Matahari mulai menampakkan dirinya. Sinarnya yang hangat menyambut siapa saja yang berada di pantai itu, termasuk seorang perempuan yang sedang berdiri menghadap ke laut. Punggungnya bersandar ke sebuah pohon kelapa. Kedua tangannya dilipat ke depan. Matanya mencari seseorang yang sudah sekian lama dia tunggu. “Kali ini, akankah dia datang?” tanyanya pada diri sendiri. Itu adalah pertanyaan yang sama yang selalu dia ucapkan di waktu yang sama pula selama setahun ini seperti tak ada bosannya. Ya, perempuan itu memang sedang menunggu seseorang. Seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Seseorang yang berjanji akan menemuinya kembali namun sampai kini belum juga kembali. Seseorang yang mengucapkan “Halo” dan tidak pernah mengucapkan “Selamat tinggal.” Seseorang yang telah mengubah hidupnya setahun yang lalu.
Satu tahun yang lalu.
Pinggiran pantai pada dini hari. Suasananya sunyi, sepi, dan sendu. Yang terlihat hanyalah hamparan air yang membentang sampai laut di ujung sana. Itu pun hampir tidak berwarna, hanya gelap. Namun berkat cahaya rembulan di atasnya, air itu tampak seperti berkilau. Yang terdengar hanyalah deburan ombak pantai yang sedari tadi terus menerus bersahutan. Suaranya tidak terdengar seperti dentuman, melainkan seperti bisikan yang menenangkan. Yang terasa hanyalah angin malam yang tak henti-hentinya berembus. Rasanya bukan seperti ditusuk dengan kuat, melainkan seperti dipeluk dengan hangat. Suasana pantai yang seperti itu hanya bisa dirasakan oleh orang yang benar-benar ingin merasakannya.
Bayangkan saja, pukul tiga dini hari! Siapa juga orang yang ingin ke pantai sedini itu? Namun, di bawah sebuah pohon kelapa, terlihat sesosok perempuan yang sedang duduk bersila menghadap ke laut. Sosoknya terlihat seperti siluet jika dilihat dari kejauhan. Jika dari dekat, barulah terlihat matanya yang terpejam dan bibirnya yang tersenyum. Rambut panjangnya yang kecoklatan dibiarkannya tergerai dengan indah di bawah sinar rembulan. Ya, hanya perempuan itu lah orang yang saat ini benar-benar ingin merasakan suasana pantai yang sunyi, sepi, dan sendu, dengan air laut yang berkilauan, ombak pantai yang menenangkan, dan angin malam yang menghangatkan.
Perempuan itu adalah Nindya. Ia telah menghabiskan hampir sepanjang malam di pinggiran pantai itu. Bahkan sampai dini hari, ia masih tetap di tempat yang sama. Sebelum memutuskan untuk pergi ke pantai, Nindya mengalami tekanan batin yang sangat besar. Saat matahari terbenam dimana orang lain sedang beristirahat usai lelah beraktifitas, orangtua Nindya justru bertengkar hebat. Walau pun tidak disertai dengan amukan, teriakan, atau barang-barang yang berjatuhan, tapi tangisan ibunya lah yang membuat Nindya tahu bahwa orangtuanya sedang bertengkar. Terlebih setelah tangisan itu, terdengar kata-kata “pisah” dan “segera”.
Nindya hanya terduduk lemas di kamarnya. Ia tidak menyangka kata “pisah” akan menjadi solusi dari ketidak harmonisan orangtuanya selama lima bulan belakangan ini. Dan yang semakin menyakitkan bagi Nindya adalah, setelah kata “pisah” itu orangtuanya kembali bertengkar untuk memutuskan dengan siapa Nindya akan tinggal. Sayangnya, mereka bukan memperebutkan siapa yang akan tetap tinggal dengan anaknya seperti kebanyakan pasangan lain yang hendak berpisah, melainkan siapa yang akan meninggalkan anaknya. Orangtua Nindya berpikir bahwa perpisahan mereka adalah awal dari hidup yang baru. Jadi, mereka akan meninggalkan seluruh hal yang berkaitan dengan pernikahan mereka untuk memulai hidup baru itu, termasuk Nindya, sebagai anak dari hasil pernikahan mereka.
