Malam semakin matang, sunyi hanya terdengar detik jam yang berputar. Sinar rembulan bercahaya begitu anggunnya, semilir angin sejuk menerpa wajah Aira yang termenung di ambang jendela. Air mata menggalir membasahi pipinya, ia tak kuasa menahan bendungan di sudut matanya, ia menutup kedua matanya, menghembuskan napas perlahan.
Aira berusaha membayangkan wajah seseorang yang telah melahirkannya, sosok lembut itu tak pernah tersimpan dalam memorinya, ia menatap kembali potongan Koran usang itu, kebakaran terkutuk 7 tahun silam telah merenggut kebahagiannya, hanya tersisa satu kebahagiaan sekaligus harta paling berharga Aira. Ayah- Demikian Aira menyebut pria paruh baya itu yang telah berusaha berkerja keras membuatkan istana kecil untuknya. Tapi apalah arti semua kemegahan harta yang ia miliki, jika tak ada kehadiran malaikat tak bersayap dalam hidupnya, ia ingin merasakan pelukan hangat penuh kasih sayang, seperti halnya anak-anak yang lain.
Ayah selalu bilang mata hitam pekat Aira persis seperti bunda, suara merdu Aira juga seperti Bunda, tak ada yang tersisa tentang Bunda, sekalipun foto album. Berlarik Tanya timbul di pikiran Aira, seperti apa wajah Bunda? Dimana kini Bunda berada? Apakah Bunda tengah tertidur nyenyak?
Hati kecil Aira menjerit. Tuhan jika takdir buruk ini adalah bagian skenariomu Aira ikhlas, tapi Aira sungguh tersiksa akan bayangan sosok Bunda yang tak pernah tersimpan dalam memorinya. Satu pinta Aira, tuhan. Aira ingin tahu wajah Bunda, tak kurang dan lebih. Malam itu seuntai doa berhembus bersama semilir angin ke atas langit.
Mentari terbit di ufuk timur, sinarnya menghangatkan suasana pagi, Aira melangkah menyusuri koridor sekolah, satu-dua teman menyapanya, ia memasuki kelas, terdengar celotehan teman-teman yang tengah membicarakannya.
“Enak betul, hidupnya Aira.” Seru Diana “Iya, iya minta apa pun pasti dituruti.” Timpal Andi “Tapi sayang ia tak memiliki-” ucapan Diana terpotong, saat Aira menghampiri kerumunan teman-temannya. “Ehm… pagi Aira.” Elak Rinjani. Aira hanya tersenyum simpul “pagi juga teman-teman.”
Ia merogoh isi tasnya dan mengambil setumpuk surat berwarna violet bermotif bunga dan kupu-kupu. “Jangan lupa kalian harus hadir besok di pesta ulang tahunku.” Ucap Aira membagikan unadangan kepada teman-temannya. “Waah pasti besok adalah ulang tahun yang amat meriah.” Diana berseru paling heboh. Aira tak menjawab, tak ada lengkungan senyum di wajahnya, hanya garis bibir yang datar, Aira membalikan badannya melangkah menuju kursinya, membuat teman-temannya menggarukan kepala tak gatal.
Hati kecil Aira kembali menjerit, Tuhan, tak mengapa jika Aira harus bertukar posisi dengan teman-teman yang menginginkan kehidupannya, Andai mereka tahu, apa yang Aira rasa, napas Aira tersekat di tenggorakan, ia berusaha menahan bendungan air di sudut matanya, Aira mengatupkan rahang, Tuhan, Aira percaya, ia pasti bias menjalani ini semua.
Aira melangkah keluar, ia tersenyum simpul, melihat taman bunga disulap menjadi tempat acara ulang tahunnya, balon-balon yang mengambang anggun, Nasi Tumpeng yang menjulang tinggi, bangku dan meja yang tersusun rapih, masing-masing membentuk formasi bundar, satu persatu teman Aira datang, mereka berdecak kagum melihat taman bunga Aira yang indah.
Pesta ulang tahun Aira berlangsung meriah, dipertengahan acara, saat Aira tengah memotong nasi tumpeng, ada seorang kakek tua yang berjalan melewati kerumunan, menghampiri Aira ia membawa kotak kayu yang kusam, Ayah Aira menautkan kedua alisnya, menyembunyikan Aira dibalik badannya, bersiap-siap siaga dengan segala keadaan.
Kakek tua itu terkekeh “Kau tak perlu takut, maaf sebelumnya telah mengganggu pesta ulang tahun gadis kecilmu, sudah lama aku ingin memberikan ini, aku sudah tahu sejak lama tempat tinggalmu, dan mungkin ini adalah saat yang tepat, ini untukmu gadis kecil, kemarilah tak perlu takut.” Aira mengintip dari balik badan Ayahnya, tangannya gemetar mengambil kotak kusam itu.
Kakek tua itu berdeham. “sebelum kau membuka kotak itu, aku ingin kau tahu satu fakta.” kakek tua itu menarik napas perlahan, lantas melanjutkannya. “Malam itu, kebakaran yang amat dahsyat tak banyak siswa yang berhasil selamat, kau beruntung berhasil selamat berkat ibumu, saat itu aku melihat seorang wanita dari luar jendela yang sedang sulit mencari jalan keluar, kobaran api membara, kepulan asap hitam menjulang tinggi, wanita itu menjerit meminta tolong. Tanpa pikir panjang aku berlari ke teras rumah, menghancurkan jendela kaca, wanita itu mendesah getir. Sebelum menyerakanmu kepadaku, ia mendekapmu begitu erat, terlihat jelas olehku serunai kesedihan di wajahnya, ia bilang ‘selamatkan bayiku’. sepersekian detik kemudian tepat saat kau berada di tanganku, reruntuhan rumahmu tepat mengenai ibumu”.
“Sungguh aku tergugu melihat itu semua, mataku terbeliak, tak ada seserpih harapan untuk ibumu. Aku membawamu jauh dari kobaran api, aku baru menyadari, ibumu menyelipkan sebuah kotak. Lantas kotak itu terjatuh, saat Ayahmu menarik tubuh mungilmu, mengucapkan terima kasih kepadaku dan pergi tergesa-gesa”.
Tangis Aira meledak setelah mendengar cerita sang kakek, Ayah pun menangis tersudu-sedu, bahkan para tamu undangan terisak sedih. Aira membuka kotak itu, ia menangkupkan kedua tangannya. Seuntai kalung berliontin pemata dan foto wanita berparas cantik, tersenyum manis.
“banyak orang yang tak ingin mengetahui kenyataan pahit, tapi percayalah gadis kecil, kau telah berhasil melewatinya. sepertinya waktuku sudah habis, selamat tinggal.” Kakek itu berlau meninggalkan Aira. “tunggu, kek, terima kasih.” Seru Aira. Kakek itu menoleh dan mengangguk ta’dzim, lantas berlalu pergi.
Aira menyunggingkan senyum, Ya tuhan terima kasih, kini ia tahu, seperti apa wajah bunda. Ayah benar, mata Aira persis seperti bunda. Hadiah usang ini adalah hadiah terindah. Terima kasih Tuhan.
Cerpen Karangan: Cahya Mataku Blog / Facebook: Nur Aini
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 April 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com