Saat ini Nindya dan Mia sudah kembali berada di pantai, tepatnya di sebelah pohon kelapa tempat mereka pertama kali bertemu pagi tadi. Hari hampir senja. Semburat jingga terlukis di langit dengan indahnya. Semilir angin bertiup menyusuri tubuh Nindya yang mulai terasa lelah. Ia pun duduk di bawah pohon kelapa itu. Nindya duduk disana beralaskan pasir pantai berwarna putih yang jika digenggam terasa halus. Sedangkan Mia masih berdiri dan matanya memandang lautan di hadapannya.
“Udah senja. Aku harus pulang.” ujar Mia sambil membersihkan rok floralnya yang sedikit kotor terkena pasir pantai yang basah. Nindya segera bangun dari duduknya, “Oh, kamu mau pulang ya? Yaudah kamu pulang duluan aja. Aku masih mau disini.” ujar Nindya. “Sampai kapan?” tanya Mia. “Orangtuaku udah gak menginginkan aku lagi. Jadi buat apa aku pulang ke rumah?” jawab Nindya.
Mia pun menoleh ke arah Nindya. Disana, ia menemukan sosok Nindya yang masih memakai pakaian yang sama saat pertama kali bertemu dengannya; baju lengan panjang berwarna hitam dan rok layered panjang berwarna merah muda dengan motif dedaunan.
“Kamu kan baru mendengar perkataan orangtuamu tentang perpisahan itu. Kamu belum bicara apa-apa ke mereka. Apa kamu yakin gak ada yang mau kamu sampaikan ke mereka?”
Mendengar perkataan Mia, wajah Nindya berubah menjadi merah. Kedua matanya menyipit dan menatap tajam ke mata Mia,
“Kamu tau apa? Kamu tau apa tentang aku dan orangtuaku? Kamu tau apa yang aku rasain? Kamu gak tau apa-apa!” Nindya marah. Tangan kanannya mengepal kuat. Namun Mia tidak ingin ikut tersulut karena ia tahu Nindya hanya sedang bersedih.
“Tapi kamu..” belum selesai Mia berbicara, Nindya sudah memotongnya, “Tapi apa lagi? Jangan bicara apa yang gak kamu tau! Kamu gak tau..” “Iya. Aku emang gak tau apa-apa tentang kamu. Bahkan nama kamu pun aku gak tau. Tapi aku peduli sama kamu.”
Mia mencoba melembutkan suaranya agar Nindya bisa tenang. Dia menaruh kedua tangannya di pundak Nindya, “Dengar. Cuma kamu yang ngerti gimana rasanya saat orangtua memutuskan buat berpisah. Cuma kamu yang ngerti dengan semua kesedihan yang kamu rasain. Aku cuma mau bilang, kalau pun rumah orangtuamu bukan lagi jadi tempat kemana kamu pulang, ini lah tempat kemana kamu pulang. Pantai ini.”
Kedua alis Nindya mengerut. Ia tidak memahami apa maksud dari perkataan Mia. Mia pun menguatkan pegangannya di pundak Nindya.
“Rumah adalah tempat dimana mereka yang menginginkanmu itu selalu merindukan kehadiranmu. Kenapa mereka menginginkanmu dan merindukan kehadiranmu? Karena kamu telah berbagi apa yang kamu punya ke mereka. Berbagi itu bisa dengan apa aja. Cinta, kasih sayang, perhatian, pertolongan, bahkan hanya dengan senyuman.”
Tanpa Nindya sadari, satu persatu air matanya pun jatuh membasahi pipinya.
“Kamu sadar gak? Selama sehari ini, rumah kamu yang sebenarnya udah pindah ke pantai ini. Karena disini lah mereka yang menginginkanmu berada. Kamu udah berbagi, kan? Berbagi senyuman dan sapaan ke bapak penjaga pantai, berbagi pertolongan ke burung-burung bangau, dan berbagi kasih sayang dan perhatian ke anak-anak di sekolah alam. Aku yakin, besok mereka semua pasti merindukan kehadiran kamu.”
