Angin pagi berhembus sejuk, aku mengarahkan kursi rodaku menuju balkon kamar, aku tersenyum getir, menatap gumpalan awan putih yang menggelayut di langit biru, seakan ada pusaran yang menarik pasak ingatanku kembali ke masa kelam, aku menggelengkan kepalaku berusaha menjauh dari kenangan brengsek itu.
Sekuat apa pun aku menjauh, ingatan itu menarikku kembali ke pusaran kenangan kelam, kini aku terperosok ke Lembah ingatan, titik awal semua penyesalan bermula, andai saja aku tak mendekati barang haram itu mungkin takdir buruk tak akan mengiringi setiap detik dalam hidupku.
Pukul 08:00 a.m. Malam itu aku sibuk berkutat dengan buku tebal dan pena membuat dahiku terlipat, ditemani cemilan malam the dan juga kue kering, peluh keringat memenuhi dahiku, padahal pendingin ruangan sudah berkerja secara maksimal.
Tiba-tiba terdengar keributan dari ruangan kerluargaku, aku tersentak kaget, membuatku berdecak sebal, aku berjalan perlahan, mengintip dari celah pintu, sebenarnya aku sudah tahu apa yang terjadi, serperti biasa ayah dan ibu sedang bertengkar saling mencaci maki dan melontarkan kalimat pedas.
Cukup aku sudah muak dengan semua ini, aku menghampiri mereka, saat itu tangan kekar ayah teracung tinggi hendak mendaratkan di wajah ibu, tapi seperdetik kemudian aku berdiri tepat di tengah mereka dan “PLAAK” satu tamparan mendarat kasar di pipiku.
Aku menatap mereka dengan tajam, tak terasa air mata membasahi pipiku, aku mengeluarkan semua kemuakanku tentang mereka yang saling bertengkar, aku berteriak kalap, tak peduli cairan kental merah yang menggalir di sudut bibirku. Ayah dan Ibu terdiam seribu bahasa, tak menyangka dengan semua yang aku lakukan, setelah puas, aku menghentak-hentakan kedua kakiku, menuju kamar dan membanting keras pintu kamar, membuat bingkai foto keluargaku yang tergantung di dinding hancur berkeping-keping.
Aku membanting diriku di atas rancang, menangis tersedu-sedu, aku menenggelamkan wajahku di atas bantal, terdengar derik pintuk terbuka, aku mengangkat kepalaku sedikit, ternyata itu Rara adikku. Ia terlahir bisu, tak bisa berbicara, tapi lihatlah, matanya berbinar indah dan kini redup, menghilang karena ketakutan, tak mengerti apa yang telah terjadi, Rara menghampiriku, menyentuh lembut bahuku, aku bangkit duduk di sampingnya.
Rara mengusap air mata di pipiku, ia menyodorkan gitar milikku, memintaku bernyanyi jari-jemari mungilnya lincah memberi isyarat, agar aku tak bersedih dan kembali mengingatkan impianku menjadi musisi. Aku tergugu melihatnya, aku memeluknya begitu erat, berharap kepada tuhan agar kehidupan kami menjadi lebih baik, tapi tuhan berkata lain, ia telah menyiapkan sesuatu yang tak terduga.
Bel bordering nyaring memenuhi ruangan, tanda bel istirahat, kawan-kawanku berhamburan keluar kelas, aku tak tertarik pergi ke mana pun, penampilanku kacau, rambut panjang yang kusut, mataku yang bengkak dan muka masam yang tak enak untuk dilihat.
Segerombalan kawan perempuanku, berbisik membicarakan penampilanku, salah satu diantara mereka tersenyum licik menghampiriku, Bianca menyapaku ramah, ia membisikan sesuatu di telingaku dan meletakan setoples kapsul kecil dan juga air mineral. Aku menautkan kedua alisku, aku belum pernah melihat sebelumnya kapsul-kapsul itu, tanpa berpikit panjang aku langsung menegak kapsul itu, senyap sejenak entak kenapa seketika tubuhku terasa melayang di atas gumpalan awan dan diiringi lantunan lagu klasik.
