Sesampainya di kampus, rasa mual yang kurasakan semakin parah. Kuputuskan untuk meminum obat maag, katanya ada obat yang tidak bisa dicerna baik oleh lambung dan harus dibantu oleh obat maag. Mata kuliah pertamaku di hari itu terasa kacau sekali, aku tak bisa fokus sama sekali. Tulangku kembali sakit, sakit sekali. Kutahankan sampai di perpindahan mata kuliah, ketika memasuki awal pembelajaran kesadaranku beranjak hilang. Kubantu diriku untuk meminta pertolongan pada teman-temanku dengan menangis. Dan akhirnya pingsan.
Di setengah sadarku dalam perjalanan kembali ke indekos aku berkata pada diriku sendiri “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, tak akan ada yang paham kondisimu kecuali dirimu sendiri. Berhenti menyakiti diri sendiri. Kau sudah cukup baik berusaha, ekspektasi mereka bukan tanggung jawabmu harusnya. Sudah cukup menjadi seorang putri yang berbakti, untuk kurus dan lepas dari obat upayakan pelan-pelan nanti. Sudah hebat kau bisa bertahan sejauh ini. Petik hikmah baik, dan yang buruk jangan diulang lagi. Terima kasih, ya. Sudah berusaha menjadi bagian yang baik di bumi” Ya, selalu seperti itu. Aku kerap mengajak diriku untuk bercengkrama, sekedar mengapresiasi diri atas apa yang sudah dilakukan selama ini. Aku selalu yakin pasti ada alasan di balik dipertahankannya aku di bumi. Bukan semata-mata untuk mengurai air mata setiap hari. Aku selalu percaya akan ada hikmah baiknya, nanti.
Hari baik yang kuidamkan pasti akan datang nanti, belum sekarang. Aku hanya harus lebih bersabar sedikit lagi saja, bahkan piano yang warnanya hitam dan putih pun dapat menghasilkan nada yang indah. Bukan soal masalahnya, ini hanya tentang bagaimana aku menyikapinya. Tak terlalu sulit, berlatih lagi saja lebih baik.
Dirujuk ke dokter, dokter bertanya apa saja kegiatanku selama ini dan apa yang kukonsumsi sembari diinfus “Bagaimana keadaannya, Nin?” tanya dokterku “Belum enakan Dok, perutku masih sakit sekali” jawabku “Mau cerita apa yang sedang Anin alami belakangan ini? Mood-mu jelek sekali sepertinya” dokterku membuka pembicaraan “Sama seperti biasanya, Dok. Bukan hal yang besar. Aku hanya kelelahan” jawabku “Kelelahan biasa tak akan membuatmu menenggak obat sebanyak ini Nin” sanggah dokterku “Rasa sakitku lebih banyak, Dok. Aku tak bisa menyikapi hal ini sesepele anggapan orang. Aku harus memenuhi ekspektasi orang lain tanpa apresiasi sedikitpun. Apa aku pantas selalu diperlakukan seperti ini?” jawabku dengan amarah “Nin, ekspektasi orang lain sungguh bukan tanggung jawabmu. Kau hanya harus hidup dengan baik, menjalani studi yang tekun, jaga kesehatan badan dan mentalmu” ucap dokterku “Kalau saja hidup semudah itu Dok. Aku tak mungkin menenggak obat untuk bertahan. Aku merasa sakit sekali, makanya aku minum obat agar reda sakitku” jawabku sembari berteriak histeris “Baik, Nin. Saya paham, ya sudah silahkan istirahat sekarang. Tenangkan pikiranmu ya” dokter berusaha menenangkanku.
Dokter lawanku bicara bukan lagi orang yang asing, rumah sakit ini pun demikian. Bahkan aku sudah memiliki kamar khusus seandainya harus dirawat lagi. Hal itu terjadi karena frekuensiku sakit yang teramat sering. Aku bahkan sudah biasa ditinggal sendirian di ruang rawat, bukan hal yang aneh lagi.
Tak seperti biasanya, keluargaku datang sangat lengkap hari ini. Ibuku bilang dokter mengajak mereka untuk berbicara mengenai kondisiku. Padahal biasanya melalui telepon juga bisa. Entahlah, aku tak berusaha untuk penasaran toh akhirnya akan ketahuan juga. Penyakit menyeramkan sekalipun sudah tak lagi jadi momok yang menakutkan, menurutku hidupku baiknya berakhir sajalah.
Orangtuaku kembali setelah menemui dokter, membawa hasil diagnosa sementara bahwa aku terindikasi depresi berat. Maka, aku dirujuk ke psikiater untuk mengetahui hasil yang sebenarnya. “Mikirin apa sih, sampai depresi berat? Kerja tidak, usaha tidak, hanya memikirkan masalah kuliahpun sampai depresi. Perbaiki ibadahmu agar diperlancar Tuhan urusanmu” ucap ibuku “Iya maaf sekiranya Aku menyusahkan kalian, Aku akan melakukan yang terbaik nanti agar hasilnya tidak benar. Aku hanya kelelahan, bukan depresi Bu” jawabku Bukan main rasanya tertampar kenyataan bahwa usahaku selama ini tak dipandang sedikitpun. Jangankan untuk memandangku, memperhatikan perlakuan mereka yang berimbas besar pada kesehatan mentalku pun mungkin tak pernah terjadi.