Dan disini lah ia sekarang, di pinggiran pantai. Ia memutuskan untuk berlari ke pantai yang tak jauh dari rumahnya itu sesaat setelah perebutan kedua orangtuanya. Sejak pertama ia datang sampai sekarang, hanya satu yang dilakukannya; duduk bersila menghadap ke laut dengan mata terpejam dan bibir tersenyum. Ia berharap angin malam dapat membawa beban pikirannya terbang menjauh dari kepalanya dan ombak pantai dapat menyapu kesedihan hati yang sedang dirasakannya. Dari kejauhan, Nindya tampak tenang menikmati pantai di dini hari. Namun dari dekat, ia tampak berkecamuk dan rapuh dengan hati yang terus menerus meneriakkan “SETIDAK DIINGINKANNYA KAH AKU?”
Waktu terus bergulir. Seberkas cahaya lembut dari ufuk timur sana perlahan menyelimuti cakrawala. Cahaya itu menggantikan gelapnya dini hari dengan terangnya matahari pagi. Nindya membuka matanya dan menemukan cahaya itu.
“Oh, sudah pagi ya.” ujarnya sambil menggosok kedua matanya layaknya orang yang baru bangun tidur.
Ia belum ingin beranjak dari tempatnya sekarang. Ia masih menginginkan suasana pantai yang sunyi, sepi, dan sendu itu. Beban pikirannya belum terbang menjauh dari kepalanya dan kesedihannya pun belum tersapu dari hatinya. Tepat setelah Nindya menggosok kedua matanya dan mulai membukanya, ekor mata kirinya menangkap seseorang yang berjalan di pantai itu. Seseorang itu berada lebih dekat dengan garis pantai sehingga kakinya basah dan penuh pasir pantai yang tersapu ombak. Ia terus berjalan menyusuri garis pertemuan antara daratan dan lautan itu lalu berhenti saat menyadari bahwa ia tidak sendiri di pantai itu. Ia menoleh ke kanan dan mendapati seorang perempuan berambut panjang sedang duduk di bawah sebuah pohon kelapa yang cukup jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Beberapa detik kemudian, kakinya melangkah mendekati perempuan itu. Nindya yang menyadari bahwa seseorang itu kini menghampirinya langsung tak percaya.
Tadi saat ia melihat seseorang itu, ia hanya berujar “Kumohon, temani aku disini.” dan sekarang seseorang itu benar-benar menghampirinya. Semakin dekat seseorang itu padanya, semakin terlihatlah penampakannya. Seseorang itu adalah juga seorang perempuan. Ia memakai baju berwarna putih, rok panjang floral, dan berjilbab. Ia tidak memakai alas kaki dan itu membuat kakinya dipenuhi pasir pantai yang basah.
“Halo.” sapa seseorang itu yang kini sudah berada di depan Nindya. Melihat Nindya yang hanya menatap kosong ke arahnya, seseorang itu pun berkata kembali, “Namaku Mia. Boleh aku ikut duduk disini?” Nindya hanya mengangguk pelan. Seseorang itu pun duduk di sebelah Nindya. Matanya mengikuti arah pandangan Nindya, ke lautan di depan mereka.
“Kamu kenapa ke pantai pagi-pagi?” akhirnya Nindya buka suara, namun pandangannya tidak terlepas dari lautan itu. “Aku lagi mumet sama tugas-tugas kuliah. Terus kata temanku ada pantai yang bagus di daerah sini, jadi aku kabur kesini deh. Kalau kamu kenapa ada disini?” Nindya tidak langsung menjawabnya. Ia menghela napas dan memejamkan kedua matanya. “Orangtuaku mau bercerai. Mereka juga mau ninggalin aku buat mulai hidup mereka yang baru. Aku hancur. Aku jadi manusia yang gak diinginkan siapa pun.”