Semua itu buyar ketika bel istirahat usai, kawan-kawanku kembali memasuki kelas. Setelah itu aku jadi ketagihan mengkomsumsi kapsul-kapsul itu, aku memintanya, kembali, tetapi Bianca tak memberikannya, ia membawaku ke suatu tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya.
Beberapa bulan kemudian, prestasiku menurun drastis, aku sudah tak peduli dengan semua itu, kini aku telah menjadi “PECANDU NARKOBA”, setaip malam aku bersama teman-temanku, pergi ke diskotik, menikmat i fananya dunia yang penuh denagan tipuan. Aku telah melupakan semua impianku, sibuk dengan kesenangan dunia bersama teman-temanku. Tuhan mungkinkah ini yang terbaik?
Kesiur angin kencang berhembus, menghalangi cahaya sinar rembulan, kilat petir menyambar, dan langit bergemuruh, aku sedari tadi hanya mondar mandir, bingung mencari ide untuk mendapatkan uang yang banyak, kapsul-kapsul itu telah kandas tak tersisa, harga kapsul itu sungguh mahal.
Malam semakin matang, Ayah dan Ibu telah terlelap tidur, aku menyelinap masuk, mengendap diam-diam menuju lemari kayu berwarna putih klasik, aku sibuk mencari sesuatu. Aku berseru senang dalam hati, akhirnya aku menemukan tumpukan uang yang amat tebal, saat aku membalikan badanku, aku tak sengaja menjatuhkan vas bunga “PRAANG” suaranya membuat ayah dan ibu tersentak kaget, mereka terbangun, degup jantungku berdetak kencang dan napasku tak karuan.
Aku berlari menjauh menuju pagar rumah, sialnya Rara terbangun dan berlari kecil menghalau jalanku, ia menarik ujung bajuku, entah apa yang ada di dalam pikiranku, aku mendorong kasar Rara hinggga ia tersungkur jatuh, aku tak peduli aku terus berlari sampai akhirnya mobil sedan hitam menghantam tubuhku, aku terjerembab jatuh, roda besar itu melindas kaki kiriku.
Seketika semua pandanganku gelap gulita, aku mulai merasakan cairan kental merah itu menggalir di sekujur tubuhku, aku mengeliat kesakitan, sayup-sayup aku mendengar keributan, orang –orang sibuk mengerumuniku. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi, aku tak sadarkan diri, hanya kegelapan yang terlihat seperti hidupku
Aku melihat kilau putih di atas sana, mataku mulai mengerjap-ngerjap, aroma obat memenuhi ruangan, menyeruak menusuk hidung, dimana aku berada? Sejauh mata memandang hanya Nampak ruangan putih. Ayah dan ibu menghampiriku, kepalaku terasa berat, aku tak dapat merasakan kedua kakiku, mataku mencari sosok kecil mungil yang menjadi semangat hidupku. Suara serakku bertanya “Dimana Rara?” Ayah dan ibu tak menjawab, mereka hanya terdiam, satu bilur air mata membasahi wajah mereka.
Dokter datang dan menjelaskan, bahwa kondisiku 3 hari terakhir sungguh menggenaskan, hati dan ginjalku tak dapat berfungsi dengan baik, Rara dengan sangat antuias siap mendonorkan hati dan ginjalnya hanya untukku, hanya karena aku dapat meraih impianku menjadi musisi.
Dokter juga mengatakan bahwa kakiku harus diamputasi, sungguh, betapa terpukulnya Aku inikah hukuman atas semua kesalahanku, aku menjerit histeris menerima semua ini, air mataku menjadi saksi bisu atas semua penyesalanku.
Beberapa minggu kemudian, Ayah dan Ibu sudah mengetahui aku adalah pecandu narkoba akut, mereka membawaku ke tempat rehabilitasi di ibu kota, aku berharap tuhan bersedia memaafkan semua kesalahanku, semoga ini adalah penyesalan terakhir dalam hidupku.
Cerpen Karangan: Cahya Mataku Blog / Facebook: Nur Aini