Rumah beratapkan genteng berwarna merah bata kokoh berdiri. Di ambang pintu berwarna cokelat seorang gadis berusia 20 tahun tengah berbaring menatap langit biru, bersih, dan tidak berawan. Kaki yang ia biarkan menggantung di atas kursi tua berwarna hitam menari mengikuti alunan musik pop yang ia putar keras di pengeras suara. Sekejap lamunannya pergi ke masa depan, bagaimana dan apa yang akan terjadi dengan hidupnya kelak. Ia menggelengkan kepala kuat-kuat, hanya dengan membayangkannya saja ia tidak sanggup.
“Langit biru yang berkilau”. Gumamnya pelan.
Tiba-tiba tetesan air jatuh membasahi tiang-tiang penyangga atap diluar rumah. Kini pandangannya beralih ke butiran-butiran air hujan yang jatuh tanpa rasa takut. Seakan tidak peduli pada kenyataan bahwa mereka akan mengering setelah membasahi benda-benda yang dijatuhinya.
Sesaat setelah hujan mereda gadis itu bangkit dan menatap semua benda yang basah karena air hujan. Semua butiran-butiran air itu kini menghilang. Ia termangu “air yang malang”.
Seseorang menepuk pundaknya dan berbicara dengan nada yang menenangkan “itu bukan kemalangan, melainkan tanggung jawab sekaligus beban yang harus tetesan hujan tanggung”. Gadis itu tidak bereaksi, ia bingung.
Melihat putri kesayangannya tidak bereaksi dan raut wajah kebingungan tampak jelas tergambar di wajahnya yang cantik. Sekali lagi ibunya menyadari betapa memilukan mengingat mata besar dan indah itu tidak pernah berbinar bahagia. Senyuman sangat sulit ditemukan di wajah putrinya selama 4 tahun belakangan ini. Berharap gadis itu mengerti, kini ibunya menjelaskan dengan pelan.
“Mereka mengemban tugas yang sangat mulia, membawa harapan untuk kehidupan manusia dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Membawa ketenangan bagi sebagian orang, layaknya kamu (menyentuh ujung hidung putrinya seraya tersenyum). Bukankah kamu sangat menyukai hujan?” “iya bu, itu sangat menenangkan. Hanya dengan mendengarkan suaranya saja membuat segala penat seketika hilang” Balasnya ragu. “iya, itu adalah salah satu hasil yang diterima dari keberanian hujan.”
Dengan terbata-bata ia berkata “Ta-tapi bu hujan pun sering kali meninggalkan luka menganga lebih besar, seakan menarik kembali semua ingatan tidak menyenangkan dan memaksa meminta diingat.” Bibir ibunya mengerucut “benarkah? Hal tidak menyenangkan apa yang putri cantik ibu rasakan? Ibu penasaran sekali.” Dengan helaan nafas ia menjawab “Tidak bu, itu hanya itu.”
Ibu merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah uang koin dan melemparkannya ke atas, koin itu segera terjatuh sesaat setelah ibu lemparkan. Lalu ibu mengecek sisi koin yang terjatuh diatas telapak tangannya. “Tiana kau tahu, kehidupan manusia itu bisa saja diibaratkan dengan koin ini, seberapa jauh kamu melemparkannya kamu tidak akan tahu sisi apa yang kamu lihat sebelum koin itu terjatuh.” Senyuman tipis ibu mempertontonkan lipatan-lipatan disamping matanya. Tiana begitu ceroboh, ia melupakan fakta bahwa ibu sudah semakin tua. Ia terlalu sibuk mementingkan kehidupannya dan memalingkan wajah dari kewajibannya menjaga ibu.
“Ibu, Tiana sayang ibu.” Matanya begitu dalam memandang ibunya yang tersenyum manis. “Ibu, bisa tidak ibu jelaskan maksud dari koin itu?” tanyanya seraya mengikat rambut hitam arang yang tergerai indah meninggalkan bahunya yang tampak rapuh. (Ibunya tertawa) “Ya ampun Tiana kamu masih terlalu kecil untuk berumur 20 tahun. Begini sayang, seberapa kuat seseorang berusaha hanya kehendak Tuhan yang menentukan hasilnya.” Mencubit pipi besar putrinya sehingga gadis itu mengerutkan hidung tanda merasa sakit. “Lalu apa hubungannya dengan hujan yang sering meninggalkan luka?” mengelus lembut pipinya yang memerah. “Itu sangat sederhana, luka yang hadir kala hujan disebabkan karena keraguan yang tersimpan sejak lama, kamu tidak bisa menyalahkan hujan sayang, ketika keraguan terhadap takdir Tuhan semakin membesar dan hatimu sangat Lelah. Berdoa dan gantungkan hidupmu kepada-Nya.” Mendengar perkataan ibunya Tiana terdiam, ingatannya dipenuhi dengan semua kesalahan selama hidupnya, betapa seringnya ia tidak melibatkan Tuhan.
“Tiana jangan pernah ragu apalagi takut akan hasil yang akan didapatkan setelah memutuskan untuk berusaha mengenai sesuatu. Bagaimanapun bentuk dan rupanya, ketika kita mengambil keputusan, tandanya hati kita harus sudah siap untuk menerima. Hadapi dengan berani, yakinkan dalam hatimu Tuhan selalu bersamamu dan tidak pernah meninggalkanmu sendirian.”
Gadis itu lagi-lagi tertegun, bagaimana bisa ia menghawatirkan sesuatu yang bahkan belum terjadi dalam hidupnya, ia merasa malu secara tidak sengaja ia telah meragukan kekuasaan Tuhan. Meskipun begitu senyuman menenangkan ibu seakan merangkulnya
“Tidak apa-apa, kau sudah melakukannya dengan sangat baik.” Dengan pelukan ibu yang sangat hangat gadis itu menangis di dalamnya.
-Tamat-
Cerpen Karangan: Tania Yulia Setiani Blog / Facebook: Temanceritaan.blogspot.com / Tania Setiani Tania Yulia Setiani berumur 22 tahun seorang Mahasiswi S1 jurusan Farmasi, penulis menyenangi menulis karena hobi dan sarana dalam mencurahkan pikiran dan emosi. Penulis berharap semoga tulisannya dapat memberikan inspirasi serta manfaat bagi banyak orang. mohon diberi dukungannyaaa.