”Terima kasih, ya. Sudah berusaha menjadi bagian yang baik di bumi” Langit cerah meredup, menggantikan cahaya gemilangnya. Hitam dan abu-abu tiba dengan begitu cepatnya. Langit bersinar telah musnah menjadi gelap gulita. Pelangi telah kembali ke muaranya, menjadi kelam yang berisi duka beban tersimpan di dalam sanubari. Keburaman mengelilingi angkasa, mengeluarkan rintik kesedihan malam ini. Sama seperti biasa sebenarnya.
“Ada kegiatan apa hari ini, Nak?” ucap Ibuku “Hanya kelas biasa, Bu. Ada apa?” jawabku “Tidak ada, nanti setelah kuliahmu selesai segera kerjakan pekerjaan rumah. Jangan sampai ada yang ketinggalan” “Iya, Bu. Ya sudah, perkuliahanku dimulai sebentar lagi. Aku siap-siap dulu ya Bu” “Iya, belajar sungguh-sungguh. Fokus, jangan sampai terganggu oleh media sosial yang lain”
Perkenalkan namaku Anindita, putri sulung di keluarga ini. Hanya ada aku dan adikku, kami berdua terlahir dari ibu yang bekerja sebagai guru, dan ayah yang bekerja sebagai seorang polisi. Ibu dan ayahku terlahir dari keluarga yang berbeda latar belakang, tetapi tetap harus berjuang untuk cita-cita sederhana, sekedar mengangkat derajat orangtua. Keduanya lulus di bidangnya dengan cara yang “murni”, tanpa sogokan apapun karena bukan terlahir dari orangtua yang bergelimang harta pada zamannya untuk menghalalkan segala cara dengan uang. Bangga? Jelas, mereka orangtuaku.
Menjadi seorang putri sulung dari seorang guru dan polisi bukan hal yang mudah menurutku. Walau banyak orang yang bermimpi untuk menginjak posisiku, aku ingin mereka berpikir sekali atau dua kali lagi untuk tetap melakukan itu. Memang semua ada porsinya, tetapi sanggupku juga tak seberapa. Dan tolong jangan lupakan, rasa syukurku juga luar biasa.
Dituntut untuk selalu jadi juara bukan lagi hal yang mengejutkan. Walau susah payah meraih dan mempertahankannya, hal itu juga bukan hal yang luar biasa bagi keluargaku, sudah menjadi hal yang lumrah. Ya memang begitu, kan anak guru? Syukurnya, pada masa sekolahku mendukung untuk memenuhi keinginan mereka. Berturut dua belas tahun tidak kemanapun dari 2 besar di kelas. Sesungguhnya, ada banyak hal yang kupendam. Lebih tepatnya, kuhindari untuk orangtuaku tahu. Bisa jadi masalah besar kalau mereka tahu. Merinding aku membayangkannya.
“Bagaimana kuliah hari ini, Kak?” ucap ayahku “Alhamdulillah, baik-baik saja Yah. Tak ada masalah. Hanya tugas saja yang banyak” jawabku “Oh iya, tak apa. Ayah juga dulu begitu, lebih parah malah karena harus bekerja membantu nenek cari uang untuk makan. Sudah enaklah itu tinggal tatap layar, angkat kaki, selesai. Ya kan?” “Iya, yah. Alhamdulillah”
Lagi, lagi, dan lagi. Kalimat tanpa apresiasi melainkan bandingan yang harus selalu kuterima. Kalau orang-orang pikir prestasi itu diraih untukmu sendiri, jujur saja aku belum bisa merasakannya. Kenapa? Toh aku tidak lulus SNMPTN dan harus berjuang mati-matian lagi untuk SBMPTN –yang syukurnya lulus. Bukannya ingin dipuji-puji, tetapi aku belum pernah sekalipun mendengar orangtuaku bangga atas prestasi yang “katanya” sulit sekali untuk dipertahankan, apalagi dua belas tahun lamanya.
Satu-satunya hal yang kerap kuterima adalah tuntutan, untuk tidak lalai dengan studiku dan harus memenuhi ekspektasi mereka. Lelah? Pasti, tetapi mau bagaimana lagi? Sudah cukup jarum suntik dan obat membantuku bertahan selama ini. Karena tak jarang belajar tanpa henti bisa membuatku mimisan sampai pingsan. Untuk itu yang kuterima malah perkataan nyelekit seperti “Makanya, banyak bergerak. Badanmu lemah karena selalu di kamar tidak pernah olahraga. Lihat badanmu, seperti bukan anak gadis saja!” Ayah dan ibuku sepakat mengutarakan hal itu di depanku yang untuk bangkit saja sulit setelah semalaman berkutat dengan tugas.
