Tempat ini tak pernah lengang. Selalu sibuk dengan aktivitasnya, hilir mudik orang berlalu lalang. Ada yang datang dengan wajah pias penuh ketakutan, lalu harus pulang dengan isak tangis kesedihan. Ada yang saat datang, tak ada keyakinan sama sekali di wajahnya. Hanya putus asa dan pasrah. Namun, wajahnya merekah saat terdengar kabar baik tentang keluarganya. Ada yang menaruh harap pada orang-orang di sana, namun harus melahap pil pahit kekecewaan.
Seperti yang kulihat sekarang, seorang wanita muda terduduk di atas kursi roda. Rambut di kepalanya telah hilang, wajahnya pucat. Namun mampu menatap dunia dengan tawa, tanpa menyembunyikan luka. Kalian tahu, penyakit yang dideritanya mungkin begitu hebat. Hingga membuat kepalanya bersih, tanpa sehelai rambut pun. Tuhan mungkin memberinya anugerah dada yang lapang, sehingga hatinya begitu tenang. Tak merasa harus meneriakkan keluh kesahnya, pada dunia yang bahkan untuk peduli pun tidak.
Begitu pun denganku, terbaring lemas di atas ranjang dengan selang infus yang membatasi gerak. Aku hanya kesulitan untuk berjalan, tetapi kondisi itu dengan sempurna mengurungku selama seminggu di sini. Ruang sempit dengan bau obat-obatan yang menyengat, terkadang membuatku mual. Apalagi harus beradu sakit dengan lima sampai enam orang dalam satu ruangan.
Kamar inap yang kutempati tak terlalu luas, bahkan bisa dibilang sempit. Telah menjadi ketentuan rumah sakit, bahwa pasien kalangan bawah seperti kami harus bertempat di sini. Dengan satu kamar mandi, kami harus mengantre terlebih dahulu. Dan itu sangat merepotkan, seperti kejadian kemarin.
“Bu, cepetan! Anak saya mau muntah, nih!” seorang ibu muda yang menggendong balita berteriak sambil menggedor pintu kamar mandi. “Sebentar, mbak! Masih panggilan alam,” sahutan dari dalam membela dirinya.
Sementara sang balita yang tak tahan lagi, ia keluarkan semua isi perutnya di depan pintu kamar mandi. Kelar. Masalah yang terjadi selanjutnya, bau itu menyebar ke seisi ruangan. Belum lagi adu mulut antara dua ibu muda yang tak mau mengalah satu sama lain. Begitulah keadaan sebenarnya di rumah sakit yang terlihat begitu mewah dari luar.
Hilang sudah stigma masyarakat yang menganggap bahwa rumah sakit adalah tempat istirahat paling tepat untuk orang sepertiku. Nyatanya tidak. Jika boleh memilih, lebih baik aku berada di rumah tanpa seorang perawat. Daripada harus bertahan di tempat yang bahkan untuk menghirup udara segar saja sulit.
Sementara menunggu jam periksa dokter, aku mencoba menggerakkan kaki. Meskipun begitu sulit, tapi aku berusaha keras melatihnya. Jika aku membiarkan seperti ini terus, lama-kelamaan kedua kaki ini semakin kaku. Dan aku tak mau itu terjadi.
Tak berselang lama, seorang dokter muda datang ditemani oleh beberapa perawat. Dengan telaten, memeriksa pasien satu persatu. “Bagaimana, apa sudah bisa gerak kakinya?” tanya dokter dengan ramah. Aku tersenyum getir, “Masih sulit, Dok. Kaki saya tak bisa digerakkan.” “Penderita polio paralitik memiliki gejala kelumpuhan pada syaraf tulang belakang, batang otak, maupun keduanya. Itu bisa jadi permanen maupun sementara. Kamu harus meminum obat tepat waktu dan mengikuti proses penyembuhan dengan disiplin. Supaya benar-benar sembuh.” “Iya, Dok.”
“Terus, kapan saya boleh pulang?” tanyaku serius. Dokter itu menatapku dengan teduh, tersenyum. “Kalau sudah sehat betul, Nak.” Aku menghembuskan napas kasar.
Seminggu terkurung di tempat ini membuat mentalku makin memburuk. Kedua kaki ini seperti lemas dan tak bertenaga, sehingga sulit sekali untuk digerakkan. Aku harus menunggu seseorang datang menjenguk untuk bisa meminum obat. Tak seperti pasien lain, aku sendiri di sini. Jarak antara kampung halamanku dengan rumah sakit ini cukup jauh. Sehingga Emak harus naik turun angkot untuk bisa sampai di sini.
Dalam titik terendah seseorang, rasa putus asa seringkali hinggap. Pikiran negatif seperti menghindar untuk pergi, selalu menghantui saat aku sendiri. Membisikkan kata-kata yang justru membuatku semakin terpuruk dan menyalahkan keadaan. Saat semua usaha sudah dilakukan, namun belum ada satu pun yang membuahkan hasil. Pelampiasan paling sederhana yang bisa kulakukan adalah menangis.
