“Tik tik tik..,” gemercik hujan membantu pikiranku lebih tenang, tak kusangka ini harinya. Kupilih bus, sebagai teman menanti hasil. Juga bersama teman seperjuanganku, yang duduk disamping kaca jendela dan ikut merasakan suasana detik-detik pengumuman itu. Berdebar, gemetar, ini yang sedang kami rasakan. Setengah jam menuju penantian dan harapan terbesar sejak duduk di tahun pertama bangku SMA, segera tiba. Sangat bahagia jika harapan itu terwujud, pun sebaliknya bila ia diluar ekspetasi. Entah, aku tak siap bertemu ia yang bukan ekspetasiku.
Dua menit menuju pukul tiga petang, Usi, temanku tiba-tiba mengambil gawai yang kupengang, “biar ngga tegang-tegang banget, gimana kalo kamu lihat punyaku dan aku lihat punyamu? Bismillah.. semoga Allah kasih yang terbaik,” ujar Usi dengan senyum sumringahnya yang penuh harapan. Aku hanya mengangguk nurut dengan tersenyum sembari mengambil gawai milik Usi.
“Ding.. dong.. ding.. dong,” suara alarm pukul 15.00 terdengar nyaring dari gawai Usi yang kupegang, kukira telepon dari ibunya. “Sya, coba refresh punyaku dulu. Nanti kalo aku lulus, kamu ulurin tangan sambil bilang “selamat”, ya. Kalo ngga lulus, kamu peluk aku saja, oke?,” ajak Usi sangat histeris tak sabar menanti hasil.
Aku me-refresh laman web milik Usi, dan ia hanya memejamkan mata menanti jawabanku. “Usi!!,” aku mengagetkan Usi sambil menyodorkan tanganku. Usi membuka matanya dan kuucapkan padanya sambil tersenyum, “Selamat Usi, kamu berhasil!,” Usi girang bukan main, ia langsung merebut gawainya yang ada di tanganku untuk melihatnya sendiri.
“Bagaimana denganku?,” lanjutku memotong kegirangan Usi. Seketika Usi menampakkan muka datarnya dan langsung memelukku, ternyata dia sudah melihat hasilku lebih dulu. Kakiku mendadak lemas, aku tak ingin mendengar sepatah katapun dari mulut Usi. Bisa-bisanya dia sangat gembira ketika temannya tidak mendapat hasil yang sama dengannya.
Usi tiba-tiba berbisik menggelikan dan berkata, “Selamat ya, Sya, kamu lulus SNMPTN tahun ini.” Kudorong Usi kembali ke posisi semulanya. Aku langsung meraih gawaiku dan melihatnya sendiri. “Alhamdulillah…,” aku menghela nafas yang kutahan sejak tadi Usi memeluk.
Aku dan Usi mendaftar di perguruan tinggi dan fakultas yang sama, kami juga pendaftar dari sekolah yang sama dan kami sama-sama diterima. Institut Teknologi Bandung, Fakultas Teknologi Informatika. Ya, universitas teknik terbaik di Indonesia dengan passing gradenya yang tinggi, membuat banyak orang yang meminati jurusan tersebut berandai-andai untuk diterima disana, termasuk kami. Kata orang, agak mustahil kami berdua lulus, pasti salah satunya gugur.
Usi menjadi sorotan seluruh mata dalam bus itu karena kebisingannya yang sangat. Ia sibuk memberi tahu ibunya dengan sangat berisik, bahwa ia lulus SNMPTN tahun ini. Kupikir, aku lebih baik memberi tahu ibu secara langsung.
Langit biru yang terbatasi jendela membuatku terdiam mensyukuri hasil yang sangat kuharapkan. Namun, aku teringat perkataan ibu kala itu. Lantas, apa ibu berharap hasil yang sama denganku?
Gagang pintu rumah terus kupengang tapi ragu untuk kudorong, aku takut untuk masuk. Sepertinya aku terlalu lama ragu dan hanya berdiri di depan pintu, hingga ibu lebih dulu membukanya. Kaget. Aku gelagapan, sampai-sampai mukaku merah padam.
