Aku menatap jalan raya yang dilalui bising kendaraan yang lalu-lalang. Polusi dan riuhnya klakson yang saling bersahutan sudah tak lagi aku risaukan. Yang ada di jemalaku hanyalah awan hitam tebal yang siap menjatuhkan hujan dan pasukannya dengan tiba-tiba. Aku memandangi berbagai manusia lewat kaca mobilku yang transparan. Banyak dari mereka mengutuk jalan raya hanya karena ingin cepat sampai tujuan. Berbanding terbalik denganku yang justru tidak ingin perjalananku sampai pada tempat itu.
Bandara selalu menjadi tempat terkutuk. Bandara adalah tempat paling kejam yang berani merenggut bulan sabit di wajahku sejak lima tahun lalu. Bandara memang selalu melibatkan dua peristiwa kembar yang tidak asing bagi kita, pertemuan dan perpisahan. Sebagian orang terlihat antusias menyambut pertemuan. Sebagian yang lain justru harus menerima kenyataan getir karena penantian mereka berujung pada pahitnya perpisahan. Dua peristiwa yang bersahabat dengan makhluk kecil seperti kita. Peristiwa yang kedatangannya sudah digariskan semesta tanpa bisa ditolak kedatangannya.
Setelah sekian lama, aku menginjakkan kaki dengan setengah hati pada tempat ini. Peristiwa lima tahun lalu masih segar dan menempel di kepalaku seperti film pendek yang terngiang tiada henti.
“Fay, kamu disini?” tanya seseorang yang suaranya tak asing di telingaku. Aku menoleh, kemudian membenamkan wajahku dalam dekapannya. Hujan dan pasukannya sudah tidak tahan untuk jatuh dan melebur bersama inti kesedihanku. Tak perlu waktu lama, pelupuk mataku sudah dibanjiri air mata. Dengan lapang, kulanjutkan kalimatku, “Ann, kejadian itu berputar di kepalaku. Aku tidak bisa menghentikannya, Ann. Aku membenci bandara, aku mengutuk segala yang berhubungan dengan tempat ini. Tapi kenangan terakhir yang tersisa bersama keluargaku hanyalah tempat menyebalkan ini.” “Tidak apa-apa bila nelangsa itu kamu bagi bersamaku, Fay. Kamu tahu bahwa kamu tidak menelan itu sendirian.” ujar Ann mencoba meneguhkanku. Ann, manusia yang menjadi sandaranku sejak lama. Tempatku berbagi nelangsa. Entah kenapa gadis ini sudi tenggelam bersama kepedihanku. Ia rela membagi separuh jiwanya merasakan kemalangan yang harusnya tak ia rasakan. Aku memang manusia paling egois di bumi. Aku membiarkan manusia lain terjebak dalam ceritaku, padahal bisa saja ia akan ikut mati bersamaku.
Ann menyuruhku untuk menenangkan diri selagi ia mengambil air mineral. Saat ini, bandara sedang ramai. Aku menyaksikan peristiwa pulang dan pergi dalam waktu bersamaan. Ada sepasang suami istri yang berpamitan dan meninggalkan pelukan hangat diiringi lambaian tangan. Ada pula seorang gadis yang dari tadi memperhatikan setiap orang yang lalu-lalang, ia terlihat menunggu seseorang pulang untuk menemuinya. Aku tersenyum kecil dan berkata, “Sungguh, tidak ada satupun manusia yang bisa menjamin soal pulang dan pergi.” Mereka yang pergi tidak selamanya pulang dan mereka yang pulang tidak akan menjamin semuanya kembali utuh. Manusia mana yang bisa mengatur pulang dan pergi? Bila ada, sudah lama ia aku temui dan kubujuk untuk mengirim keluargaku yang tidak kunjung kembali hingga detik ini.
07 April 2016 Hari itu harusnya menjadi hari liburan keluarga yang sudah lama kami rencanakan. Ayah menunda pekerjaannya. Begitu pula dengan Ibu yang membatalkan janji dengan beberapa klien. Belakangan ini, mereka sibuk dengan pekerjaan. Sampai suatu ketika, ide liburan itu tercetus lewat mulut adikku, Kay. Ibu sangat merasa bersalah karena tidak menghabiskan banyak waktu bersama kami. Ia tidak ingin melewatkan masa tumbuhnya anak-anak mereka, tapi urusan pekerjaan yang tidak berkesudahan membuat situasinya semakin menyulitkan. Oleh sebab itu, mereka berpikir kalau rencana liburan adalah ide bagus untuk menghabiskan waktu bersama.
