Hari ini mentari begitu terik. Sinarnya menusuk pandanganku. Angin yang berhembus terasa begitu panas. Debu-debu halus berkejar-kejaran, seakan ingin mendahului langkahku. Meski arlojiku baru menunjuk pukul tujuh kurang seperempat, namun beginilah suasana kota besar. Suara bising kendaraan sungguh membuatku muak untuk mendengarnya. Rasanya aku sudah bosan hidup di kota ini. Aku berontak dalam batin.
Kaki kecilku terus berjalan menyusuri trotoar yang terbentang. Sesekali aku harus menghindari genangan air yang keruh, karena semalam hujan mengguyur begitu deras. Tanganku mulai sibuk menyibak peluh yang terus berjatuhan. Ya Tuhan, seperti inikah panasnya dunia? Lantas seperti apa panasnya neraka-Mu, Ya Allah. Untuk itu jauhkanlah aku dari neraka-Mu, Ya Allah. Hatiku memanjatkan doa sambil terus berjalan.
“Mbak, korannya silahkan dipilih. Ini juga ada majalah remaja, mungkin Mbak menyukainya?”, aku semakin kesal ketika suara bising kendaraan bertemu dengan lantunan obral pedagang asongan. Aku rasa kota ini bukan lagi tempatku untuk mengundi nasib.
Aku tak bersuara, aku menolak tawaran pedagang asongan itu hanya dengan isyarat saja. Aku semakin malas untuk mengeluarkan sepatah dua patah kata. Rasanya mulut ini dibungkam oleh kepulan asap kendaraan yang lalu-lalang.
Hhhhhhhsssss.. Aku menghembuskan nafas lega setelah akhirnya kakiku tiba di depan gedung SMA Bhakti Cakrawala. Gedung sekolah swasta yang berdiri megah itu merupakan sebuah gedung tempatku mengabdi untuk Indonesia. Tempat menghabiskan setiap hariku dengan beratus generasi bangsa. Sudah hampir 2 tahun ini aku menjadi tenaga pendidik di SMA Bhakti Cakrawala, setelah sebelumnya aku selesai menamatkan pendidikan S1 di sebuah perguruan tinggi negeri di Jember. Meskipun saat ini aku masih seorang guru honorer, aku tetap berusaha untuk menjadi guru yang dapat memberikan inspirasi kepada murid-muridku. Sebenarnya bukan keinginanku untuk tinggal di kota ini, di kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan ini. Ini hanyalah keinginan kedua orangtuaku saja. Orangtuaku sangat menginginkan anaknya bekerja di luar kota, khususnya kota besar.
Bapakku pernah berkata, hidup di kota itu tidak semudah hidup di desa, Nduk. Hidup di kota memang semua serba ada, berbeda dengan di desa. Namun sebenarnya tantangannya lebih berat di kota daripada di desa. Jadi, selagi kamu masih muda, gunakan waktumu untuk menjelajahi kehidupan yang sebenarnya.
Seperti biasa, sebelum senja aku sudah tiba di kostan. Badan lelah dan letih sudah biasa kurasakan setiap aku pulang kuliah, belum lagi masih memikirkan tugas-tugas yang belum selesai. Ya, seperti inilah rutinitas seorang mahasiswa.
Tanganku melempar paksa tas merahku ke kasur, dan tanpa menunggu aba-aba kujatuhkan tubuhku ke atas kasur juga. Mataku terpejam sebentar. Merilekskan sendi-sendiku yang terasa kaku. Kulirik arloji yang melingkar di pegerlangan tangan. Astaga! Pekikku lirih. Sudah setengah enam? Aku harus segera mandi dan mengerjakan laporan skripsiku, kataku lirih.
Aku beranjak dari tempat tidur dan mengambil handuk yang kugantung di belakang pintu. Tiba-tiba ponselku berdering singkat. Ah, siapa jam segini yang masih sempat Whatsapp aku, keluhku. Tanganku mulai sibuk dengan layar ponsel, dan ternayata…
Ternyata seseorang yang kudambakan menjadi imamku mengirim pesan yang membuatku tersenyum tidak jelas. Tertawa tidak jelas. Dan ngomel tidak jelas. Selain kedua orangtuaku, dia juga penyemangat dalam hidupku. Dia juga selalu sabar menemaniku ke sana ke mari mencari buku-buku untuk menyelesaikan skripsiku. Dia juga selalu telaten mengoreksi setiap detail kata yang kuketik dalam file skripsiku. Dan dia, si mahasiswa S2 jurusan Sastra Indonesia itu telah begitu banyak memberiku motivasi untuk selalu berbakti kepada ibu dan bapakku. Ketahuilah bahwa namamu selalu kuselipkan dalam setiap doaku. Andrian.
