Siapa Aku? Aku hanyalah seorang wanita dari milyaran manusia di muka bumi ini, wanita yang mempunyai banyak pertanyaan dalam hidupnya dan selalu mencari jawabannya sendiri, tentang arti hidup yang ia jalani, izinkan aku memperkenalkan diriku lebih dalam pada buku ini, tentang bagaimana seorang anak perempuan yang mencari jati dirinya dalam sebuah keluarga sederhana namun tetap tidak dapat dia temukan.
Sampai akhirnya ia menemukan jati dirinya di usianya yang ke 22 tahun, semua akan kuceritakan kata demi kata, tidak ada yang dilebih-lebihkan dan dikurangi, tentang bagaimana masa kecilku, bagaimana aku menjadi anak broken home, bagaimana aku menghadapi bullying, bagaimana aku bisa bertemu teman dari dunia lain, bagaimana aku menjadi depresi di usia 7 tahun dan bagaimana aku menyelesaikan semua masalahku di usia anak sekolah dasar, dimana yang seharusnya anak di usia itu banyak bermain dan belajar.
Namun aku lebih memilih untuk mencari jawaban dari semua pertanyaanku bagaimana caraku untuk menjadi manusia yang lebih baik dan tidak merepotkan banyak orang, bagaimana cara untuk ikhlas dan memaafkan diri sendiri.
Bab 1 (Si anak petualang)
Aku hidup di dalam keluarga sederhana, aku anak ke tiga dari empat bersaudara, aku mempunyai dua kakak perempuan dan satu adik perempuan, kami hidup berenam dalam satu rumah sederhana, rumah yang belum memiliki plafon rumah yang hanya dibatasi bata coklat dan tembok depan yang terbuat dari papan triplek juga lantai yang masi tanah, di rumah ini ditempati oleh ibu, bapak, kak windi, kak evi, aku dan adiku fiba.
Aku tidak pernah paham apa itu arti dari sebuah keluarga, bagaimanakah peran seorang ayah dan bagaimana peran seorang ibu untuk anak-anaknya juga bagaimana seorang anak bisa mengabdi pada kedua orangtuanya, pertanyaan yang sering sekali ada di kepaku, hampir setiap malam aku selalu memikirkan hal seperti ini, sejak aku kecil masi dalam kandungan ibuku, bapak suka minum minuman keras, main j*di, main togel, hal yang sangat dilarang dalam agamaku, selain mabok dan main j*di bapak juga KDRT.
Di usia 5 tahun aku tumbuh menjadi anak aktif dan memiliki jiwa petualang yang sangat besar, setiap harinya kuhabiskan waktuku untuk bermain bersama teman-teman, kami main di kebun belakang rumah, main di sungai, dan di danau hanya untuk mencari ikan, saat itu aku, adikku, 2 saudaraku dan 1 temanku bermain di kebun dekat rumah, entah bagaimana di usia 5 tahun aku ingin menjadi seorang petualang yang bisa perpetualang ke seluruh alam di dunia ini, usiaku saat itu 5 tahun dan aku paling tua di antara yang lain.
Malam itu saat pulang ngaji di rumah guru ngaji yang masi satu kampung dengan rumahku aku, adikku, hilfa, restu dan tiara kami berdiskusi untuk rencana main besok, kami berencana untuk main di kebun yang jaraknya tak jauh dari rumahku, pagi-pagi sekali pukul 05.30 kami sudah berkumpul di depan rumahku, aku mengenakan sepatu bekas dari saudaraku, memakai celana pendek yang sudah kendur namun kuakali ikat dengan karet agar tidak melorot, menggunakan baju kaos membawa tas yang berisi air putih untuk minum dan satu gunting kecil dengan rambut yang diikat satu dan memakai topi milik bapakku, kami mendiskusikan apa saja yang akan kami lakukan di kebun selama seharian.
Awal kegiatan kami berencana untuk membuat tenda dari daun pisang kemudian membuat api unggun dan memasak ubi hasil curian hehe, dengan hati senang dan gembira kami menuju kebun sambil bernyanyi-nyayi, matahari belum terbit dengan sempurna, sedikit kabut dan embun air yang membasahi rumput karena hujan semalam, warga yang baru memulai aktivitas, ibu-ibu yang memasak untuk keluarga, anak-anak yang bersiap untuk sekolah warung-warung yang baru buka, manusia yang baru akan memulai aktivitas dan kami yang akan mulai berpetualang di kebun.
Sesampai di kebun kami membuat tenda yang dibuat dari ranting pohon dan daun pisang dari pohon pisang yang sudah ditebang karena sudah dipanen, separuh dari kami ada yang mencari ranting untuk sangahan tenda, kayu bakar untuk api unggun dan daun pisang sebagai alas dan atap tenda, dan sebagiannya mulai membangun tenda, 20 menit lamanya kami membuat tenda akhirnya selesai, sudah mantap kutancapkan ranting penyangga tenda pada tanah kemudian kuikat dengan tali yang dibawa saudraku pada pohon yang besar agar tidak tertiup angin.
