahnya, ia galau. Aku semakin gemas mendengar pernyataan mbak Karin. Dari ucapannya rasanya mengisyaratkan kalau mbak Karin mau memaafkan mas Ardi lagi. Aku, bapak, dan ibu hanya saling pandang tidak dapat berbuat apa-apa.
Cerpen Karangan: Zusan W