Ibu berkata “kamu kenapa? Aneh.” “Oh ya, ibu mau ke rumah bibi dulu, pulangnya paling ba’da isya ya, Sya,” lanjutnya, lalu meninggalkan rumah. Tanpa menjawab, aku langsung bergegas ke kamarku. Aku terlalu takut pada ibu sejak memintanya membantuku mengurus berkas SNMPTN sebulan lalu. Tanpa alasan, sesaat setelah aku meminta bantuannya, ibu langsung berkata bahwa ia tak setuju jika aku lanjut kuliah. Ia bahkan tidak memberi tahu sebabnya dan langsung pergi saat itu juga. Karena itu, aku berpikir beribu kali, apa aku harus memberi tahunya soal kelulusanku di SNMPTN tahun ini? Bagaimana jika responnya sama, atau mungkin lebih dari yang kuduga? Entahlah, meskipun begitu, penting bagi ibu untuk tahu perihal apapun itu.
Bulan sudah bertukar peran dengan matahari, suara tokek yang nyaring terdengar dari bawah pohon jambu depan. Penggorengan dan spatula beradu di atas kompor, aku sengaja masak lebih malam ini, spesial karena ingin memberi tahu ibu hasil SNMPTN-ku yang baru keluar tadi siang.
“kreeek..,” suara pintu terbuka, siapa lagi itu kalau bukan ibu. “Assalamualaikum Sasya,” sapa ibu sepulangnya dari rumah bibi. “Waalaikumussalam bu, eh ibu sudah pulang. Ibu belum makan, kan? Sini, aku masak buat ibu, lho!” jawabku sambil mengajak ibu ke meja makan. “Ih tumben anak ibu masak, ada apa nih?,” tanya ibu. “hehe nggapapa bu, laper aja tadi, jadi sekalian,” sahutku.
“Oh iya, Sya, tetangganya bibi yang seumuran sama kamu, kelas tiga SMA juga, inget kan? Dia kayaknya daftar kuliah lewat jalur apa teh yang pakai rapot itu? Ibu lupa namanya,” tanya ibu lagi “SNMPTN bu, kenapa memang? Tetangga bibi lulus SNMPTN? Wah.. keren! Universitas mana, bu?” tanyaku penasaran. “Justru sebaliknya, Sya. Dia ngga keterima. Dia sedih banget, suara nangisnya sampai kedengeran ke rumah bibi. Untung ya, Sya, ibu suruh kamu waktu itu jangan lanjut kuliah, apalagi daftar SNMPTN kayak gitu. Kalo ngga keterima, mungkin kamu akan seperti tetangganya bibi,” lanjutnya. Seketika, perkataan barusan sangat menamparku. Aku ragu dan terus ragu untuk memberitahunya.
“Bu, aku sebenernya daftar itu juga. Alhamdulillah, aku keterima,” aku memberitahunya dengan tenang, dan mencoba yakin bahwa ibu mendukungku.
Kegelisahan dan keraguanku sejak awal ternyata benar adanya. Ibu bahkan sudah menyiapkan pekerjaan untukku setelah lulus SMA nanti.
Entah apa jawabanku, jika banyak orang yang menanyakan nasib adik kelas kedepannya, karena aku tak mengambil kuota seleksi jalur berkas itu. Entah apa jawabanku, jika banyak orang yang menanyakan cita-cita dan mimpiku. Entah apa yang menjadi alasan ibu tidak memperbolehkanku kuliah, ia tidak memberiku isyarat, bahkan sepatah katapun. Entahlah, setelah ini, hanya ‘entah’ yang dapat kukatakan. Entahlah, rasanya ingin teriak, “AKU NGGA TAHU HARUS BAGAIMANA LAGI.”. Andai, ayah masih ada..
Memiliki teknologi kecerdasan buatan yang diprogram olehku sendiri, sekaligus bisa membantu orang lain dari teknologi tersebut, adalah bagian dari mimpi terbesarku. Salah satu jalannya, ya lewat kuliah. Tetapi, bagaimanapun juga, jika ibu tidak meridhoiku, hasilnya akan nihil bahkan tidak berkah, hanya lelah saja yang akan kutuai nantinya.
Batas pendaftaran ulang SNMPTN masih sebulan lagi. Memang masih lama, terkesan masih ada harapan. Namun, harapanku kali ini bagai vas bunga pecah yang benar-benar sulit untuk kembali seperti semula, bahkan tidak bisa. Saat ini, hanya Allah yang menjadi harapanku. Mungkin kekecewaan ini datang karena aku lupa menaruh harap pada-Nya, dan terlalu berharap kepada makhluknya.
