Sembilan tahun aku menjalani pernikahan, Panggil aku Raya. Dan suamiku Wicak hidup dengan bahagia. Aku bekerja sebagai arsitek dan Wicak bekerja sebagai perwira abdi negara. Tak banyak waktu bagi kami untuk bersantai, terlebih suamiku harus membagi hati antara cinta dan negara. Namun dengan begitu kami hidup dengan penuh pengertian. Dipernikahan kami dikaruniai tiga orang anak yang sehat dan lucu. Kehidupan rumah tangga pun hampir terlihat sempurna. Aku menjadi istri yang dipenuhi segala fasilitas.
Malam itu, Raya sedang mempersiapkan segala perlengkapan Wicak. Sebab suaminya akan mengikuti Pendidikan Negara kurang lebih 7 bulan. “Mas, ntar selama di sana di asrama terus ya? Nggak boleh pulang?” Tanyaku saat bersama Wicak, sembari memasukan pakaian dinas di dalam koper. “Iya. Tapi ntar kalau sudah dua bulan masa karantina boleh juga keluar. Kenapa?” Jawabnya santai sambil membaca berita di hp nya. “Nggak apa-apa sih, cuma aku bakalan kangen sama kamu mas.” Ucapku sembari merebahkan badanku di sampingnya. “Alah lebay, kamu kan sudah biasa aku tinggal. Biasa aja kali, kamu kan bisa jalan sama anak-anak.” Seperti biasa dia menanggapi dengan cuek dan membalikkan badannya, membelakangiku. “Mas suka gitu deh.” Aku kernyitkan mulutku bergumam.
Meskipun kesal, aku tak bisa berbuat apa-apa. Sebab aku ini konsekuensiku sebagai istri abdi negara. Jarak usia yang cukup dengan suami, tak membuat kau menjadi istri yang dapat bermanja. Lagi-lagi aku berdamai pada hatiku, yang Kembali tersadar bahwa dia adalah takdirku.
Setelah aku menyelesaikan semua perlengkapan dan surat-surat yang akan dibawa besok pagi, kulangkahkan kakiku menuruni anak tangga. Tugasku tak berbehenti di situ, aku melangkahkan kakiku ke kamar anak-anakku. Melihat aku sudah di depan pintu, mereka berteriak bundaaa… Kugantikan piyama dan aku usapkan minyak telon di tubuh mungil mereka. Tita, Kayna, dan Rasya merekalah penghiburku. Buah hati dari pernikahanku. Kupandangi wajah ceria mereka setelah tertidur pulas yang sebelumnya kubimbing doa sebelum tidur. Kumatikan lampu kamar, dan ku meninggalkan mereka, kubiarakan mereka bermimpi. Aku menyusul suamiku yang sudah tertidur.
Pagi yang dinanti oleh suamiku, akhirnya tiba. Dengan banyak perlengkapan aku hantarkan dia sampai ke bandara. Pelukan hangat dia berikan padaku, dan tiga malaikat kecil kami.
Tiga bulan berlalu, aku mulai kesepian. Seperti biasa, suami adalah pekerja keras yang tak mau diganggu dan menuntut istrinya menjadi orang yang mandiri. Siang itu aku mendapat tugas keluar kota. Pastinya aku tak lupa meminta izin pada suamiku. Aku telepon dia, tapi tak diangkat. Hp ku bergetar. “Ada apa telepon, aku lagi istirahat. Capek aku. Kalau ada yang penting wa aja.” Isi wa dari Wicak. “Say, aku ada tugas keluar kota. Kak Atika mengajakku ikut gabung di proyek dia. Kalau mas izinin aku berangkat lusa. Mungkin agak lama. Seminggu atau sepuluh hari.” balasku meminta izin.
Hampir dua jam aku menunggu balasan, akhirnya Wicak membalas pesanku. “OK. Bagaimana dengan anak-anak.” Balasnya singkat. Aku yang tak sabar, aku menelepon suamiku. “Assallamualaikum mas. ” Sapaku saat meneleponnya. “Waallaikumsalam. Ada apa? Buruan kalau ada yang mau diomongin waktuku tak banyak.” Jawabnya tegas. “Mas lusa aku beragkat ke Surabaya.” Belum selesai berbicara, aku telah menghentikan karena suamiku memotong. “Kan tadi sudah di wa. Trus apalagi yang harus dibahas.” Jawabnya dengan nada kesal. “Iya mas. Aku telepon kan cuma mau ngomong masalah anak-anak.” Jelasku sebelum telepon itu mati. Telepon itu mati. Dan aku menjelaskannya lewat pesan bahwa anak-anak aku titipkan pada orangtuaku. Lagi dan lagi, aku hanya bisa menikmati imajinasi kosong. Yang aku isi dengan kehaluanku bisa romatis dengan suamiku.
