Angin mendesir menggoyangkan beberapa pohon hingga tega menjatuhkan beberapa lembar daun yang bercokol mesra yang masih ingin menggantung di ranah sang ranting. Daun yang berserakan di pelataran kampus ternama di Jogja itu menjadi saksi keberhasilanku meraih gelar sp.OG. Burung gereja di pelataran kampus itupun tak luput menjadi saksi keberhasilanku meraih sarjana kedokteran setelah menempuh pendidikan selama sembilan semester yang penuh lika-liku dan halang rintang ini.
Tak butuh waktu lama untuk aku mendapatkan pekerjaan, karena aku merupakan mahasiswa berprestasi, justru banyak sekali Rumah sakit yang menawari pekerjaan. Aku memilih bekerja di rumah sakit akademik kampusku sendiri, karena aku pikir lebih mengenal dan familiar dengan keadaan dan kondisi sehingga tidak butuh waktu yang lama untuk beradaptasi.
Setelah kurang lebih lima bulan aku bekerja di rumah sakit, aku mendapat kabar dari Purwokerto bahwa Bapak saat ini sedang sakit, aku mengajukan cuti kepada pimpinan rumah sakit, akan tetapi ditolak karena rumah sakit sedang kekurangan dokter handal dibidang Spesialis Obstetri & Ginekologi. Cuti terpaksa diundur dan aku terpaksa pulang setelah berhasil medesak pimpinan rumah sakit.
Setibanya di Purwokerto aku langsung bergegas menuju Rumah sakit dimana Bapak dirawat. Dengan langkah gontai aku menuju ruang informasi.
“Mohon maaf suster, pasien bernama Bapak Herman di ruang apa?” Dengan sangat terbata-bata aku bertanya karena kehabisan napas berlari dari tempat parkir kendaraan. “Sebentar Dok, saya carikan dulu datanya.. Bapak Herman Pujiantoro berada di ruang VVIP lantai tiga kamar melati” sembari tersenyum ramah
Tanpa pikir panjang aku langsung lari ke lantai tiga tempat Bapak di rawat. Sesampainya di ambang pintu kamar aku langsung mati setengah berdiri melihat kenyataan Bapak sudah ditutupi selimut putih. Shock seketika, seperti mati rasa, hilang sudah pelita satu-satunya. Temaramku kini tiada, tak terasa butiran air mata meleleh dengan derasnya. Tak henti-hentinya mengalir tanpa aku sadari.
Aku mendekat mayat Bapak, aku singkap selimut putih yang menutup wajahnya, aku kecup punggung tangannya. Dingin. Aku menangis sejadi-jadinya, aku bergumam “Buat apa aku sekolah tinggi-tinggi bila akhirnya tidak bisa menyelamatkan nyawa Bapaknya sendiri. Dokter macam apa aku ini!” Suster dan perawat yang ikut menyaksikanpun turut terlarut dalam suasana.
“Dok, maaf.. ini ada titipan surat dari almarhum Pak Herman, sebelum beliau menghembuskan nafas terahirnya, beliu meminta saya menuliskan apa yang beliau utarakan” menyodorkan sepucuk surat kepada Rangga.
Aku buka perlahan seutas kertas dan ku baca secara seksama;
Assalamualaikum wr.wb Untuk anak semata wayangku tercinta Rangga Herman Pujiantoro.
Nak, maafkan Bapak yang sedari dulu kasar dan memerperlakukanmu dengan keras. Ini semata-mata bukan Bapak benci kepadamu bukan nak, Bapak mencintai dan tentunya menyayangimu melebihi apapun yang ada di dunia ini karena kamu adalah peninggalan satu-satunya dari Dian Eka Prabawati, wanita terhebat yang menjadi Istriku dan juga Ibumu. Tentunya. Tak mungkin aku menyia-nyiakanmu karna hanya kamu lah tinggalan Eka yang tersisa dan sangat berharga. Demi mengeluarkanmu, Eka Ibumu, rela mengorbankan nyawa.
Perlu kamu ketahui nak, cita-cita Ibumu adalah memiliki seorang anak laki-laki yang kuat dan mandiri, tampan seperti Bapaknya, cerdas seperti Ibunya dan kelak bisa menjadi Dokter agar bisa membantu orang banyak. Aku pasti dimarahi Ibumu di alam baka karena mendidikmu penuh dengan kekerasan. Tapi pasti Ibumu bangga, karna kau sudah berhasil memenuhi cita-citanya, kamu menjadi sosok yang mandiri sedari kecil, kamu tumbuh menjadi laki-laki yang tampan dan kamu sekarang sudah menjadi Dokter.
Dan perlu kamu tau nak, uang setoran yang sedari dulu Bapak minta sebenarnya adalah untuk ditabung agar kelak kau pergunakan untuk bisa membangun klinik. Itu adalah cita-cita Bapak nak, sayang Bapak dulu tidak diterima di kedokteran UNSOED sehingga banting stir ke jurusan sejarah IAIN Purwokerto karena frustasi. Ah.. tapi semua ada hikmahnya. Tuhan adalah maha baik dengan semua rencananya yang terbaik. Karena lewat itulah Bapak bisa dipertemukan dengan Ibumu.
Sekali lagi mohon maaf karena Bapak mendidikmu terlalu keras dan tidak bisa menghadiri wisudamu, karena pada waktu hari kamu wisuda, Bapak sudah mulai sakit-sakitan, takut apabila nanti dipaksakan menghadiri wisudaanmu sakit bapak bertambah parah dan bukannya membuat kamu senang malah justru membuat repot.
Mungkin usia Bapak sudah tidak lama lagi, apabila nanti Bapak pergi tolong penuhi keinginan orangtua egois ini, makamkan Bapak bersebelahan dengan makam Ibumu.
Sekali lagi Bapak minta maaf. Nak
Herman Pujiantoro
Aku terpaku, mematung dan beku dihadapan Bapak yang sudah mulai kaku. Sepucuk surat dari Bapak masih kugenggam. Dengan berlinang air mata, tertunduk lesu. Sembari lirih aku bergumam.
“Bapak.. mengapa kau pergi secepat ini.”
Hingga tanpa sadar akupun ikut terhuyung ke belakang. Yang kulihat hanya kumpulan titik kuning yang lama kelamaan menghitam. Hitam kemudian gelap. Di dalam gelap secerca cahaya putih muncul mulai dari setitik hingga menjadi terang benderang. Di cahaya itu aku melihat Bapak bersama wanita yang teramat cantik tersenyum bahagia. Ah iya mungkin wanita itu adalah Ibu. Sayup-sayup aku mendengar suster memanggil.
“Dokter, Dokter… istighfar Dokter. Sadarlah Dokter. Nyebut.”
Purwokerto, 21.10.19
Cerpen Karangan: Yahya Mahesa Blog / Facebook: Yahya Mahesa Yachya Mutohir Nama pena: @yahya_mahesa28 Saya adalah aku, seorang Nolep yang hidupnya morat-marit. Tanpa kejelasan dan rekaan masa depan yang pasti. Sedang meminum ilmu di IAIN Purwokerto jurusan sejarah di fakultas FUAH. Berusaha menekuni dunia tulis-menulis walau sering disebut psikopat yg gemar menyelami buku tanpa memahami arti.