Mia tak terlihat kaget mendengar penuturan Nindya mengenai kehidupannya yang menurutnya sangat menyedihkan. Mia menarik pipi Nindya agar menoleh padanya, “Siapa bilang? Itu cuma ada di pikiranmu aja. Aku tahu cara biar kamu merasa diinginkan.” “Gimana caranya?” tanya Nindya. “Berbagi.” jawab Mia yang disertai dengan senyum menawan yang dimilikinya. “Sekarang, karena aku sama kamu lagi sama-sama punya masalah, lebih baik kita lupain sejenak masalah kita dan main bareng. Aku bakalan nunjukin ke kamu cara biar kamu merasa diinginkan dengan berbagi.”
Tanpa menunggu jawaban dari Nindya, Mia bangun dari duduknya dan menarik tangan Nindya. Kemudian mereka berjalan menyusuri pantai itu berdua.
Di tengah perjalanan itu, seorang bapak yang memakai baju berwarna kuning dan celana pendek berwarna merah terlihat berlari-lari kecil menuju pantai. Nindya tahu bapak itu. Ia adalah seorang penjaga pantai. Setiap kali ia pergi ke pantai, bapak itu pasti ada untuk menjaga keamanan para pengunjung pantai. Namun ia hanya sebatas tahu, karena ia belum pernah bercengkrama dengannya meski selalu melihatnya saat dia berada di pantai. Saat bapak itu hampir mendekati mereka berdua, Mia tiba-tiba berkata,
“Sapa dia, yuk.” Ia langsung menyapa bapak itu, “Selamat pagi, Pak. Semangat banget ya pagi-pagi udah keluar rumah.” Mendengar dirinya disapa oleh seseorang, bapak itu berhenti berlari. “Eh, iya, pagi. Saya kan penjaga pantai, jadi harus datang lebih awal dari pengunjung. Tapi sepertinya pagi ini saya kalah ya dari pengunjung. Kalian lebih awal datangnya dari saya,” jawab bapak itu sambil tersenyum.
Mia menyenggol lengan Nindya agar Nindya juga menyapa bapak itu.
“Pagi, Pak. Saya datang lebih awal dari Bapak karena rumah saya juga di sekitar sini.” ujar Nindya. “Ah, iya saya tahu. Kamu sering banget kan kesini? Saya sering lihat kamu kok. Yaudah saya duluan ya.” ujar bapak itu lalu tersenyum untuk pamit. Nindya dan Mia pun meneruskan perjalanan mereka. “Jadi, bapak itu tahu aku?” ujar Nindya dalam hati.
Setibanya di ujung pantai, mereka melihat sekumpulan burung bangau dekat bebatuan besar. Burung-burung itu tampak sedang berdiri di bebatuan yang kecil di sekitar bebatuan yang besar sambil mencari makanan dan sesekali tampak tersentak saat percikan air mengenai wajahnya.
“Bantuin burung-burung itu dapetin makanan, yuk.” ujar Mia yang langsung berlari menghampiri burung-burung itu.
Awalnya burung-burung itu menjauhi Mia karena kaget dengan kedatangan Mia. Mia berjalan di atas bebatuan kecil itu untuk semakin mendekati burung-burung bangau itu disana. Kemudian ia berjongkok di atas salah satu batu dan menggulung lengan bajunya lalu memasukkan tangannya ke dalam air.
Nindya yang sedari tadi hanya memerhatikan apa yang dilakukan Mia dari jauh mulai berjalan mendekat ke bebatuan tempat Mia berpijak. Mia masih dalam posisi yang sama, seolah-olah sedang mencari sesuatu di dalam air itu. Beberapa lama kemudian, ia mengangkat tangannya dan mendapatkan seekor ikan kecil. Kemudian ikan kecil itu ia berikan pada burung bangau yang ada di dekatnya. Setelah burung itu memakan ikan kecil pemberiannya, tangan Mia kembali masuk ke dalam air dan mencari ikan-ikan kecil lainnya.
