Setelah selesai ashar aku berpamitan dengan Bapak dan Ibu untuk berangkat ke rumah Kakek. Sebulan sekali di hari weekend aku memang rutin menginap di rumah Kakek, di sebuah desa kecil yang asri di daerah Kediri. Kakekku yang semakin renta itu tinggal dengan Nenek dan seorang pembantu. Mereka mempunyai banyak cucu dari empat orang anaknya, setiap weekend selalu ada cucu-cucu mereka yang menginap. Untuk minggu ini Bapak dan Ibuku tidak ikut karena nanti malam ada undangan makan malam dengan atasan Bapakku. Jadi aku berangkat ke rumah Kakek di antar Pak Anan, sopir keluarga kami.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, akhirnya Pak Anan memarkirkan mobilnya di depan rumah joglo yang mempunyai halaman begitu luas. Setiap sudut halaman rumah Kakek tumbuh berbagai macam buah-buahan, dari yang merambat sampai yang menjulang tinggi. Pak Anan tidak mampir ke rumah, setelah memastikan aku disambut Kakek dan Nenek, ia kemudian kembari menekan laju mobilnya.
“Kenapa Anan tidak mampir dulu?”, tanya Kakek ketika menyambut kedatanganku di teras. “Takut nanti terburu-buru, Kek. Kan Pak Anan mau mengantar Bapak sama Ibu ke acara nanti malam”, jawabku. “Sudah, sudah. Masuk, La, Nenek sudah menyiapkan pecel kesukaan kamu”, kata Nenek sembari mengulaskan senyumnya yang khas.
Dengan penuh kegirangan aku pun masuk rumah bersama Kakek dan Nenek yang tidak berhenti menghujaniku dengan senyum kebahagiaan mereka. Setelah meletakkan tas ke kamar, tempat biasa aku tidur ketika menginap di sini, kemudian aku menghampiri mereka yang sudah menungguku di meja makan. Terakhir kali aku menikmati pecel yang punya cita rasa khas ini kira-kira sebulan yang lalu. Tangan nenekku memang mempunyai keahlian yang hebat dalam meracik bumbu. Meski kulitnya terus mengerut, tapi tidak mengurangi sedikitpun cita rasa masakannya.
“Bagaimana kabar orangtuamu, semua sehat kan?”, tanya Kakek ketika aku sedang menghabiskan sendok terakhirku. “Biarkan Lala menghabiskan makanan di mulutnya dulu”, sahut Nenek sembari membereskan piring kotor di depan Kakek. Tak berselang lama, Bi Itun, datang dan menggantikan Nenek untuk membereskan meja makan. “Terima kasih, Bi”, ucapku ketika Bi Itun memandang ke arahku. “Sama-sama, Mbak”, jawabnya. Kakek berdeham dan melihatku sejenak. “Alhamdulillah, Bapak dan Ibu sehat, Kek. Mereka juga titip salam buat Kakek dan Nenek”, ujarku setelah menengguk air putih. “Waalaikumsalam”, jawab Kakek dan Nenek bersamaan. “Ya sudah, sana ngobrol sama Kakekmu dulu. Nenek mau beres-beres sama Bi Itun”, pinta Nenek. Sementara aku tak menjawab, aku sedikit mengangguk lalu mengekor di belakang Kakek.
Aku masih terus membuntuti langkah Kakek. Kakinya yang tidak sekuat dulu itu masih tetap berjalan, menyusuri lorong rumahnya. Sesekali ia melihat ke luar melalui jendela, nampak sinar matahari yang semakin membara di ufuk barat. Seolah-olah ia melambaikan tangannya untuk berjumpa kembali esok hari.
Langkah kaki Kakek berhenti tepat di sebelah pohon jambu yang tumbuh dengan daun-daun yang lebat. Buahnya belum nampak, hanya beberapa bunga yang baru bermunculan. Aku pun masih mengikuti gerak-geriknya, hingga akhirnya kami duduk berdua di sebuah angkringan yang ada di bawah pohon jambu yang rimbun ini.