Selesai membuat tenda kami lanjutkan untuk mencuri ubi ketela namun adikku menunggu di tenda karna takut ada pemilik kebun yang datang dan takut ketahuan kami mencuri ubi ketela di kebun miliknya, kami cabut pohon ketela dengan menariknya sekuat tenaga 1 pohon ditarik berdua aku bersama restu, dan tiara dengan hilfa
“satu dua tariiiiiik” “tariiiiiiiik” Kami saling saut sautan berteriak mengeluarkan tenaga yang kuat untuk menarik pohon ubi tersebut, sudah cukup banyak hasil curian kami kemudian kami kembali ke tenda dan bersiap untuk membakarnya.
Kunyalakan korek api dengan mengesekan ujung korek pada amplas kasar pada kotak korek, kubakar batang kayu dan ranting yang kami kumpulkan bersama, satu demi satu ubi kami bakar bersama dengan kayu yang dibakar, 5 menit aroma ketela bakar sudah tercium rasa lapar sudah tiba di perutku, matahari mulai terbit dengan sempurna waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi, sambil menunggu ketela bakar matang kami masuk ke dalam tenda kami saling mengeluarkan barang bawaan masing-masing.
Ada yang membawa mainan, boneka, bekal mie instan, bekal telur ceplok dan snack, aku hanya membawa air putih untuk minum dan gunting kecil yang kupikir akan kubutuhkan untuk berpetualang dan adikku yang hanya membawa tas kosong, saat itu aku sangat lapar inginku meminta makanan mereka namun ku malu, aku tidak membawa bekal karena ibu belum masak dan terkadang ibu tidak masak seharian karena tidak ada uang, jika ibu tidak masak aku minta makan pada nenekku, kemudian aku keluar tenda untuk memastikan ketelanya sudah matang, ternyata apinya semakin besar tanpa berfikir panjang kuambil air minumku di dalam tas dan kusiram pada api yang membakar semua persediaan kayu bakar yang kutaruh berdekatan denga api unggun sehingga api menjalar dengan mudahnya.
Kucari ketela dengan batang kayu yang belum sempat terbakar ternyata ketelanya gosong hangus tidak bisa dimakan, alhasil aku hanya duduk dengan adikku dan yang lain memakan bekalnya masing masing, adikku terlihat ingin minta namun sepertinya ia malu sepertiku, kuberanikan diriku untuk meminta sedikit makanan mereka setelahnya kuberikan pada adikku dan ia memakannya dengan lahap dan tersenyum, kami bermain bersama di tenda, banyak hal yang kami lakukan, bernyanyi, bercerita dan merencanakan ingin main kemana esok hari, kami berencana akan main ke sungai di desa lain yang jaraknya lumayan jauh dari kampung kami.
Setelah asyik bermain seharian waktu sudah menunjukan pukul lima sore, saat kami bergegas untuk pulang tiba-tiba hujan turun, kamipun malah makin asyik main di bawah hujan menginjakan kaki di lumpur dan lompat-lompat di genangan air, rambut dan pakaian kami basah semua, kami bermain di bawah hujan sambil jalan pulang menuju rumah masing-masing, setibanya di rumah aku masuk lewat pintu dapur karena ibu akan marah jika melihat baju kami basah, ibu paling tidak suka kalo kami main ujanan, kumasukan baju kotor di keranjang baju paling bawah agar ibu tidak curiga, tapi tetap saja ketahuan dan akhirnya aku dan adikku kena omelan ibu, tapi tidak menyurutkan niatku untuk mandi hujan lagi di lain waktu hehe.
Sore harinya pukul 18.00 aku dan adikku juga yang lain bergegas ngaji di madrasah seperti biasanya, besok siangnya kami menuju danau di perumahan dekat dengan rumahku, setibanya di danau kami mengambil ikan cere menggunakan kedua telapak tangan yang disatukan seperti mangkuk, sangat asyik sekali hingga tidak tau waktu sudah hampir magrib, kami bergegas pulang dengan ikan cere hasil tangkapan kami yang lumayan banyak, ikan cere yang kami masukan ke dalam botol air mineral dan kaki yang dipenuhi lumpur dan celana yang basah, kami jalan pulang dengan hati senang karena ikan cere tangkapan kami banyak kami pulang sambil menenteng sandal yang dipenuhi lumpur.
Sesampai di rumah seperti biasa aku lewat pintu belakang dan seperti biasa baju kotor kutaruh di tumpukan paling bawah, lagi-lagi ibu tau aku main kotor-kotoran dan ibu marah seperti biasanya, waktu terasa begitu cepat, saat itu umurku sudah mau enam tahun tinggal menghitung minggu, pada hari itu pagi-pagi sekali sekitar jam 7 pagi ibu membawaku ke sekolah dasar dekat rumah yang hanya ditempuh 10 menit dengan jalan kaki saja, aku kebingungan mengapa ibu membawaku ke sekolah padahal aku belum sekolah, ibu sibuk menuliskan sesuatu pada lembaran kertas nampak sibuk sekali, aku yang melihat sekeliling sambil di sebelah ibuku, mungkin jika aku bisa cepat besar aku akan merasakan asyiknya sekolah, aku bisa belajar dan bermain dengan teman seusiaku, aku bosan main dengan yang usianya di bawahku rasanya seperti memomong adik yang banyak sekali cukup melelahkan karena harus memberikan mereka pengertian.
Cerpen Karangan: Winda Erlita instagram: @windaerlita4 Jangan lupa follow instagramku @windaerlita4