Malam-malam mencekam kembali datang. Lebih dingin dari biasanya. Kebut-kebutan di jalanan guna menghilangkan sedikit beban pikiran, dia lantas berhenti di depan sebuah rumah makan. Bukan karena perutnya yang keroncongan, tapi sebuah kenangan yang tak pernah terjadi dalam hidupnya yang sepi. Tapi, ini masih belum terlambat guna membuat itu menjadi nyata bukan?
Memilih turun dari kendaraannya, dia lantas masuk ke rumah makan itu. Memesan tiga porsi untuk dia bawa pulang. Dengan ragu dia membawa bungkusan itu, keraguan kini membesar. Haruskah dia pulang kemudian dengan bodohnya menawarkan makan malam bersama?
Dua orang itu pasti akan tertawa nanti. Tapi, bolehkan dia berharap? Memejamkan mata sebentar, kini berpikir keras. Haruskah dia lakukan? Tidak ada salahnya mencoba kan?
Dia lalu mengangguk, menaruh makanan itu kemudian bergegas mengendarai kendaraan roda dua itu. Melesat dibawah cahaya rembulan, dia berhenti di sebuah pekarangan. Nampak sepi, seperti biasa. Tapi seorang wanita berdiri didepan pintu dengan wajah khawatir. Dia tersenyum, melepas helm yang dia kenakan sedari tadi. Dia lalu mendatangi wanita itu, ibunya.
“Dari mana kamu, Ja? Astaga, cepat masuk. Angin malam gak baik,” si Ibu mengomeli Raja–anaknya yang baru pulang entah darimana. Tak lupa dia juga menarik telinga kanan anak laki-laki itu dan membawanya masuk. Raja hanya menampilkan senyum lima jarinya, dia lalu ikut masuk karena telinganya ditarik oleh sang ibu. Mengaduh pelan sambil mengusap telinganya yang memerah, kini bukannya si Ibu berhenti, tapi dia malah melanjutkan ceramahnya.
Raja menaruh makanan yang dia bawa diatas meja. Dia ke kamarnya, tangannya menari dengan lincah diatas layar ponsel pintarnya. Menghubungi ayahnya, yang juga pria yang sangat dibenci oleh ibunya.
Selepas itu, dia segera berganti pakaian dan menyisir rambut sebentar. Perasaannya kini berkecamuk, rasa takut tapi senang menjadi satu padu. Bagaimana jika nantinya dua orang yang sangat dia sayang itu malah bertengkar semakin hebat? Tapi kalau mereka jadi berbaikan juga… itu hal yang mugkin, kan?
Suara mobil terdengar. Ah, itu pasti mobil ayahnya. Belum sempat Raja beranjak, suara gaduh terdengar dari luar. Raja menghela nafas, dia tidak bisa lagi seperti dulu. Dia kini bukan dirinya yang selalu menutup pintu dan menyalakan musik dengan kencang kala orangtuanya bertengkar. Rasanya dia sudah terbiasa, tapi karena terlalu sering dia menjadi muak.
Raja melangkah keluar, menatap mereka dari depan pintu. “Ayah, Ibu,” panggilnya pelan, tenggorokannya mengering. Rasa takut kini menguar semakin membesar, tapi dia tidak boleh kalah dengan itu.
“Bisa kita makan di satu meja yang sama?” entah keberanian darimana sehingga kalimat itu keluar begitu saja dengan apiknya. “Kenapa? Kenapa harus dengan dia, Raja?” tanya ibu, netranya menatap kecewa kearah Raja. Apa Raja mengecewakannya? Dia hanya ingin seperti anak lainnya. Memang iya, ibunya pasti masih sakit hati dengan kelakuan ayahnya, tapi– Mereka tetap orangtua Raja, kan? Ayahnya tetap ayahnya, kan? Setidaknya, jika mereka gagal menjadi suami-istri, mereka masih memiliki kesempatan untuk menjadi ayah-ibu yang baik bagi Raja. Bukankah begitu?
“Ayah dan Ibu mungkin gagal menjadi suami-istri, tapi apa kalian ingin gagal menjadi orangtua bagi Raja juga?”
Tamparan telak bagi keduanya. Apa yang Raja katakan ada benarnya. Ibu memang tidak bisa memaafkan perilaku ayahnya Raja, tapi apa itu harus menghambat kebahagiaan dan ikatan seorang ayah dengan anak? Seharusnya tidak.
Ibu menghela nafas, dia kini sadar. “Maaf sudah menghalangimu untuk bertemu dengan putra kita,” ujar wanita itu kepada sosok pria didepannya. Raja yang tadinya menunduk kini menatap ke pemilik suara yang baru saja berbicara. Matanya berbinar, dia lantas memeluk erat ibunya. “Terima kasih telah mengerti.” Pria yang Raja panggil ayah itu lantas tersenyum, “Maaf juga atas perilakuku yang dulu-dulu. Terima kasih telah merawat Raja dengan baik.” Tangan miliknya itu lalu mengusap surai Raja lembut.
Mereka akhirnya makan malam bersama, dengan sedikit canda dan tawa yang Raja hampir lupa. Suasana yang Raja rindukan, meski sedikit ada rasa canggung mengingat mereka tak lagi seperti dulu.
Raja bersantai sembari duduk menonton televisi dengan ayahnya. “Apa kalian akan kembali bersama?” tanya Raja, tak ingin berbohong pada perasaannya, dia berharap yang ditanya akan menjawab iya. Ayah yang mendengarnya menatap Raja, dia terkekeh untuk sebentar.
“Keadaannya sudah berbeda, tak ada yang dapat dikembalikan tentang hubungan kami.” “Apa kamu berharap kami akan kembali?” tanya Ayah ketika telinganya menangkap suara helaan nafas Raja. Raja tertawa sumbang, “Bohong jika aku katakan tidak.”
Ya, sepertinya kisah Ayah dengan Ibu raja benar-benara berakhir. Tidak dapat diperbaiki lagi, seperti apa kata ayahnya. Raja ingin marah, tapi dia tak memiliki kuasa, bukan? Ada rasa sedikit sakit kala mendengar jawaban Ayahnya, tapi rasa-rasanya melepas seseorang pergi lebih baik untuk saat ini.
Semakin tumbuh, dia semakin menyadari. Orangtuanya bukan pahlawan super seperti apa yang dulu dia selalu katakan pada teman-temannya. Ayahnya bukan sosok pahlawan yang selalu ada, Ibunyapun sama. Mereka sama sepertinya.
Dulu, dia yang selalu bertanya-tanya kenapa mereka tidak pernah bahagia? Tapi kini dia menutup semua tanya, melupakan hal itu jika nanti akhirnya dia akan sakit mendengar jawabannya.
Cerpen Karangan: Pleiades Blog / Facebook: Zatsy Al-Qaff