Landing di bandara Juanda Surabaya. Aku dan Atika telah dijemput oleh perusahaan kontraktor. Kami langsung rapat dan melihat lokasi yang akan kami design. Dua hari di Surabaya, setiap malam Atika pergi bersama keluarganya. Aku lebih memilih di hotel. Kesibukan dari pagi hingga maghrib tak lupa tugasku sebagai ibu dan istri. Aku telepon hanya sekadar menanyakan bagaimana bermain bersama uti, panggilan ibuku untuk anak-anakku. Berbeda dengan suamiku. kami hanya sekadar lewat pesan, itupun kadang dia lupa balas pesanku. Tapi aku tenang ada dia selalu membagikan kegiatannya di medsos dan istri temannya selalu mengabariku bahwa Wicak selalu bersama suaminya.
Penat membawaku pergi keluar sendiri. Aku pergi meminum kopi. Duduk sendiri, kuabadikan foto secangkir kopi lewat akun medsosku, lengkap dengan dengan tempatnya. Kutuliskan caption Surabaya malam ini. Tak lama satu pesan masuk “Kamu lagi di Surabaya. Ketemuan yukk.. Aku di Surabaya.” Aku membalasnya, dia datang di kedai kopi dimana aku ngopi malam itu. Aku yang masih asyik dengan menikamti kehaluanku, sesosok lelaki tinggi berdiri disampingku. “Ngapain duduk sendiri. Mau ditemenin nggak.” Tanyanya mengagetkanku.
Dia adalah Laurentius, dia adalah mantan pacar yang terpaksa harus putus karena kami menghargai perbedaan. Malam itu kami bercerita. Dia pun menanyakan mengapa aku meninggalkan dia. Aku mejelaskan alasanku meninggalkannya. Kami bercerita sepuluh tahun berpisah dan bertemu dengan keadaan yang tak lagi sama. Dia yang sampai saat ini masih sendiri.
“Aku ada pacar, tapi ntah nggak bisa seperti kamu, kaku saat kami bercerita.” Dia tertawa lepas.
Pertemuan itu semakin mengurai semua kehaluanku, mungkin dia pun merasakan hal yang sama. Setiap jam makan siang, dia menghampiri membawakan makan untukku dan Atika. Malamnya, kami pergi ngopi. Senyuman itu, kata-kata itu, setiap pertemuan yang singkat semakin membuat candu antara aku dan dia. Aku merasa tak lagi membutuhkan telepon dari Wicak, aku lebih rileks menelepon anak-anak di Jakarta.
Di hari kepulanganku, dia mengantarku ke bandara. Hanya bisa saling memandang dan segera bangun dari kehaluan ini. Aku dan Laurentius harus menerima rasa itu hanya bisa kita nikmati dalam imajinasi.
Hpku bergetar saat di ruang tunggu. “Kita Kembali ke cerita yang sebenarnya.” Laurentius menulis pesan “Terimakasih mengisi ruang kosong beberapa hari ini.”
Sebelum Take Off, kutuliskan status di medsos. Welcome home, Goodbye Halu Ternyata Diapun menulis hal yang sama “Sesaat tapi aku rindu”
Telepon ku berdering. Ternyata dari Wicak, menanyakan kapan aku pulang. Sebab dia lusa libur Pendidikan. Aku menjawab bahwa malam ini aku sudah di rumah.
Halu dan kenangan bukan cerita yang baik. Rasa yang enggan untuk pergi, meski senja menghampiri. Itulah rindu. Disitu ada aku dan kamu.
Cerpen Karangan: Octorina Aisyah Blog: penaocto86.blogspot.com
BIODATA PENULIS Nama Lengkap: Octorina Rully Hapsari Tempat Lahir: Pati 4-10-1986 Hobi: Menulis Alamat: Komplek Sentosa Gobah Blok D 1 Jl. Dwikora Sail – Sukamulya – Pekanbaru Email. octorinarullyhapsari[-at-]gmail.com Wattpad OctoAisyah86 Instagram @Aisyahmyname. Jenjang pendidikan Kuliah di Fakultas Ekonomi UII Jogjakarta. SD berpindah-pindah, terakir di SD N 2 Tayu. SMP N 1 Pati, SMA di Tiga MAret Jogjakarta.
Dengan nama pena Octo Aisyah Memiliki hobi menulis dari sejak SMP, dan sekarang menjadi istri dari abdi negara. Sekaligus ikut ke dalam komunitas penulis online disalah salah satu media sosial. Saat ini saya mendampingi suami bertugas di negeri melayu, pekanbaru. tepatnya di Karna mengikuti suami bertugas dari kota satu ke kota yang lain, ke pulau satu ke pulau yang lain, saya memutuskan untuk melanjutkan hobi menulis saya yang sempat tertunda.