“Bu, minta duit mau pergi kerja kelompok!” pinta Rina maksa pada ibunya. “Ibu sedang tidak ada uang nak, tinggal Rp. 20.000 inilah uang ibu untuk belanja besok!” jawab ibu sambil mengeluarkan uang di saku celana beliau dengan harapan putrinya bisa memahami kondisi ekonomi keluarga saat ini. “Untuk Rina aja ya Bu, besok kan ibu udah gajian. Rina perlu uang untuk kerja kelompok!” jawab Rina sambil merampas uang yang sedang dipegang ibunya.
Ibu Ayu, ibunya Rina tercengang melihat sikap putrinya yang bisa setega itu kepada dirinya. Semenjak masuk SMK putrinya berubah. Dulu putrinya sering membantu mengerjakan pekerjaan rumah, kadang Ibu Ayu sering bersenda gurau bersama Rina saat masak di dapur. Pernah terbesit di pikiran Ibu Ayu, mungkin memasukkan anaknya ke SMK adalah suatu kesalahan. Pergaulan di sekolah telah merubah putrinya menjadi anak yang royal dengan uang. Hampir setiap hari Rina minta uang untuk keperluan sekolah. Bahkan tak segan-segan ia meminta uang hanya untuk membeli baju baru setiap kali ada acara pesta ulang tahun temannya. Tapi Ibu Ayu tetap mengabulkan permintaan Rina demi kebahagiaan dan masa depan putrinya.
Semenjak suaminya meninggal 3 bulan yang lalu, Ibu Ayu kerja lebih keras lagi. Biasanya beliau hanya kerja di pabrik roti dari jam 08.00 pagi sampai jam 16.00 sore. Kini, beliau juga mengambil job di luar, menjadi buruh cuci. Pekerjaan mencuci dikerjakan setelah pulang dari pabrik roti. Begitulah pekerjaan Ibu Ayu setelah menjadi janda anak satu.
Rina tidak pernah tahu bagaimana pengorbanan Ibu Ayu untuk memenuhi semua keperluannya. Ia berangkat ke sekolah sebelum ibunya berangkat kerja dan pulang menjelang Maghrib tiba. Hampir dibilang ia tidak pernah ada waktu untuk membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Jika hari libur ia pergi jalan-jalan bersama temannya.
Minggu pagi Ibu Ayu kerepotan menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya dan putri semata wayangnya, sedangkan saat itu Rina masih tidur. Setelah selesai menyiapkan sarapan beliau langsung buru-buru berangkat kerja karena lima belas menit lagi beliau masuk kerja. Beliau tidak sempat sarapan di rumah. Dengan tergesa-gesa ia berjalan menuju pabrik roti. Dengan membawa bekal sarapan di tangan kanannya, ia jalan kaki menuju pabrik roti.
Sarapan sudah terhidang di atas meja, dengan lauk tempe sambal terasi, tumis kangkung itu yang bisa dimasak Ibu Ayu, karena uang Bu Ayu hanya cukup untuk membeli lauk tersebut. Tidak hanya itu, tidak jarang Ibu Ayu berjalan kaki pulang pergi dari tempat kerja yang jaraknya sekitar 1,5 KM dari rumah. Begitulah Ibu Ayu sangat menghemat uangnya agar ia bisa membiayai kebutuhan sekolah putrinya.
Jam sepuluh pagi Rina bangun dari tempat tidurnya. Dengan langkah malas ia berjalan menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi, ia membuka penutup makanan yang ada di atas meja makan. Rina mengeluh saat melihat masakan ibunya. “Ckck… Yah, lagi-lagi lauk yang dimasak ibu ini, kalau enggak tahu, tempe, gitu-gitu aja. Sekali-kali masak ayam goreng napa bu,” keluh Rina dengan wajah merenggut melihat masakan ibunya. Rina duduk di samping meja makan. “Enak ya, kalo jadi orang kaya. Makan enak tiap hari, pakai pakaian yang bagus, jalan-jalan naik mobil nggak kepanasan dan nggak kenak hujan” tutur Rina sambil mengkhayal menjadi orang kaya.
Tiba-tiba ia teringat kalau ia ada janji dengan Shinta jam 15.00 sore. Ia baru sadar kalau uang yang diberikan ibu kemarin telah habis untuk mentraktir temannya beli cendol kemarin sore. Kemudian Rina bergegas ke pabrik roti tempat ibunya kerja. Sedangkan sarapan yang telah dimasak ibunya dengan buru-buru tadi tidak jadi ia makan. Begitulah Rina, ia lebih menghargai temannya daripada ibunya sendiri.
Sementara di pabrik roti Ibu Ayu sedang sarapan. Beruntung hari ini beliau tidak terlambat sampai ke pabrik dan bos hari ini sedang berbaik hati memberinya kesempatan lima belas menit untuk sarapan. Bu Ayu terus memasukkan makanan ke dalam mulutnya dan sesekali ia meminum air yang ada di botol minum miliknya.
