Hari ini katanya adalah hari ulang tahun bapak. Aku hampir tak pernah mengingatnya. Bukan, bukan karena Aku abai. Tapi lebih tepatnya ragu. Kebanyakan, anak kecil mulai penasaran dengan identitas orangtua dan anggota keluarganya. Termasuk diriku yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Buk… bu’e laire tanggal piro?” tanyaku “Ibuk ki gampang ilingane Din, enem… enem… enem..” sembari mengisyaratkan keenam jemarinya Aku mengrenyitkan dahi “Tanggal 6 bulan 6 tahun 62” lanjutnya “Ooo…” Aku masih berusaha mengingat. “La kalau Bapak?” tanyaku lagi “Kalau tanggal lahir Bapak itu…” beliau diam sejenak “Mbuh lah, takok bapak wae” Jawab Ibu sembari melirik ke arah kamar tidur Bapak “Loh, Ibuk kok gak ngerti?” protesku bingung Ibu menghela napas panjang sambil memandangi anak ke empatnya yang berkedip penuh harap “Ndisik kui ning KTP ne bapak tulisane Agustus, terus ganti KTP anyar ulane yo melu ganti. Sing ajeg iku mung tahune… 1956”
Mbak Rois yang sedang pulang liburan dari pondok berinisiatif merapikan lemari buku Bapak. Aku dan mbak Mila kebetulan ingin membantu. Bukan membantu ding. Lebih tepatnya ngerepotin. Haha. Walhasil kami langsung nimbrung membaca setiap judul demi judul buku Bapak. Sebagian besar bertuliskan huruf hijaiyyah yang kelak setelah mondok di pesantren, kami menyebutnya kitab.
Sejurus kemudian kami menemukan itu. Beberapa kertas berbentuk persegi panjang, agak tebal dengan foto dan cap jempol di pojok kanan bawah. Agak usang memang. “Kartu Tanda Penduduk Indonesia” Aku membacanya terbata Banyak pertanyaan kami lontarkan kepada mbak Rois.. Ini milik siapa? Apakah ini Bapak dan Ibu? Bapak kok terlihat beda wajahnya?
Ternyata itu adalah KTP Bapak dan Ibu tempo dulu. Ada juga yang versi terbaru. Terbesit dalam benakku untuk memperhatikan kolom tanggal lahirnya. Wallaaaaa… Semua BEDA! Yang sama hanya tahunnya saja. “Benar kata Ibu” batinku “Mengapa bapak melupakan tanggal lahirnya sendiri?”
Beberapa waktu berlalu. Saat itu hari libur tapi bukan Minggu. Betul, Satu Januari. Kalau tidak salah tahun 2008. Aku memakai kaus kuning bergambar kartun kesayangan Dora the Exsploler bersama keponakanku Nadia yang masih balita.
“Bapak… ayo jalan-jalan” pintaku sambil memandangi pohon sawo yang semakin tinggi
“Iki sek rame ratane… ngko sek yo nduk” tolak bapak sambil duduk di atas dipan bambu halaman “Bapak.. ndek biyen cilik e piye?” Entah kenapa Aku ingin menanyakan itu
Bapak bukanlah bapak yang suka berkisah. Bukan pula bapak yang mudah mendeskripsikan sosoknya. Jadi Aku tidak berharap beliau akan berbagi cerita yang super seru ini.
“Bapak itu anak paling cilik. Biyen… Mbok’e (sapaan bapak kepada ibunya) nglambini anak e nganggo goni” “Goni?” sangat asing ditelingaku “Goni itu yang biasanya digunakan untuk wadah gula. Sejenis sak (karung) tapi warnanya coklat. Kadang disebut juga dengan kadut” terang bapak Aku sungguh masih belum sepenuhnya paham. Oke lanjut.
“Mbiyen.. wong iku yo klambine kui nduk. Goni. Siji tok. Gak nduwe salin” Aku tercengang “Kalau bajunya Bapak dicuci yo wudo” Aku dan bapak tertawa bersamaan. Sungguh kenelangsaan yang terasa seperti lawakan. “Nyucinya gak pakai sabun loh nduk” “La terus gimana?” “Digodok” jawab Bapak singkat “Loh kok baju direbus?”tanyaku masih penasaran “Ya… harus direbus, memang caranya begitu. Mben tumone mati” Aku bergidik geli. Aku paham betul dengan hewan bernama tumo atau kutu itu. Ia kerap kali hinggap di rambut sebagai parasit. Tapi kalau di baju? Oh no!
“Itulah nduk, kehidupan Bapak waktu kecil. Tidak seberuntung dirimu sekarang yang makanan, pakaian, dan pendidikannya tercukupi.” Bapak menutup kisahnya dengan petuah tentang pentingnya bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang. Berusaha untuk hidup lebih baik dan layak tentunya. Setelah itu Aku percaya, bahwa umur bapak sudah tidak muda. Tahun 1956 bapak lahir dalam keadaan Indonesia yang masih belum tertata. Rakyat hidup seadanya meski telah merdeka. Sangat maklum jika ibunya bapak tak ingat kapan beliau melahirkan putra bungsunya. Bapak, bisa jadi bukan sedang lupa. Tapi Bapak tidak pernah tahu kapan ulang tahunnya.
Tadi sore Aku mendapat kiriman foto tumpeng dari mbak Rois, ia bilang itu tumpeng dari salah satu perusahaan rokok ternama Indonesia yang kebetulan menjadi mitra kerja Bapak. Mbak Nurul juga tak ketinggalan update status di akun facebooknya.
“Apa bapak ulang tahun?” batinku Sontak Aku cek di kartu keluarga Dan menemukan tanggal 10 September 1956 Aku tertegun, “Jadi mana yang benar?”
Tanya bapak saja
Cerpen Karangan: Dina Zubaidah Blog / Facebook: Dinaa Addnan
Dina Zubaidah, gadis kelahiran Tuban yang akrab dipanggil Dina memiliki hobi mencari hal-hal baru lewat buku dan travelling. Ia aktif berbagi pengalaman hidup di Fb: Dinaa Addnan dan channel youtube Dina Zubaidah.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com Maaf kakak sempet off beberapa hari karena harus bolak balik ICU, ada anggota keluarga yang sakit meski pada akhirnya harus berpulang… stay safe ya guys!