“Kamu mau ikutan gak? Aku dapet dua ikan.” ujar Mia, yang kemudian tangannya yang mengepal terangkat dari dalam air. Nindya pun berjalan di atas bebatuan kecil itu untuk menghampiri Mia. “Nih.” Mia memberikan satu ikannya kepada Nindya.
Nindya menatap ikan kecil yang ada di tangannya itu lalu tatapannya beralih pada burung bangau yang ada di dekatnya. Dengan ragu, ia berikan ikan kecilnya pada burung bangau itu,
“Ini, makan.” ujar Nindya dan ikan kecil itu langsung dilahap oleh si bangau.
Melihat burung bangau yang memakan ikan kecil pemberiannya, Nindya pun tersenyum. Tiba-tiba, ombak pantai datang dan airnya memerciki wajah Nindya.
“Udah yuk, lengan bajuku mulai melebar basahnya.” ujar Mia sambil menunjukan lengan kanan bajunya yang memang sudah basah.
Nindya dan Mia pun meninggalkan burung-burung bangau itu. Saat Nindya akan melompat dari pijakan batu terakhir ke pasir pantai, ia menoleh ke belakang dimana burung-burung bangau itu berkumpul. “Ternyata akrab dengan hewan itu gampang, ya.” ujarnya dalam hati dengan pandangan yang masih mengarah ke burung-burung bangau itu.
Matahari semakin menaiki cakrawala. Kehangatan sinarnya telah menyelimuti seluruh raga. Setelah bercengkrama dengan burung-burung bangau itu, Nindya dan Mia memutuskan untuk duduk di atas pasir pantai dan menikmati dua gelas teh hangat dan dua mangkuk bubur kacang hijau yang dibeli mereka di kedai pantai itu.
“Katanya, disini ada sekolah alam, ya?” tanya Mia dengan segelas teh hangat yang digenggamnya. Aroma melati mengepul dari gelasnya itu. “Iya, gak jauh dari tempat ini. Itu buat anak-anak yang kondisi ekonomi keluarganya kurang mampu. Anak-anak yang sekolah disana biasanya rentang usianya antara 6 tahun sampai 13 tahun.” jawab Nindya. “Oh ya? Setara SD dong? Kita kesana yuk main sama mereka.” ujar Mia yang segera menaruh gelasnya di meja. “Buat apa?” tanya Nindya. Anak-anak yang berkumpul pasti menghasilkan keramaian dan ia tidak begitu menyukai keramaian. “Aku kuliahnya PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar). Aku suka ngajarin anak-anak dan main bareng mereka. Yuk, kamu pasti suka.” Mia pun bangun dari duduknya dan menarik tangan Nindya.
Entah mengapa, Nindya tidak bisa menolak ajakan Mia yang kini setengah berlari sambil tetap menggenggam tangan Nindya.
“Kita ke warung dulu ya beli jajanan buat mereka.” ujar Mia yang terlihat sangat bersemangat.
Nindya dan Mia tiba di sekolah alam yang sebelumnya diceritakan Nindya. Penampakan sekolah itu tak lebih seperti rumah pondokan dengan pepohonan yang rindang di sekitarnya. Di depan sekolah itu terdapat papan kayu yang di cat berwarna putih dan bertuliskan “Sekolah Alam Mulia”. Halaman sekolah itu tidak terlalu luas dan banyak anak-anak yang berkeliaran disana. Ada yang sedang bermain kejar-kejaran, ada yang sedang makan bersama, ada pula yang sedang mengadakan konser tunggal ala anak-anak. Melihat keramaian itu, Nindya menjadi malas untuk meneruskan langkah kakinya.
“Aku gak suka keramaian, Mia.” ujarnya pada Mia yang sibuk menenteng bungkusan plastik putih di kedua tangannya. “Keramaian itu lebih baik dari pada kesepian.” ujar Mia. “Dalam keramaian pun seseorang bisa aja merasa sepi.” “Benar, kalau dia tidak ikut larut dalam emosi yang ada di keramaian itu.” “Jadi?” “Jadi, aku mau kamu ikut larut dalam emosi di keramaian ini.”