Setelah selesai sarapan, Bu Ayu membantu Bu Siska menyusun roti-roti yang telah dibungkus ke dalam box sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan. Bu Ayu orangnya sangat sigap, berbeda dengan Bu Siska. Karena kinerjanya yang baik dan loyalitasnya yang tinggi, bos sangat suka dengannya sehingga ia sering mendapat tips lebih saat gajian. Hal ini yang membuat Bu Siska terkadang merasa iri padanya.
Bu Ayu, putri ibu si Rina, sering saya lihat dia jalan-jalan bersama temannya dan nongkrong di cafe sore-sore, bu!” kata Bu Siska. “Iya, Bu?” tanya Bu Ayu tidak percaya. “Iya Bu, kemarin saya lihat Rina teraktir teman-temannya beli cendol di tempat kang Dadang!” tambah Bu Ririn. Bu Ayu diam. Beliau masih tidak yakin dengan apa yang diucapkan Bu Siska dan Bu Ririn tentang putrinya. Tetapi ia masih membela putrinya. “Mungkin ibu Siska dan Bu Ririn salah lihat, putri saya manalah mungkin berbuat demikian, ia selalu pamit sama saya kalau ia lama pulang karena kerja kelompok di rumah temannya!” tutur beliau membela putrinya. Walaupun sebenarnya ia sudah mulai curiga dengan putrinya, tetapi ia masih membela. “Nggak mungkin saya salah lihat Bu Ayu, malah Rina sendiri yang menegur saya kalau tidak, manalah saya tahu ada Rina di situ!” terang Bu Ririn meyakinkan Bu Ayu. “Masak hampir setiap hari kerja kelompok?” tanya Bu Siska curiga. “Kemenakan saya juga sekolah di SMK, satu sekolah dengan putri Bu Ayu, tidak pernah saya lihat pergi kerja kelompok!” tambah Bu Siska ingin membuat hati Bu Ayu panas. “Mungkin beda kelas, Bu Siska!” ucap Bu Ayu masih membela putrinya sambil berlalu meninggalkan Bu Siska dan Bu Ririn ke dalam untuk mengambil roti-roti yang telah dikemas. Sebenarnya ia sudah mulai panas dengan ucapan mereka yang terus menerus menjelek-jelekan anaknya.
“Kasihan ya Bu Ayu, setelah suaminya meninggal ia jadi kerja keras kek gitu. Setelah pulang dari pabrik roti ini, dia langsung nyuci pakaian orang. Sementara putrinya berfoya-foya di luar dengan temannya!” ucap Bu Siska setengah berbisik agar tidak kedengaran oleh Bu Ayu. “Bu Siska dari mana tahu?” tanya Bu Ririn penasaran. “Bu Ririn tahu? Bu Ayu sering pulang pergi dari pabrik roti ini jalan kaki, pernah saya tanya saat ketemu di jalan katanya ia ingin olahraga!” “Ya Allah… Kasian kali Bu Ayu. Capek kali lah, kerja di pabrik ini aja udah capek, pulang pergi jalan kaki terus sampai di rumah lanjut nyuci pakaian orang. Ya Allah.. nggak kebayang saya Bu Siska, kalo saya jadi Bu Ayu pasti nggak sanggup!” jawab Bu Ririn. “Lihatlah Bu, badan Bu Ayu sekarang makin kurus kan? Itu karena dia kecapean!” ucap Bu Siska matanya sambil melirik ke arah Bu Ayu. “Kok tega kali ya si Rina itu sama ibunya. Nggak kasihan apa dia? Kalau aku punya anak kayak gitu, nggak perlu kusekolahkan dia. Mending dia ikut aku kerja di pabrik roti ini!” “Itulah Bu Ririn, Bu Ayu itu terlalu memanjakan anaknya!” sahut Bu Siska.
Sementara di sebalik pintu Rina sudah lama berdiri dan mendengarkan semua yang diceritakan teman-teman ibunya tentang dirinya. Tak terasa air matanya menetes mendengar penderitaan yang dialami ibunya. Ia merasa sangat bersalah. Ia ingin segera pulang untuk membuktikan semua perkataan Bu Siska.
Jam 16.00 Rina sengaja duduk di warung Bu Titin makan gorengan sambil menunggu ibunya pulang. Biasanya Bu Ayu selalu lewat jalan di depan warung Bu Titin karena hanya jalan ini satu-satunya jalan menuju rumahnya. Sepuluh menit sudah, tapi ibunya belum juga lewat. Lima menit kemudian Bu Ayu lewat. Dengan ramah Bu Titin menyapa Bu Ayu untuk singgah di warungnya. Melihat Bu Titin menegur ibunya, Rina memberi kode isyarat agar tidak memberitahukan keberadaannya. Bu Titin mengikuti isyarat Rina.