Hari-hari setelahnya ya.. gitu-gitu aja. Bertindak layaknya diriku baik-baik saja selama dua pekan terakhir terasa sangat berat, terutama di depan ibu. Aku tak ingin menunjukkan rasa sedih, kecewa, tidak terima dan hal-hal yang tidak mengenakkan lainnya di depan ibu. Karena tak ingin menambah kesedihan ibu setelah kepergian ayah setahun lalu, akibat virus yang mengakibatkan pandemi tak berujung ini.
Teman-temanku yang tidak lulus di SNMPTN langsung bergegas move-on ke SBMPTN, yaitu seleksi masuk perguruan tinggi lewat tes akademik. Aku pun akan bertindak demikian jika tak lulus. Mempersiapkannya, memperjuangkannya dan memastikan akan mendapatkannya. Sedangkan teman-temanku yang lulus SNMPTN, mereka sibuk mempersiapkan berkas dan lain hal. Bagaimana dengan diriku sendiri? Sudahlah, akan kuikuti air ini sampai ke hilir sungai.
Matahari sehat sudah berganti dengan matahari terik satu jam lalu. Ditengah temanku yang sedang menanyakan rumus geometri padaku lewat telepon, email dengan judul “Congratulation!” muncul di notifikasi ponsel genggamku. Mungkin itu hanya iklan penipuan, jadi kubiarkan. Tiga jam setelahnya, aku mendapat telepon dari nomor tak dikenal, lalu kuangkat.
“Selamat Siang, dengan Sasya Helena?” sapa operatornya dan menyebut namaku. “Ya, betul, dengan siapa ya?” jawabku. “Saya Astri, Panitia kompetisi Your Brain 2021. Sebelumnya apa Kak Sasya sudah mengecek email dari kami, atas nama yourbrain[-at-]gmail.com, yang dikirim sekitar jam 10 pagi?” “Sebentar ya, mbak, saya cek dulu,” email yang tadi pagi kuabaikan, pikirku. Aku bergegas mengeceknya.
“Apa sudah?” “Sudah, mbak, jadi ini saya harus gimana ya? Maaf saya kurang paham,” sahutku kebingungan. “Jadi karena kakak memenangkan kompetisi ini, kakak berhak mendapat rewardnya. Para pemenang diminta untuk menghubungi contact person yang tertera di email tersebut. Batas waktunya setengah jam lagi, jam dua siang. Sedangkan kakak belum menghubungi kami untuk konfirmasi lebih lanjutnya, jadi kami yang menghubungi kakak. Saya hanya ingin menginformasikan, jika kakak berkenan untuk menerima reward dari kami, silakan untuk mengisi data diri di link google form yang akan saya kirim, maksimal pengisian google form yaitu lusa jam 12 siang ya, kak,” jelas operatornya secara runtun. “baik, mohon maaf merepotkan, terima kasih banyak ya, mbak,” jawabku sambil terbingung, tak percaya. “Itu saja yang ingin saya sampaikan Kak Sasya, mohon maaf mengganggu waktunya, terima kasih kembali, Selamat Siang,” ucapnya dan langsung memutus teleponku.
Ternyata email berjudul ‘Congratulation!’ tadi pagi bukanlah iklan penipuan, melainkan kesempatan berhargaku. Huft.. aku terlalu putus asa hingga mengabaikan hal yang sebenarnya penting.
Tiga bulan lalu, aku mengikuti kompetisi coding tingkat nasional jenjang SMA dan Mahasiswa/Sederajat. Inovasi kecerdasan buatan, yang menggabungkan antara teknologi fingerprint, iris scanner dan face unlock menjadi satu kesatuan yang lebih ketat. Hal ini kubuat untuk diterapkan pada bank dan rumah penduduk. Dengan tujuan meminimalisir kriminalitas disekitarnya. Aku menduduki peringkat pertama, mengungguli pelajar seumuranku juga mahasiswa yang kebanyakan sedang mendalami dunia perkomputeran atau pemrograman.
