Berteriak kearah langit, masih tak terima dengan takdir Tuhan. Mengacak rambut yang nampak kusut, menatap kosong kedepan. Tatapan gadis itu tampak nanar kearah sebuah nisan. Membayangkan wajah sosok yang mengabdi menjadi ayahnya.
Merunduk, mendekat kearah peristirahatan sang ayah, matanya berkaca-kaca. “Kapan Lala bisa bertemu Ayah?” ucapnya lirih sambil mengusap nisan dihadapannya.
Lala, gadis berseragam itu kini duduk. Melipat kaki menjadi bersila, dia lantas kembali bersuara. “Lala rindu, Ayah.”
Duduk dalam diam, menatap kosong kearah gundukan. Tapi pikirannya berterbangan ke awan. Dia percaya, dia tahu dengan sangat bahwasanya pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. Tapi ini terlalu menyakitkan, Tuhan. Perpisahan karena maut, menyisakan kejadian manis menjadi memori yang menyakitkan. Kejadian yang terjadi dengan tawa, tapi membuat meringis jika diingat. Ah, menyedihakn sekali, bukan?
Dia meraih tasnya, mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru langit, warna kesukaannya dan sang ayah. Dibukanya kotak itu, tangannya meraih lembar foto yang tersimpan rapih. Digenggamnya pelan, sembari diusap lembut.
“Lala punya puisi untuk Ayah, Ayah mau dengar kan?” netranya kini teralih kearah tempat sang Ayah. Namun sepi, tidak ada sahutan seperti yang dia harapkan.
Lala menghela nafas panjang, berusaha mengusir rasa sesak di dada. Sedikit tertawa sarkas kala dia menyadari bahwa dia tak akan pernah mendapat jawaban dari sang Ayah. Dia mengusap airmata di pelupuk matanya, sebelum bersuara. Mengeluarkan segala rasa yang selalu dipendamnya.
“Tuan tersayang, Tapi kau lebih disayang oleh Tuhan
Tuan, Cinta pertama anak perempuan Cinta pertamaku
Terima kasih atas pengabdianmu Memberiku berjuta kasih Sampai aku tak pernah kekurangannya
Tuan, Bagaimana kabarmu gerangan? Kamu pasti tidak sakit lagi, kan?”
Lala terisak, tapi dia segera menghapus airmatanya. Menetralkan nafasnya, guna melanjutkan puisinya. Rasanya sangat sesak, kehilangan orang yang sangat mencintai dan kita cintai.
“Tuan, kau curang Aku belum membalas semua kebaikan Tapi sudah kau tinggalkan aku sendirian.”
Lala menunduk, menatap kearah foto yang dipegangnya. Pertahanannya runtuh. Airmata menetes mengenai jari yang sedang mengusap benda tipis itu. “Tuan, lihat apa yang kugenggam Foto yang beribu kali kau tunjukkan Tidakkah kamu ingin melakukannya lagi? Tidakkah kau ingin menggodaku dengan foto masa kecil ini? Tuan, kapan-kapan jika kita bertemu Kau harus memberiku sebuah pelukan Sebuah kehangatan dalam dinginnya hari tanpa hadirmu Kau harus berjanji.”
Lala menunduk, memeluk erat lembar itu. Memorinya berputar. Suara tawa dari ayah dan dirinya seketika berubah menjadi delusi yang Lala harap tidak akan hilang. Tawa tanpa beban, satu dari banyak hal yang dia rindukan. Cukup lama, ternyata langit juga ikut berduka. Buktinya, langit ikut serta mengeluarkan bulir air dengan warnanya yang berubah kusam.
Takut-takut semakin larut dan deras, Lala bergegas untuk bersiap. “Ayah, Lala harus pulang. Beristirahatlah dengan tenang. Ayah kunjungi Lala juga, ya, dalam mimpi juga tak apa. Lala pamit,” tubuh itu beranjak. Pergi meninggalkan tempat terakhir dari sang Ayah.
Kakinya berjalan menapaki jalanan yang menyepi. Dia lalu duduk di bangku sembari menunggu bus. Menjelajahi kembali pikirannya yang terbang ke awang-awang, mengulik sedikit masa lalu yang nampak menyenangkan.
Tapi masa lalu, tetaplah masa lalu. Berisi sejarah dengan kejadian manis pahit yang ternyata menyenangkan. Memberi beribu pelajaran, tapi juga tak ayal memberi penyesalan. Tapi nyatanya, itu bukanlah salah Tuhan. Bukankah Tuhan Maha Tahu yang terbaik untuk hamba-Nya?
Dari perpisahan dia belajar, untuk menghargai setiap hadir sebelum pergi. Perpisahan ini bukan sebuah akhir cerita, tapi sebuah transisi menuju sebuah kehidupan baru. Terima kasih bagi siapa saja yang pernah hadir. Semoga kita dapat bertemu lagi di lain waktu.
Cerpen Karangan: Pleiades Blog / Facebook: Zatsy Al-qaff
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com