Langit sore terhampar seumpama permadani. Pendar kekuningan memenuhi setiap penjuru ruang. Cicit kenari pada dahan pohon depan kamar perlahan lekas berganti dengan lengang. Hanya menyisakan satu dua bunyi jangkrik dikejauhan. Pada dahan kayu itu, dahulu kala, ialah tempat dimana anak anakku sering menghabiskan waktu. Bergelayutan layaknya orang yang sudah terlampau pandai bercokol dengan pohon. Jika tidak purnama, kadang mereka menghabiskan waktu senjanya hanya dengan saling berceloteh ria melempar candaan sambil bertukar buku bacaan.
Aku kian hanyut dalam kenangan yang kuciptakan berkali kali ketika acap kali hati dilanda rindu. Seiring pendar kekuningan mulai merayap pada peraduannya, terbenam bersamaan dengan datangnya hamparan lain yang lebih mencekam, langit malam. Gemerisik angin menenggelamkan sedu yang nyaris tak terdengar, riak rerumputan didepan rumah turut berderak mengayun tak beraturan.
Dengan menyingsingkan lengan baju aku berjalan menghampiri saklar lampu. Titik yang jatuh pada dinding pipi segera kuusap agar tak segera menganak sungai. Lampu lampu kuhidupkan, pintu depan kubuka lebar lebar. Gorden yang semula tak digerai kubiarkan seperti seadanya. Aku tak ingin para cahayaku mengira aku sudah terlelap sehingga urung untuk datang.
Gegas kutata makanan yang masih mengepul pada meja yang telah selesai kuhias. Di rak kecil samping meja makan, tak lupa kusampirkan kenangan kenangan masa kecil para cahayaku yang lagi lagi membuatku tak tahan untuk tak sekedar tersenyum dan menatapnya dalam. Kuusap figura berukuran kecil ini, kuciumi dan kubelai wajah wajah mungil dengan pipi gembul dan rambut keriting yang hitam. Rintik, Kala, Binar dan Gema. Para tetua dari negeri Greenland yang akan membasmi kejahatan dan ketidakadilan. Begitulah celoteh mereka ketika berumur 7 tahun kala itu. Anak anakku yang gemar bermimpi, berhayal, senang berceloteh riang yang tak ayal membuatku sangat gemas dan terpesona dengan binaran matanya yang terang. Sebuah keindahan yang diwarisi mendiang ayahnya. “Mas, sekarang anak anak kita sedang berjuang untuk menggapai mimpi mimpinya” gumamku sesak menahan tangis.
Tak terasa waktu menunjukan pukul 19.00 malam. Aku lekas bergegas mempersiapkan diri untuk bertemu dengan mereka. Aku tak ingin terlambat barang sedikitpun. Tak akan kulewatkan sedetikpun waktuku walau hanya untuk memandangi binar matanya satu persatu. Binar yang akhir akhir ini mengganggu tidurku. Binaran mata yang seringkali membuatku tergugu malam malam, mengingat betapa merindunya aku pada mereka, buah cinta yang ayahnya telah amanahkan padaku. Dan pada binaran itulah, aku melihat dia yang kurindui setengah mati sedikit terobati.
Kupandangi wajah ini pada cermin dengan lekat. Memindai setiap kerutan yang saling berseberangan. Beberapa bulan ini aku tak merawat diri, kulit kering yang semakin kusam kubiarkan seadanya. Siang malam aku hanya sibuk merindu.
Aku duduk di meja kayu dekat jendela. Menyesap teh hangat kuku yang kubuat untuk menemani hari bahagiaku. Kupandangi tajam hamparan rumput yang kian tinggi, bergumam sendiri, dan membayangkan mereka datang melambaikan tangan di kejauhan dengan binaran rindunya.
Semakin aku berkhayal semakin aku tak tahan dengan kedatangannya. Aku berdiri dan berjalan mondar mandir layaknya seseorang yang tengah menunggu pengumuman kelulusan. Sesekali kulirik jam dinding, berharap cemas akan praduga praduga yang kian memenuhi isi kepala. Aku lantas menepisnya, dan kembali kuyakinkan hati agar lebih bersabar menanti. Aku kembali mendudukan diri pada kursi.
Namun rupanya saat denting waktu telah menunjukan tepat tengah malam pun, tiada sesiapa yang datang. Sudah tiga gelas teh aku habiskan. Aku menatap jendela dengan pemandangan hamparan rumput yang semakin kusut Masai terbawa angin. Tetap teguh menunggu dengan menyampirkan jaket rajut tebal untuk menghalau angin malam yang menusuk kulit. Hingga gelas teh hangat pun tandas untuk kesekian kali.
Sampai pada akhirnya, sang fajar malu malu mengukir pendar. Binarnya perlahan merangkak naik, menyilaukan aku turut hatiku yang kacau. Kuusap titik yang berjatuhan tanpa bisa kubendung. Teringat ucapan Rintik dalam Voice not tempo hari “Buu, kami akan pulang bersama untuk merayakan hari ibu, maafkan kami karena jarang pulang meskipun hanya setahun sekali, kami harap ibu mengerti. Dah, Bu. I love you.. ”
Bak tanah gersang yang menanti hujan. Begitulah umpama aku yang tak pernah merasa aman dari pada rindu. Berharap datang waktu dimana semua kan luruh. Dimana rinai hujan kembali membumi hanguskan pekarangan sanubari yang teramat kuat pada penantiannya.
Cerpen Karangan: Qeenan Facebook: facebook.com/bia.nauma