Reward untung pemenang utama lumayan besar. Satu buah laptop dengan spesifikasinya yang tinggi dan beasiswa kuliah di Indonesia selama S1 yang ditanggung full oleh pengelola. Karena itu, tadi sempat diminta untuk mengisi data diri. Karena tenggat pengumpalan data dirinya lusa, aku akan diskusi dahulu dengan ibu.
Pesimis dengan jawaban ibu nanti. Jadi, kukabarkan kepada guruku terlebih dahulu, kalau aku berkesempatan memenangi lomba bergengsi tingkat nasional itu. Juga, aku sedikit menceritakan drama antara aku dan ibu, sejak pengumuman SNMPTN, dua pekan lalu.
Guruku selalu mendukung keputusan dan keinginanku. Jadi, aku merasa lebih baik ketika bercerita padanya, beliau sangat men-supportku. Terakhir sebelum kututup telepon dengan guruku, beliau bilang, “tetap semangat ya, Sasya! Apa yang akan terjadi nanti, insyaAllah itu terbaik menurut-Nya. Pasti ada hikmahnya.”
Tetap. Semua keputusanku adalah keputusan ibu. Sejak kepergian ayah, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, untuk menuruti dan membahagiakan ibu selama sisa hidupku. Aku anak semata wayangnya. Hanya aku yang bisa ibu andalkan. Semoga kali ini ibu memberi tahuku alasannya. Mungkin aku tidak akan terus memikirkannya jika tahu alasan jelasnya.
Kicauan kakaktua lengkap menghiasi sejuknya cuaca pagi ini. Hari yang cerah, seperti mimpi-mimpiku.
“Sasya!” Ibu memanggilku dari sudut kamar tidurnya.
Ketika aku menghampirinya, ibu langsung memelukku dengan erat. Aku pun terbengong dengan herannya. Tak ada angin, tak ada hujan, orang bilang. Betapa euforianya diri ini di hari yang cerah itu, ibu berkata dengan semangatnya, “Nak, hari ini juga kamu harus daftar ulang SNMPTN, ya! Ibu akan bantu segala yang kamu butuhkan, ibu akan mengantarmu mengurus berkas, ngirim berkas, dll. Pokonya ibu mau kamu daftar ulang secepatnya, ya!”
Air mata yang tak terbendung menghujani pipiku. Aku bahkan belum memberitahunya soal kompetisi yang kumenangkan kemarin. Sungguh ini ajaib. Tapi, bagaimana bisa?
Usut punya usut, ternyata guruku membeberkan semuanya lebih dulu. Beliau memang keren, kata-katanya bisa mengubah pola pikir banyak orang. Sekarang aku mengerti ibu melarangku kuliah. Ibu sendiri dulu adalah seorang ilmuwan, yang hampir menginjakkan gelar insinyurnya di Jerman. Namun, ibu menyembunyikannya dengan sangat rapi. 17 tahun bersamanya, bahkan aku tak pernah tahu. Kala itu, ibu terbuang, lantaran temuan dan penelitiannya dianggap tak masuk akal dan sangat tidak realistis. Padahal penelitiannya dilakukan selama tujuh tahun lebih. Sejak saat itu, ibu kecewa, ibu takut hal yang sama menimpanya padaku. Tak dihargai. Jadi ibu melarangku untuk kuliah. Tetapi berkat guruku, entah apa yang dibicarakannya kepada ibu, ibu menyadari bahwa tidak semua takdir orangtua akan turun-temurun ke anak cucunya.
Betapa indah kejutan ilahi rabbi. Vas bunga yang pecah seperti tersusun kembali tanpa rancangan, bahkan sentuhan. Rencana-Nya sangat tak terduga. Sempat kecewa dan hampir hilang harapan. Namun, kepahitan sekecil ini sebenarnya adalah ladang kita untuk mengemis pada-Nya, lebih mendekat pada-Nya dan menaruh harapan besar pada-Nya. Dibarengi ikhtiar dan doa, juga senantiasa tawakal pada-Nya.
Cerpen Karangan: Ayu Salma Fitria Ayu Salma Fitria, biasa dipanggil Salma. Tinggal di tangerang. Lahir di Tangerang, 6 November 2004. Duduk di kelas 11, SMAIT Insantama
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com Maaf kakak sempet off beberapa hari karena harus bolak balik ICU, ada anggota keluarga yang sakit meski pada akhirnya harus berpulang… stay safe ya guys!