Mengunjungi psikiatri untuk pertama kalinya cukup membuatku resah, aku berusaha fokus untuk menjawab sesantai mungkin agar diagnosa awal tidak benar terjadi. Remeh sekali rasanya depresi berat karena tuntutan orangtua, padahal itu kewajibanku. Aku terus berusaha untuk tenang sembari memainkan jari tanganku dan bibir yang kukelupasi.
“Anin, bagaimana perasaanmu hari ini?’ tanya dokterku “Baik, sangat senang bisa bertemu dengan Dokter” jawabku ceria “Wah, ceria sekali. Ada kabar baik kah? Ingin cerita?” dokter bertanya lagi “Tidak ada Dok, memang selalu seperti ini. Diagnosa kemarin muncul saat kondisiku sedang tidak baik. Lain daripada itu aku selalu ceria seperti ini” sanggahku “Kalau saya posisikan kamu di kondisi tidak baik, kamu biasanya melakukan apa? Boleh saya tahu?” “Sesederhana membuatnya menjadi baik lagi, Dok. Bukan hal yang sulit. Jika aku sakit, aku minum obat dan kalau aku sedih, aku cari hiburan” jawabku santai “Sadar tidak, yang sakit sebenarnya bukan ragamu?” “Cukup sadar, tapi itu bukan hal besar Dok. Aku cukup mudah untuk tertawa hanya dengan lelucon biasa. Lagipula kalau terlalu suntuk, aku juga bisa berbicara pada diriku sendiri. Itu lebih baik” “Seberapa sering kamu berbicara pada dirimu sendiri?” “Setiap waktu. Aku tak lagi berharap untuk didengarkan. Karena tak ada yang mengelus kepalaku, aku mengelus kepalaku sendiri. Menenangkan diriku sendiri. Selalu seperti itu” “Kamu nggak capek?” “Ya capek. Tetapi mau bagaimana lagi? Luka dan kecewa yang sebelumnya urung sembuh, apalagi yang baru. Sembuh atau tidak hidup harus tetap berjalan. Senang atau sedih waktu tak pernah menunggu. Mau besar atau kecil sakit yang dirasa, semua sama aja. Hanya butuh waktu untuk nerima. Jadi yaudah, dijalanin aja. Tak apa-apa”
“Iya, nggak apa-apa. Bukan hal yang salah juga untuk kamu bicara dengan dirimu sendiri. Kamu udah ngelakuin apa yang kamu bisa. Kamu udah berusaha keras untuk bertahan. Walau akhirnya yang kamu dapati tak sejalan dengan apa yang ada di kepala. Aku berterima kasih karena sudah diperkenankan untuk mendengarkan resahmu, berterima kasih karena kamu belum menyerah dan berterima kasih pada Tuhan karena diberi umur yang Panjang untuk had a better survived setelah ini semua. Terima kasih ya, Nin”
Konsultasi hari pertama selesai, dan diikuti beberapa pertemuan kembali. Hal baru kembali datang karena aku menyandang depresi dan gangguan kecemasan berlebihan. Hal tersebut terjadi karena aku yang tak pernah bisa mengekspresikan diri, isi kepala hanya sekedar takut dimarahi dan tak dihargai. Tekanan yang dibalut dengan kalimat positif itu mengendap hingga menggunung begitu besarnya.
Hari-hari baru kusambut dengan tablet anti depresan yang per bulan harus dikontrol ulang. Dokter mengajakku untuk lebih terbuka dan mengekspresikan diri melalui media tulis, aku menulis tiap kali isi kepala penuh. Ibu dan ayah juga perlahan berubah menjadi figur yang lebih among dan mengurangi tuntutan untuk selalu didengar. Semua perlahan lebih bisa kuterima dengan hati yang lapang.
Sekarang dapat kupetik hikmahnya, sebajingan apapun hidup berjalan aku sadar bahwa yang bisa menyembuhkanmu itu ya dirimu sendiri. Bukan orang lain. Maka dari itu, berbuat baik terlebih dahulu pada dirimu lalu orang lain. Pada akhirnya ini semua adalah permulaan, babak baru yang membuatku tersadar bahwa ekspektasi dan realitas bukanlah hal yang selalu menjadi satu. Kini datang dan kembali damai dari dalam jiwa, senandika jadi pemeran utamanya, mentari dan purnama jadi saksinya.
Cerpen Karangan: Ayudia Helmi Facebook: facebook.com/ayudiahelmi10