“Fay, perlengkapanmu sudah siap? Sebentar lagi kita berangkat. Jangan sampai ada yang ketinggalan, ya. Kamu suka lupa kalau nggak diingetin.” kata Ayah mengingatkanku perihal barang. Ayah selalu rutin mengingatkanku soal hal-hal kecil. Ia tahu kalau aku memang manusia paling pelupa di bumi. “Sudah, Yah. Kali ini, Fay tidak akan lupa.” “Kak, Kay udah nggak sabar ke Banda Neira! Kay mau main sama lumba-lumba di sana. Nanti kita lihat laut biru beneran. Kata Ibu, Banda Neira itu salah satu surga. Kay makin nggak sabar, Kak!” seru Kay kegirangan. Banda Neira sudah lama membuat kami jatuh cinta. Ayah dan Ibu juga sering menceritakan kepada kami betapa indahnya Banda Neira, mereka ingin kami juga jatuh cinta. “Kalian harus kenalan juga sama Pak Ahmad, salah satu nelayan yang Ibu dan Ayah kenal sewaktu di sana. Ibu juga sudah menghubungi Pak Ahmad kalau kita akan tiba di sana. Beliau dengan senang hati menerima dan membantu kita di sana.” timpal Ayah sembari memasukkan barang kedalam mobil. “Hore! Kay nanti mau minta Pak Ahmad bawa kita ngelepas perahu kertas ini. Kay sudah lama buat perahu kertas ini untuk kita lepas sama-sama di Banda Neira.” seru Kay. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang lucu dan menggemaskan.
Perjalanan dari rumah ke bandara memakan waktu 15 menit. Selama perjalanan, kami menikmati suasana dengan penuh kehangatan. Semuanya nampak berjalan dengan lancar sampai ketika kami sampai di bandara, Ayah mendapat telepon dari Paman yang mengabarkan kalau Nenek dirawat di rumah sakit. Raut wajah kami berubah seketika, terutama Kay yang sangat ingin ke Banda Neira.
10 menit sebelum keberangkatan, kami mencari solusi. Dan akhirnya, Ayah menyuruhku untuk tidak ikut liburan kali ini dan menjaga Nenek di rumah sakit. Dengan berat hati, aku memutuskan untuk tinggal. Kay menangis tersedu-sedu karena aku tidak ikut.
“Kak Fay harus ikut ke Banda Neira.” “Nggak apa-apa, Kay. Nanti sering-sering telepon Kakak, ya.” “Nak, kami pasti kembali. Kami nggak mungkin ninggalin kamu sendiri lama-lama. Harusnya rencana kita nggak seperti ini tapi kita nggak bisa berbuat banyak. Ayah, Ibu, dan Kay akan kembali.” Mendengar kalimat yang barusan keluar dari mulut Ibu membuat dadaku rasanya ditikam seribu anak panah. Ini bukan salam perpisahan karena mereka pasti akan kembali tapi entah kenapa perasaanku tidak bisa dibohongi.
Setelah dari bandara, aku berangkat ke rumah sakit. Aku sempat tertidur sebentar di sebelah Nenek. Tak terasa, sudah pukul 5 sore. Harusnya mereka sudah tiba dua jam yang lalu tapi ponsel Ayah dan Ibu sangat sulit dihubungi. Tak lama kemudian, siaran televisi mulai ramai mengabarkan bahwa pesawat yang mereka tumpangi mengalami hilang kontak dan diduga mengalami kecelakaan.
Hari ini, aku memberanikan diri untuk ke bandara ini lagi. Aku menuju Banda Neira, sendirian. Semoga kelak aku bertemu Pak Ahmad. Nelayan baik itu akan membantuku melepas empat perahu kertas buatan Kay di tengah laut biru lepas. Banda Neira, tunggu kami di sana. Walau kata ‘kami’ sebenarnya tidak akan ada lagi dalam cerita ini.
Cerpen Karangan: Wafiqoh Maulidia Blog / Facebook: Antologi Aksara Bukan seorang ahli meramu kata tetapi suka merangkainya menjadi kalimat dan paragraf yang bermakna.