Malam itu, aku tersedu dalam diam. Hening. Saat semua orang sedang terlelap dalam mimpinya, aku menangis dalam kesendirian. Rinai hujan dan dinginnya malam menemani tangisku. Bertanya-tanya, mengapa Tuhan menakdirkan demikian.
“Banyak orang di dunia ini, kenapa harus aku.” Ratapku dalam hati, tanpa suara. Diam seolah menjadi jawaban. Dalam kondisi terpuruk seperti ini, seharusnya ada orang yang memberiku semangat. Meyakinkan bahwa masa untuk sembuh pasti tiba. Atau bahkan sekedar mengingatkan diriku pada nasehat lama, bahwa selalu ada hikmah dibalik setiap musibah. Aku tak ingin egois, tapi bolehkah sekali saja aku menangis? Ketika harus merasakan sesak ini sendiri, tanpa seorang pun teman. Aku terus tersedu hingga lelap dalam malam yang syahdu.
Siluet mentari menelisik lewat celah jendela, membuka mata yang terpejam semalam. Kulihat Emak terlelap di samping ranjangku, entah sejak kapan. Wajahnya tampak kelelahan setelah seharian bekerja, namun tetap pergi ke sini untuk menemaniku. Aku mengusap tangannya yang kasar, kerja berat tak pernah membiarkan dirinya beristirahat.
“Maaf, Mak. Andai saja aku nggak sakit,” ucapku begitu lirih. “Ngomong apa to?” jawabnya sembari mendongakkan kepala. Matanya mengerjap, mengumpulkan nyawa yang belum utuh sepenuhnya. Aku mengalihkan pandangan, tak tahu jika Emak mendengar ucapanku barusan. Aneh rasanya jika mengutarakan isi hati padanya, sebab aku tak begitu dekat dengan Emak.
“Emak tahu kok, semalam kamu nangis ‘kan?” tanyanya menyelidik. “Maaf nggak bisa nunggu kamu terus kayak yang lain. Kamu tahu sendiri ‘kan, adikmu itu masih kecil. Dan Emak harus bekerja buat kalian,” tuturnya.
Aku memang tak berhak untuk egois, anak pertama adalah harapan keluarga. Aku yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga sepeninggal Bapak. Namun, sakit ini menahanku agar tetap di sini. Bukan membantu, justru membuat keadaan semakin kacau.
“Lin, yang kuat. Anak pertama tanggung jawabnya besar, tapi membuat anak-anak Emak bahagia itu jauh lebih besar lagi. Jangan terbebani sama keadaan ini, masih banyak yang nasibnya nggak sebaik kamu.” Emak menatapku dalam, mengusap rambutku lembut. Tatapannya teduh dan menenangkan. Senyumnya tak hanya meyakinkanku untuk tegar, namun menyingkap segala ragu yang selama ini hinggap. Aku membalasnya dengan anggukan. Dan kembali termenung.
Kulihat dari jendela, wanita di seberang kamarku itu tengah berjemur. Kepala yang bersih tanpa sehelai rambut itu menyilaukan mata, bahkan jiwa. Aku seperti tertampar olehnya yang tegar. Lihat, dalam kondisi menyedihkan seperti itu ia masih mampu bersemangat. Semangat untuk sembuh, bertahan dalam keadaan yang terkadang menyesakkan.
Aku meminta Emak mengambilkan sebuah buku catatan di atas nakas. Segala kesah yang membuat resah ini harus segera dienyahkan. Aku harus bisa bangkit dari keterpurukan ini, mewujudkan mimpi yang selama ini terbungkus rapi. Bait syair meluncur begitu saja dalam goresan pena. Meski dengan tangan yang bergetar hebat, aku akan tetap menulis.
[Untuknya yang kini berjuang Dia rapuh, namun harus bersembunyi dibalik topeng ‘tangguh’ Dia lelah, namun harus bersikap tabah Dia lemah juga payah, namun tak pernah sedikit pun berkeluh kesah Dia hampir jatuh, namun tekad besar membuatnya teguh]
Cahaya mentari menyelinap masuk melewati celah jendela. Memberikan suasana hangat setelah hujan semalam. Dari balik jendela dapat terlihat kesibukan di kota. Kendaraan yang lalu lalang, pedagang yang mulai bersiap membuka lapaknya, dan anak-anak sekolah yang berpakaian seragam rapi. Mereka tampak bersemangat memulai aktivitasnya.
Jam menunjukkan pukul 8.45. Itu berarti waktu kunjungan dokter lima belas menit lagi. Dalam hatinya berharap mendapatkan kabar baik hari ini, boleh pulang misalnya.
“Keluarga Lintang Almira!” seru petugas memanggil nama Lintang. Emak bergegas mendekat. “Ditunggu dokter di ruangannya,” ucap petugas sembari berlalu mengantarkan Emak. Lintang senang bukan kepalang, mungkin izin untuk pulang telah datang. Kerinduannya pada sekolah akan segera terobati.