Nindya pun menghela napas dan memutuskan untuk meneruskan langkahnya ke sekolah alam itu. Setibanya mereka di halaman sekolah itu, Mia dengan wajah ceria dan suara lantangnya berkata, “Halooo, Adik-Adik.” yang membuat anak-anak di halaman sekolah itu menghentikan aktifitasnya dan menoleh ke sumber suara. “Sekarang lagi jam istirahat ya?” tanya Mia ke anak-anak itu. “Iya, Kak.” jawab anak-anak itu kompak. “Wah seru banget. Main bareng kakak berdua ini, yuk. Kakak bawa jajanan banyak nih. Sayang banget looh kalau gak ada yang makan.” ujar Mia sambil mengangkat kedua bungkusan plastik putih itu. Spontan, anak-anak itu langsung berseru kegirangan. “Mau, Kak. Aku mau.” “Kaak, aku mau.” “Ayo, Kak, main.” “Aku mau permen, Kak.” “Kak, ada ciki gak?” dan masih banyak lagi seruan lain yang terdengar.
Selanjutnya, yang terjadi adalah Nindya dan Mia bermain bersama anak-anak di sekolah itu. Mereka bermain lompat tali, petak umpet, kucing dan tikus, dan engkle. Mia tampak sangat leluasa berada di tengah anak-anak itu. Ia bahkan sempat ber-story telling dan membuat anak-anak itu hanya memandang ke satu arah yaitu Mia yang sedang bercerita dengan hebohnya walau tanpa alat peraga, hanya mengandalkan ekspresi muka dan gerak tangan.
Para guru yang melihat Nindya dan Mia bersama anak-anak itu pun sangat senang. Meski pun jam istirahat telah usai, para guru tidak langsung memanggil anak-anak itu untuk kembali ke kelas mereka dan membiarkan mereka menikmati kebersamaan dengan Nindya dan Mia. Tak terasa, sudah hampir tiga jam Nindya dan Mia bersama anak-anak itu. Mereka sangat menikmati waktu tiga jam itu dengan bermain, bercerita, dan yang pasti bersenang-senang. Saat Nindya dan Mia pamit kepada anak-anak itu, anak-anak itu tampak sedih dan langsung memeluk Nindya dan Mia.
“Kak, jangan pulang.” “Kak, main lagi.” “Kak, aku kan belum cerita.” “Pulangnya magrib aja, Kak.” Para guru yang melihat anak-anak itu merajuk langsung menasihati, “Anak-anak, ini udah mau sore. Kakak-kakaknya mau pulang. Nanti kalau kakak-kakaknya ada waktu luang lagi pasti kita bisa ketemu lagi.” Anak-anak itu pun perlahan merenggangkan pelukannya. “Kakak mau datang lagi?” ujar salah satu anak. Mia menoleh pada Nindya dan tersenyum, seolah memberi isyarat agar Nindya menjawabnya. Nindya diam sejenak dan tersenyum pada anak itu, “Iya, nanti Kakak datang lagi.”
Jawaban Nindya langsung disambut gembira oleh anak-anak itu. Mereka tertawa dan terlihat sangat bahagia.
“Kakak hati-hati ya pulangnya. Makasih udah datang kesini.” Anak-anak itu pun kembali memeluk Nindya dan Mia.
Kemudian, Nindya dan Mia pamit dari sekolah alam itu untuk kembali ke pantai. Saat mereka berjalan menjauhi sekolah itu, sayup-sayup terdengar kembali sahutan anak-anak itu.
“Kami sayang Kakak-Kakak.”
Mendengar sahutan itu, Nindya tertegun, “Sayang?”
Cerpen Karangan: Risya Nurcholis Facebook: Risya Nurcholis Saya adalah seorang penulis cerpen dan puisi. Karena berbicara lebih melelahkan dari pada menulis, jadi saya lebih suka bercerita lewat karya tulis.