Kadang, aku berpikir apa ayah dan ibuku yang terlalu keras atau mentalku yang terlalu lemah. Aku sibuk di kamar untuk fokus pada studiku seperti apa yang mereka selalu inginkan, tidak pula lalai dengan kewajibanku sebagai seorang putri untuk berbeberes rumah. Semua kulakukan sebisaku, dan kutuntaskan semua. Mungkin belum cukup untuk mereka. Kuakui, postur tubuhku tidak seperti anak gadis usia sembilan belas tahun pada umumnya, kelebihan berat badan. Mungkin karena terlalu sering diinfus, terlalu banyak meminum vitamin dan juga kurang bergerak. Tetapi penyakit yang datang padaku juga bukan keinginanku sama sekali, mereka tak seharusnya menyudutkanku terus-terusan kan?
Aku yakin, tuntutan itu bukan hal yang tidak berarti, pasti ada manfaatnya nanti. Aku selalu percaya kalau hujan selalu datang lengkap dengan pelangi. Walau jarang terlihat, tetapi pasti ada di waktu yang tepat. Pernah sesekali ingin memberontak, tetapi tak ada manfaatnya menurutku hanya makin menyulut kemarahan orangtuaku saja. Maka dari itu aku lebih memilih untuk diam dan menyimpannya sendiri, karena sadar tak seorangpun bisa memenuhi ekspektasiku untuk sekedar merespon kisahku ini, terlalu banyak dicekoki kalimat toxic positivity yang berkedok sebagai penyemangat malah membuat fikiranku kalut.
Kembali kuingat lagi, bahwa aku hanyalah manusia biasa. Seorang remaja pada umumnya, sedih, marah, kecewa itu hal yang biasa. Tetapi kadang untuk merasakan itupun aku tak diberi kesempatan.
“Kenapa harus memperbesar masalah sih, dibilangin yang baik malah nolak. Merasa paling depresi sedunia hanya karena disuruh menurunkan berat badan. Untukmu juga, lho itu. Apa tidak malu punya badan gendut, baju bagus sekalipun tak cantik dipakai olehmu” ucap ibuku dengan nada marah “Iya, nanti kalau ada waktu untuk olahraga kusempatkan ya bu” jawabku “Iya, kurangi juga makanmu jangan makan malam lagi”
Sebenarnya bukan diet yang menjadi masalah besarku, hanya sesederhana ingin diapresiasi. Aku cukup stress menjalani tahun pertama perkuliahan, karena berbeda stase dari SMA yang masih renggang tugasnya. Belum lagi pengalaman pertamaku untuk tinggal di indekos. Aku jadi kebablasan mengerjakan tugas hingga lupa waktu untuk istirahat apalagi makan. Kupikir wajar bobotku naik tetapi yasudahlah, tak baik memang menaruh ekspektasi.
Terbiasa memaksakan kondisi, sampai mungkin diambang batas mampu tubuhku rasanya lemah dan sakit sekali. Seluruh tulangku nyeri, kepalaku sakit, badanku lemas. Demam biasa kufikir, hanya kuminum obat yang kubawa dari rumah dan istirahat sebentar karena takut dimarahi. Tentu saja kondisi itu mengganggu aktivitasku, jadi lebih lamban mengerjakan tugas karena terlalu sakit kepalaku untuk diajak berpikir. Kuputuskan untuk mengadu, sekedar melapangkan fikiranku yang kalut karena sudah berpikir sampai di akhir hayat
“Aku sakit bu, sudah tiga hari demamku tak turun. Obat sudah habis” keluhku “Masih semester awal sudah begini gimana sih, jadi mau apa? Mau pulang? Gimana kuliahmu nanti. Nilaimu bisa jelek kalau sakit-sakitan begini” jawab Ibuku “Tidak, tolong beritahu obat apa yang harus kuminum biar baikan. Obat yang biasa gak cocok sepertinya” jawabku pasrah Lalu Ibu menuliskan resep via whatsapp, setelah kuterima langsung kubeli obatnya. Makan dan istirahat sebentar, lalu kuminum. Mendingan sebentar saja, lalu sakitnya makin parah. Kutahankan di kamar indekosku sendirian. Tangisku mulai pecah karena sakit luar biasa yang kurasakan kali ini.
Kuingat, aku pernah menyimpan obat pengurang rasa sakit. Tanpa pikir Panjang kuminum, empat tablet sekaligus. Lalu entah apa rasanya, aku hanya merasa tertidur yang lama dan nyenyak sekali. Ternyata aku pingsan. Ya sudahlah, bukan hal mengejutkan lagi. Pada saat terbangun, sakitku mereda hanya mual saja rasanya. Biasa, mungkin karena terlalu banyak minum obat. Toh, sembuh juga fikirku. Aku berangkat ke kampus seperti biasa, menenggak empat tablet lagi obat yang sama setelah sarapan. Semoga lebih baik lagi hari ini.
Cerpen Karangan: Ayudia Helmi Facebook: facebook.com/ayudiahelmi10