Waktu terus berputar. Pengerjaan skripsi sudah berlalu tiga bulan yang lalu. Dan kini aku sudah resmi menyandang gelar Sarjana Pendidikan Ekonomi. Namun sebenarnya aku adalah seorang penyandang gelar pengangguran, karena setelah satu bulan wisuda aku belum melamar pekerjaan. Ini karena kedua orangtuaku selalu menyarankan untuk melamar pekerjaan di kota saja, di kota pasti banyak sekolah yang masih membutuhkanmu, tutur mereka. Dengan ini, aku masih bingung. Butuh waktu untuk mempertimbangkan. Aku memutuskan menghubungi Andrian dan kusuruh untuk datang ke rumah.
“Andrian, kamu tahu kan kalau aku saat ini belum mendapatkan pekerjaan. Ya, memang aku belum pernah untuk mencoba melamar pekerjaan. Tapi…” “Tapi kenapa, Via? Kenapa kamu tidak mencoba untuk melamar menjadi guru honorer di sekolah-sekolah terdekat? Bukankah sia-sia ijazah kamu jika tidak kamu gunakan untuk yang semestinya?”, jawabnya bijak. “Begini ceritanya. Kedua orangtuaku menyarankanku untuk menjadi guru di kota besar, seperti Jogja atau Surabaya. Menurut mereka, selagi aku masih muda biarlah aku berkelana mencari arti kehidupan yang sebenarnya. Mereka juga berkata, kalau hidup ini tak semudah yang dibayangkan. Jadi mereka menyuruhku untuk kerja di kota, menjadi tenaga pendidik di kota, Yan”, jelasku panjang dan lebar. Andrian diam. Wajahnya menyiratkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu.
“Via, aku rasa saran kedua orangtuamu ada benarnya. Mungkin mereka menginginkan kamu merasakan pahit dan manisnya hidup di kota orang. Menjadi seseorang yang mandiri”, kata Andrian. “Tapi, Andrian… Sebelumnya aku kan juga sudah tinggal di kota selama empat tahun lebih. Aku juga sudah jauh dari mereka, dan sekarang aku ingin mendampingi masa tua mereka, Andrian. Aku ingin selalu ada di samping mereka, aku ingin di samping mereka, Andrian!”, suara semakin meninggi dengan diikuti air mata yang berjatuhan. Sementara Andrian memasang wajah datar tanpa ekspresi, ia tak berani untuk menyentuhku meski hanya sekedar mengelus kepalaku.
“Via, bagaimana dengan ibumu? Apakah ibumu benar-benar merestuimu untuk bekerja di kota?” Aku diam sembari mengusap air mata yang terus berjatuhan. Aku tak berani memandang wajah Andrian. “Ibuku, ibuku sangat mendukung sekali, Andrian”, kataku lemah. “Via, ketahuilah bahwa restu Allah itu ada pada restu orangtua. Jadi, jika kedua orangtuamu merestui, insya allah Allah juga akan merestui. Jadi, aku sarankan kamu mengkuti saran kedua orangtuamu. Aku tahu, kedua orangtuamu pasti menginginkan yang terbaik untukmu”, Andrian memberikan sebuah saran yang justru membuatku semakin syokkk. Dan aku masih terdiam, tak menanggapi saran Andrian.
“Andrian, bagaimana denganmu? Bagaimana jika aku pergi ke luar kota? Apakah aku akan menjadi seseorang yang slalu kau tunggu?” “Via, di sini aku sudah mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan. Jodoh itu ditangan Allah, Via. Kamu tidak perlu takut siapa jodohmu kelak. Jika kamu memang jodohku, Allah pasti mendekatkan kita, Via. Sekarang kamu jangan terlalu memikirkanku. Allah telah menciptakan makhluk-Nya berpasangan-pasangan. Akan ada saatnya yang jauh akan di dekatkan, dan yang dekat akan disatukan. Semoga Allah meridhoimu, Via”. Subhanallah, kata-katamu selalu bijak sekali, Andrian. Kepalaku mengangguk pelan, kemudian melihat sekilas ekspresi Andrian.
Setelah menghabiskan secangkir kopi yang aku suguhkan, Andrian ke belakang dan berpamitan dengan kedua orangtuaku. Aku hanya melebarkan senyum terkesan melihat ia mencium pelan tangan bapakku. Ya Allah, jika dia jodohku dekatkan kami Ya Allah, bisikku dalam hati.
Cerpen Karangan: Vira Maulisa Dewi Penulis bernama Vira Maulisa Dewi, yang sering disapa Vira. Ia seorang mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Jember. Penulis berasal dari Pacitan, Jawa Timur. Menulis adalah salah satu hobinya. Menulis adalah cara ampuh untuk mengeluarkan isi hati yang terlampau lama dibumikan dalam tubuhnya.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 4 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com