“La, kamu masih ingat tentang cerita Kakek di bulan lalu?”, tanyanya memecah keheningan. Sejak aku kelas empat SD, setiap kali datang ke sini Kakek selalu bercerita padaku tentang kisah-kisah di masa lalu. Akhir-akhir ini Kakek sering bercerita tentang Jayabaya, seorang raja dari Kerajaan Kadhiri yang kondang karena ramalannya. Jangka Jayabaya, begitulah ramalan itu dikenal oleh banyak orang. Dalam buku-buku dan bacaan sejarah memang seringkali disebutkan tentang Jayabaya dan ramalannya itu. Tapi, tanpa cerita dari Kakek tentu sebuah kemustahilan bagiku untuk mempelajari lebih dalam. “Jangka Jayabaya, Kek?”, tanyaku memastikan. Kakek mengangguk. “Yang mengisahkan tentang korupsi itu kan, Kek? Lala lupa bagaimana bunyi ramalan itu”, jawabku cengengesan. Kakek memandangku seraya tersenyum tipis. “Akeh manungsa mung ngutamakake duwit, lali kemenungsan, lali kebecikan, lali sanak lali kadhang (banyak manusia yang hanya mengutamakan uang, lupa perikemanusiaan, lupa kebaikan lupa saudara)”, jelasnya. Aku masih tersenyum cengengesan, tanganku menggaruk-garuk kepala. Rasanya malu sekali sama Kakek, ia yang sudah berusia senja masih mempunyai daya ingat setajam itu. Sementara aku? Sudahlah jangan ditanya lagi.
“Hari ini Kakek mau ngasih tau ramalan Raden Jayabaya yang lain”, cetusnya. “Apa, Kek? Lala penasaran sekali dengan ramalan-ramalan itu”, ujarku sambil memandang wajahnya. Sesekali Kakek batuk-batuk. Ia juga sering mengeluarkan kotoran dari mulutnya setelah batuk-batuk. Aku diam, menunggu Kakek untuk siap bercerita tentang ramalan yang kondang kaloka itu.
Kakek masih berdeham lagi. Kemudian ia berkata, “Mbesuk yen ana kereta mlaku tanpa jaran, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing dhuwur awang-awang, kali ilang kedhunge, pasar ilang kumandange. Iku tandhane yen tekane jaman Jayabaya wis cedhak (Besok kalau sudah ada berjalan tanpa kuda, tanah Jawa berkalung besi-artinya ada kereta api-, perahu berjalan di atas angkasa-artinya terciptanya pesawat terbang-, sungai kehilangan sumber air, dan pasar hilang suaranya-karena dahulu pasar bisa didengar keramaiannya bahkan dalam radius 5 km-. Itu menandakan datangnya zaman Jayabaya sudah dekat”, jelas Kakek dengan serius. Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Kakek. Masih dalam tahap mencerna setiap kalimat yang baru saja ia utarakan padaku. Kalimat-kalimat berbahasa Jawa itu memang mengandung makna yang sangat dalam. Dan… Semuanya telah menjadi kenyataan di masa sekarang.
“Kek…”, panggilku. Kakek tak bersuara, ia hanya memandangku seolah-olah memintaku untuk mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang sedang berjejal antre di ubun-ubun. “Dari sini ke pasar kan tidak ada 1 km ya, Kek. Berarti dulu gemuruh keramaian di pasar terdengar jelas dong, Kek, dari sini?”, aku bertanya dengan penuh penasaran. “Iya, La. Dulu setiap Pahing dan Wage, keramaian di pasar terdengar jelas dari sini. Tanya saja sama Bapakmu, keramaian pasar di sini masih terdengar bahkan ketika Bapakmu remaja. Namun, semakin lama keramaian itu semakin hilang. Entah ke mana, mungkin keramaian itu ditelan oleh bisingnya zaman sekarang”, jawabnya panjang lebar. Aku manggut-manggut, seolah-olah telah paham dengan apa yang Kakek katakan.