Sementara di ruangan dokter, Emak menunduk. Kabar yang baru saja didengarnya membuat persendiannya lemas seketika. Air matanya tak terbendung lagi.
“Seperti yang pernah saya bilang, polio bisa menyebabkan kelumpuhan permanen. Virus polio yang masuk melalui rongga mulut akan menyebar ke saluran pencernaan, aliran darah, dan berakhir di sistem syaraf pusat. Masuknya virus ke bagian itulah yang menyebabkan kelumpuhan.” Dokter menjelaskan panjang lebar, tetapi Emak tak mampu lagi untuk konsentrasi. Satu-satunya yang ia pikirkan adalah bagaimana memberi tahu putrinya tentang semua ini.
Sementara, Lintang tak mampu lagi menyembunyikan senyumnya saat Emak tiba bersama dokter. Seorang perawat mengikuti dari belakang, dengan mendorong kursi roda. Itu berarti ia boleh pulang hari ini.
“Hai, Lintang!” sapa Dokter ramah. “Halo, Dokter. Saya boleh pulang sekarang?” tanyanya antusias. Dokter muda itu mengulum senyum, “Tentu. Kamu sudah sembuh, mau ngapain lagi di sini?” gurauan Dokter membuat senyum Lintang semakin lebar.
Emak mengemasi barang-barang, sementara perawat melepas selang infus yang menempel di tangan kiri Lintang. “Nak, mulai sekarang kamu duduk di kursi roda, ya.” Ucap Dokter hati-hati. “Iya, Dok. Nanti kalau sudah sampai di depan rumah sakit, saya naik becak.” Lintang sepertinya belum mengerti ucapan Dokter barusan. “Tidak, Nak. Kamu duduk di kursi roda,” Dokter itu memberi jeda, “…selamanya.”
Dadanya tiba-tiba bergemuruh. Napasnya tercekat, ia menatap Emak mencari penjelasan. Tetapi ibunya itu hanya menunduk, tak kuasa menatap putrinya. Lintang menggerakkan kedua kaki, tapi syaraf di kakinya seakan lumpuh. Ia mencoba sekali lagi, namun kedua kakinya itu seperti mengkhianati dirinya. Tak bergerak sedikit pun.
“Sabar, Nak.” Ucap Dokter yang turut bersedih. “Aku nggak lumpuh ‘kan, Mak?” ia bertanya dengan nada bergetar. Dunia seakan runtuh, mimpi yang selama ini ia rajut seolah menjauh. Ia tak mampu lagi berkata, hanya mampu menangisi keadaan. Takdir menjatuhkannya begitu dalam, hingga ia tak tahu bagaimana cara untuk bangkit.
—
Senyum mengembang di wajahnya sejak pertama kali tiba di sini. Duduk di atas kursi roda sebagai pembicara, membuatnya begitu antusias. Novel pertama yang ia tulis selama berjuang melawan polio, membuat banyak orang yang senasib dengannya merasa terpanggil. Manusia istimewa yang membutuhkan dukungan dan semangat. Mereka yang hampir putus asa dengan keadaan, karena kondisi yang tak diinginkan.
Teh Elma, wanita yang sering ia amati dari kejauhan ketika di rumah sakit. Semangatnya untuk sembuh dari kanker membuat Lintang sadar bahwa semua orang istimewa, dengan segala keterbatasan yang ia punya. Wanita itu hadir di sini, duduk di barisan paling depan. Tersenyum meyakinkan Lintang.
“Keterbatasan bukan penghalang bagi kita untuk meraih mimpi. Yakinkan pada diri sendiri, bahwa kita mampu. Kita bisa, bagaimana pun kondisinya. Saya yakin, kalian semua manusia istimewa yang memiliki kesempatan untuk sukses. Kursi roda ini tak membuat kita kalah, bukan?!” tanyanya dengan mantap.
“Semua hal baik yang kita cita-citakan, akan berhasil diraih jika diiringi dengan do’a dan usaha. Semesta pasti mendukung segala upaya kita. Semangat berjuang, Kawan! Kita pasti bisa!”
Riuh tepuk tangan menyambut kalimat pamungkas Lintang. Rona percaya diri muncul dari wajah mereka. Ia berharap akan semakin banyak orang-orang seperti Teh Elma yang selalu menginspirasi orang lain untuk berjuang melawan keterbatasan.
Selesai
Cerpen Karangan: Laila Rohmatul Izzah Blog / Facebook: lailarizzah.blogspot.com / Laila Laila Rohmatul I’zzah adalah seorang siswi di MAN 2 Nganjuk yang tertarik dengan sastra sejak kelas 5 SD. Selain kesibukan sekolah, gadis berusia 18 tahun ini menghabiskan waktu produktif untuk membaca dan menulis buku. Beberapa cerpennya telah dicetak dalam buku antologi. Alasan terbesar yang membuatnya tetap menulis adalah keinginannya untuk memberikan manfaat kepada banyak orang melalui tulisan.