Nindya terdiam mendengar seluruh perkataan Mia. Semakin banyak air mata yang jatuh ke pipinya. Sedetik kemudian, Nindya berhambur memeluk Mia dan menangis dipelukannya. Mia pun mengelus rambut kecoklatan Nindya dengan lembut,
“Pulang lah. Temui orangtua kamu. Katakan apa yang ingin kamu sampaikan ke mereka.” Nindya mengangkat kepalanya dari bahu Mia. “Oke. Aku temui mereka.” ujar Nindya yang kemudian mengusap kedua matanya yang masih berlinang air mata. Mia mengeluarkan sebuah sapu tangan kecil dari saku roknya dan memberikannya kepada Nindya. “Aku senang bisa ketemu kamu.” Nindya menerima sapu tangan itu. “Makasih banyak ya. Kamu udah mau temenin aku seharian ini, padahal kamu juga kan lagi banyak tugas kuliah.” “Inget, kan? Tujuan kita main hari ini buat ngelupain sejenak masalah kita. Justru pikiranku sekarang jadi lebih segar setelah seharian main sama kamu.” Nindya hanya tersenyum mendengarnya. “Yaudah, aku pulang ya.” ujar Mia yang langsung membalikkan badannya membelakangi Nindya. “Besok kita bisa ketemu lagi, kan?” tanya Nindya. “Aku bakalan kesini lagi kalau aku mumet sama tugas kuliahku.” Nindya tampak ragu dengan jawaban Mia. “Janji bakalan kesini lagi?” tanya Nindya lagi, yang membuat Mia kembali menoleh ke arahnya. “Iya, janji. Jaga diri kamu baik-baik ya.” ujar Mia disertai dengan senyum menawannya. “Iya. Ini sapu tangan kamu. Oh iya, nama aku Nindya.” Nindya mengarahkan tangannya ke Mia agar Mia dapat mengambil sapu tangan itu. Namun Mia hanya tersenyum kecil, “Simpan aja, Nindya.” Nindya pun menurunkan tangannya.
Kemudian, Mia melambaikan tangannya dan berjalan menjauhi Nindya. Pandangan Nindya terus mengikuti kemana Mia pergi sampai akhirnya sosok Mia menghilang di balik sebuah kedai kopi yang cukup jauh dari tempatnya berdiri. Lama terdiam, akhirnya Nindya pun membalikkan badannya dan berjalan menuju rumah orangtuanya. Sesekali, ia menengadahkan kepalanya ke langit untuk melihat bintang-bintang yang bertebaran di atas sana. Semilir angin masih menyusuri tubuhnya yang lelah. Namun Nindya masih belum menyerah karena pergolakan batinnya belum usai. Kini ia tahu apa yang harus dilakukannya dan ia ingin melakukannya malam ini juga.
Langkah Nindya terhenti di depan sebuah rumah minimalis bercat abu-abu. Meski pun rumah itu minimalis, namun kenangan yang telah diciptakan di rumah itu tidak minimalis. Di pojok halaman rumah itu, terdapat tanaman bunga kertas yang beberapa tahun lalu ia tanam bersama ibunya. Kini, tanaman itu sudah menghasilkan bunga-bunga kertas yang cantik. Di pojok halaman itu juga lah tempat dimana ia dan orangtuanya sering menghabiskan waktu sore mereka dengan menggelar karpet, meminum teh hangat dan menikmati matahari terbenam bersama.
Ia meneruskan langkahnya ke depan pintu berwarna coklat dan membukanya. Tidak terkunci. Ia berjalan masuk ke rumahnya dan menemukan bahwa rumahnya dalam keadaan gelap. Tak lama kemudian, sesosok laki-laki muncul dari balik kegelapan itu.
“Anin? Kok baru pulang? Ayah sama Ibu nyariin kamu dari semalem.” terlukis dengan jelas kecemasan di wajah ayahnya itu. “Maaf, Yah. Anin abis ketemu teman.”
Kemudian, sesosok perempuan juga muncul dari balik ayahnya itu lalu menyalakan lampu di ruang itu. “Kamu pasti laper. Ayo kita makan di ruang tengah. Ada yang mau Ayah sama Ibu bicarakan juga ke kamu, Nin.”
Lampu telah menyala. Nindya dapat melihat dengan jelas penampakan ayah dan ibunya. Penampilan mereka terlihat seperti biasanya; ayahnya memakai kaus oblong dan celana pendek, ibunya memakai daster panjang. Yang berbeda dari mereka ada di raut wajah keduanya yang menunjukkan kecemasan, kelelahan, dan kesedihan. Ia tidak langsung menanggapi ajakan ibunya. Ia terdiam lama di tempatnya berdiri dan menatap ke dalam mata kedua orangtuanya secara bergantian.
“Ayah sama Ibu gak perlu jelasin apa-apa. Anin udah tahu. Anin hargai keputusan Ayah sama Ibu, tapi Anin juga punya keputusan sendiri. Anin mau tetap tinggal di tempat ini walau pun Ayah sama Ibu bakalan pergi ninggalin tempat ini. Ayah sama Ibu gak perlu khawatir, Anin bisa jaga diri. Silahkan Ayah sama Ibu mulai hidup baru kalian. Anin mau Ayah sama Ibu bahagia karena Anin sayang banget sama kalian.”