Hari semakin gelap. Matahari sudah kembali ke tempat peristirahatannya. Kakek mengajakku untuk masuk ke rumah karena sudah memasuki waktu surup (sebutan orang Jawa untuk waktu menjelang magrib). Kata Kakek, tidak baik ketika waktu surup ada di luar rumah. Semua jendela dan pintu harus ditutup, anak kecil harus bersama orang tua. Karena kata Kakek, waktu ini merupakan waktunya lelembut surup (makhluk halus) berkeliaran mencari rumah.
Selesai sholat magrib berjamaah, kami menikmati ubi goreng di depan televisi. Menonton acara dangdut kegemaran Nenekku. Terkadang mereka ikut bernyanyi ketika ada lagu zaman dulu yang dinyanyikan oleh para biduan di layar kaca itu. Aku selalu merasa senang sekali setiap kali berkunjung ke sini. Hidup semalam dengan Kakek dan Nenekku yang masih terus menjunjung kebudayaan leluhurnya. Berlindung di bawah atap joglo khas orang Jawa, menikmati makanan-makanan tradisional buatan nenekku. Dan… Mendengar cerita-cerita zaman dahulu dari Kakekku.
Waktu memang terus berjalanan tanpa mempedulikan apa kemauan manusia. Dengan ambisinya yang taat pada Sang Pencipta, bahkan ia telah memisahkanku dengan kedua orang tua Bapak, Kakek dan Nenekku. Aku masih tak percaya dengan kepergian Kakek dan Nenek yang begitu mendadak. Sebulan setelah Nenek menghadap pada Sang Esa, Kakek terus-terusan sakit hingga akhirnya ia menyusul kepergian tulang rusuknya yang hilang.
Setiap kali jemariku membuka lembar demi lembar buku harian ini, tak hentinya air mataku mengalir. Mataku selalu sembab dan pipiku basah. Mulutku kaku tak bisa mengatakan apapun. Aku hanya ingin menangis, aku hanya bisa memeluk buku kecil ini sambil sesenggukan.
“Manusia hidup itu diciptakan oleh Sang Maha Pencipta, dan manusia kembali itu juga karena kemauan-Nya, La. Kamu jangan terus menerus terpuruk pada keadaan, bangkitlah, Nak! Kakek dan Nenekmu tidak pernah berpesan seperti ini kan, setiap kali kamu ke sana?”, Ibu datang menghampiriku. Ia mengelus-elus rambutku, berusaha menenangkan kesedihanku. Setiap kali rasa rindu ini menghinggapiku, aku selalu meraih buku harian yang kutulis lima tahun yang lalu. Setiap pesan-pesan Kakek tentang Jangka Jayabaya, canda-tawa dan lelucon zaman dulu yang dikisahkan Nenek, dan kisah-kisah panji lainnya dari mereka selalu kulukiskan dalam buku kecil ini. Rasanya buku ini lebih berharga dari apapun. Dengan buku aku bisa kembali mengingat memori-memori yang mungkin terlupa, kenangan masa lalu yang tak mungkin bisa kuulang. Bersama dua orang yang kala itu berusia senja, yang selalu memberiku kisah-kisah hidup yang penuh makna.
Jayabaya… Seperti apakah wujudmu wahai Sang Raja Kadhiri? Gagah perkasa dengan balutan jubah perang, atau justru engkau adalah orang yang lemah lembut dengan ramalanmu yang sampai kini masih terus menggema di setiap mulut orang Nusantara.
Cerpen Karangan: Vira Maulisa Dewi Penulis bernama Vira Maulisa Dewi, yang sering disapa Vira. Ia seorang mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Jember. Penulis berasal dari Pacitan, Jawa Timur. Menulis adalah salah satu hobinya. Menulis adalah cara ampuh untuk mengeluarkan isi hati yang terlampau lama dibumikan dalam tubuhnya. Untuk kenal lebih dekat dengan pengurus bisa dm melalui instagram @viramaulisadewi
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com