“Bu Ayu, singgah sebentar ini ada gorengan masih hangat, Bu!” tawar Bu Titin kepada Bu Ayu. “Iya Bu, lain kali saja!” tolak Bu Ayu lembut. Rina duduk membungkuk di bawah meja agar tidak kelihatan dengan ibunya. Setelah ibunya jalan melewati warung, Rina memperbaiki posisi duduknya. Karena penasaran Bu Titin bertanya kenapa Rina tadi sembunyi saat ibunya datang.
“Ibumu sudah pergi!” ujar Bu Titin. “Iya, Bu!” jawab Rina sekenanya. “Kenapa kamu sembunyi saat ibumu datang?” tanya Bu Titin ingin tahu. “Ibu nggak ngasih aku makan gorengan, karena tadi malam aku batuk-batuk aja, Bu!” jawab Rina bohong. “Ouh..” Bu Titin mengangguk-angguk paham. “Oh, ya Bu. Ini uangnya tadi aku makan bakwan 3, pisang 2 ya Bu! Tapi Bu Titin janji, jangan bilang-bilang ibu ya!” ucap Rina memelas. “Ok!”
Rina berjalan mengendap-endap masuk ke rumahnya seperti maling. Perlahan ia membuka pintu agar ibunya tidak mengetahui keberadaannya. Dari dalam ia mendengar suara air dari kamar mandi. Rina terus berjalan sampai ke kamar mandi. Langkahnya berhenti saat di depan pintu kamar mandi. Ia melihat ibunya sedang mencuci pakaian yang sangat banyak dan sesekali tangan ibunya mengusap dahi yang basah karena berkeringat.
“Ibu…” tegur Rina dengan suaranya yang lirih. Ia tahan menahan air matanya menyaksikan penderitaan ibunya. Berarti benar apa yang diceritakan Bu Siska tentang ibunya. Sementara itu Bu Ayu kaget melihat putrinya sudah ada di depan pintu kamar mandi. Karena panik beliau langsung berdiri menghampiri putrinya. Segera ia membersihkan tangannya dari buih sabun. Karena tidak hati-hati, hampir saja Bu Ayu terpeleset.
“Rina? Kenapa kamu nangis?” tanya ibunya panik. Rina tidak sanggup menjawab pertanyaan ibunya.
“Rina, jawab pertanyaan ibu kamu kenapa?” tanya ibunya makin panik karena putrinya tidak mau menjawab. “Kamu tidak kenapa-kenapa kan? Atau ada orang yang menjahati kamu? Bilang sama ibu siapa orangnya?” tanya ibu dengan geram. Sambil menangis, Rina memeluk ibunya. Ia tidak peduli dengan baju ibunya yang basah. Baginya pelukan ibunya saat ini membuat hati nyaman. Tapi berbeda dengan apa yang dirasakan Bu Ayu. Karena pelukan Rina yang tiba-tiba dan sambil menangis membuat dirinya khawatir. Bu Ayu melepaskan pelukannya.
“Jawab jujur, kamu kenapa?” Dengan sesegukan Rina menjawab, “Maafkan Rina, Bu! Rina banyak salah sama ibu. Rina sudah durhaka sama ibu. Selama ini Rina telah berbohong sama ibu kalau Rina sebenarnya tidak pergi kerja kelompok, maafkan Rina, Bu! Rina akui kalau apa yang Rina lalui adalah hal yang salah. Maafkan Rina ya, Bu!” rengek Rina. “Iya, ibu juga minta maaf. Ibu belum bisa membahagiakan kamu. Maafkan ibu juga, ya!” ucap ibu sambil memeluk Rina kembali.
Bu Ayu dan Rina saling berpelukan. Tangan Bu Ayu mengelus lembut kepala putrinya dan sesekali ia mencium putrinya. Rina merasa sangat menyesal atas perbuatannya. Kini ia menyadari bahwa ibunya sangat menyayangi dirinya.
“Bu, Rina bantu cuci baju, ya?” tawar Rina sambil melepas pelukan ibunya. “Hem… Gimana ya, boleh nggak ya…!” Bu Ayu memainkan bil matanya. Rina cemberut. “Boleh dong sayang!” jawab Bu Ayu sambil tersenyum. “Terima kasih, Bu. Rina sayang ibu!” ucap Rina sambil memeluk ibunya kembali. “Ibu juga saya sekali sama Rina, putri ibu yang cantik jelita ini!”
Kemudian Bu Ayu dan Rina mencuci baju bersama. Setelah kejadian ini Rina lebih banyak meluangkan waktu untuk membantu ibunya. Kejadian ini adalah pelajaran berharga dalam hidupnya. Bahwa kebahagiaan sesungguhnya bisa membuat ibunya bahagia. Dan Rina juga tidak lupa berterima kasih kepada Tuhan yang telah menyadarkan diri sehingga ia tidak berlarut-larut dalam kesalahan.
Cerpen Karangan: Masliana Savitri Blog / Facebook: Putri Atau Pitri
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com Maaf kakak sempet off beberapa hari karena harus bolak balik ICU, ada anggota keluarga yang sakit meski pada akhirnya harus berpulang… stay safe ya guys!