Ayah dan ibunya sedikit tersentak mendengar ucapannya yang sangat tiba-tiba itu. Namun, ucapan itu terdengar tulus karena berasal dari dalam hati seorang anak. Tanpa menunggu ucapan lain dari ayah dan ibunya, Nindya langsung berjalan menghampiri keduanya dan memeluk mereka. Ibunya tidak dapat menahan air mata yang sudah terbendung di pelupuk matanya.
“Maafin Ibu sama Ayah ya, Nak. Kami tetap mencintai Anin. Ibu sama Ayah berjanji akan ngunjungin Anin disini setiap akhir pekan. Anin tetap anak kesayangan Ibu sama Ayah.”
Hari yang panjang itu pun diakhiri dengan pelukan yang menenangkan. Pelukan ini lah yang akhirnya mampu membawa beban pikiran Nindya terbang menjauh dari kepalanya sekaligus menyapu kesedihan hati yang dirasakannya. Saat ini
Deburan ombak terus menerus bersahutan tanpa henti. Air dari ombak yang sampai ke pantai itu pun menyapu jejak-jejak yang ditinggalkan di atas pasir pantai, termasuk tulisan “Anindya Farisa” yang Nindya tulis di dekat pohon kelapa tempat dia bersandar saat ini. Sebentar lagi, Pak Rama si penjaga pantai akan datang. Ia sudah cukup lama berteman akrab dengan bapak itu. Biasanya, pagi-pagi begini Pak Rama akan sudah tiba di pantai ini dengan membawa rantang berisi nasi hangat dan cumi asam manis, makanan favoritnya. Kemudian, ia dan Pak Rama akan sarapan bersama di depan matahari yang mulai merangkak naik. Pak Rama dan istrinya memang sudah menganggap Nindya sebagai anak mereka sendiri. Mereka memang hanya hidup berdua dan itu membuat ia benar-benar menjadi anak kesayangan mereka.
Mia benar. Kini pantai menjadi rumah bagi Nindya dimana mereka yang menginginkannya itu merindukan kehadirannya. Bercerita dengan Pak Rama, bercengkrama dengan burung-burung bangau, dan bersenang-senang dengan menjadi guru di sekolah alam sudah menjadi aktivitasnya sehari-hari. Bahkan, semakin lama semakin bertambahlah aktivitasnya, seperti belajar memasak bersama istri Pak Rama, belajar menjahit bersama Bu Rani teman istri Pak Rama, dan belajar merawat tanaman mangrove bersama anak-anak di sekolah alam. Ia merasa sangat bahagia dengan kehidupan barunya ini.
Namun, yang masih menjadi ganjalan di pikirannya adalah Mia. Kemanakah perempuan itu? Mengapa ia tak juga kembali ke pantai ini untuk menemuinya? Apakah tugas-tugas kuliahnya selalu lancar hingga ia tak lagi merasa mumet dan membuatnya kabur ke pantai? Yah, Ia harap begitu agar Mia dapat segera menyelesaikan kuliahnya dan menjadi guru yang hebat. Akan tetapi, ia sangat merindukan Mia. Sudah setahun lamanya ia menunggu. Sudah setahun lamanya ia berharap. Namun Mia tak kunjung datang menemuinya lagi. Bukan kah Mia sudah berjanji?
Angin yang bertiup menyusuri tubuhnya membuat hatinya berdesir. Pandangannya masih tertuju ke lautan lepas di depannya. Kedua tangannya yang sedari tadi dilipat ke depan kini ditaruh di dadanya. Dengan mata yang terpejam, ia mulai berucap, “Mia, kebersamaan kita begitu singkat. Tapi kamu lah orang yang dikirim Allah untuk mengubah hidupku. Terima kasih Mia, sahabatku, atas semua pelajaran hidup yang kamu kasih ke aku.”
Kedua matanya yang terpejam itu pun mulai menitikkan air mata, “Allah, aku titip Mia pada-Mu. Jagalah Mia dimana pun ia berada. Aamiin.” Nindya membuka matanya perlahan. Angin bertiup semakin kencang, disusul oleh deru ombak pantai yang ramai. Dengan wajah riangnya, ia pun berlari hendak menerjang ombak itu dan meninggalkan jejak-jejak yang mengikuti kemana kakinya berlari.
Cerpen Karangan: Risya Nurcholis Facebook: Risya Nurcholis Saya adalah seorang penulis cerpen dan puisi. Karena berbicara lebih melelahkan dari pada menulis, jadi saya lebih suka bercerita lewat karya tulis.