Hari masih begitu pagi ketika aku akan memulai perkuliahan pada semester ini. Jam dinding menunjukkan pukul empat kurang sepuluh menit. Azan Subuh juga belum berkumandang dari surau di dekat tempat tinggalku. Tetapi, aku dikejutkan oleh nada dering yang berbunyi dari telepon genggamku, tanda ada panggilan masuk rupanya. Sambil berusaha melawan rasa kantuk, aku lekas beranjak dari tempat tidur, mengambil telepon genggam yang aku letakkan di atas meja belajar di samping tempat tidurku. Sebenarnya berat rasanya, tapi aku paksakan diri untuk bangun, siapa tahu panggilan itu penting.
“Assalamu’alaikum, Ni…,” sapa seseorang di panggilan itu.
Aku merasa tak asing dengan suara itu. Suara yang selalu menyemangatiku kapanpun dan dimanapun aku berada. Rupanya yang meneleponku adalah mama. Hatiku seketika girang karena aku dapat berbicara dengan orang yang berarti bagiku, setelah seminggu terakhir aku sibuk mengurusi acara di kampus. Kelelahan yang terbayar dengan hal yang menurutku sederhana, namun sangat berarti untuk anak sepertiku.
“Wa’alaikumsalam, Ma. Bagaimana kabar Mama disana?” jawabku sambil menanyakan kabar mama di kampung. “Alhamdulillah, sehat-sehat saja. Udah masuk kuliah ya sekarang?” tanya Mama. “Iya ma, enggak terasa aja udah masuk kuliah. Ni aja belum sempat menikmati waktu liburan,” jawabku setengah curhat. “Enggak apa, kalau belum liburan ya dinikmati saja waktu kuliahnya. Jangan lupa shalat kalau sudah masuk waktunya,” Mama menasihatiku. “Waa…, ya enggak boleh lupa itu dong,” balasku.
Kurang lebih tiga puluh menit aku menghabiskan waktu berbincang dengan Mama dan tak lupa juga anggota keluarga lain di rumah. Banyak yang kuceritakan dengan Mama saat itu. Satu yang tak boleh terlupa adalah rindu dengan kampung halaman. Kurang sempurna perbincangan bila tidak membahas hal yang satu itu ketika bertelepon dengan keluarga. Wkwkwkwk…
Aku lahir dan besar di daerah yang jauh, tapi sebenarnya mudah dikenali oleh banyak orang. Pernah dengar Kota Padang, bukan? Iya, tetapi kampungku bukan disitu. Masih butuh waktu sekitar tiga jam perjalanan darat lagi untuk mencapainya. Koto Hiling namanya. Sebuah nagari (desa/kelurahan) yang menurutku menyimpan banyak kenangan masa kecil yang… macam-macam rasanya. Aduh…
Sudah tiga tahun belakangan ini aku merantau ke Pulau Jawa untuk menuntut ilmu. Setahun awal di Bandung demi meraih kampus impian, namun dua tahun terakhir aku berkuliah di sebuah kampus ternama di Surabaya dan saat ini masuk tahun ketiga perkuliahan. Tak dapat dihindari kalau pada akhirnya muncul rasa rindu akan kampung halaman.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Aku tak ingin hari pertama masuk kuliah menjadi momen yang memalukan. Langsung saja aku bergegas menuju kampus dari kos-kosan. Berjalan sendiri pulang dan pergi sudah biasa bagiku, meskipun sebenarnya aku berharap ada yang menjemputku dan mengantar ke kampus. Hmm…
Langit siang itu tak begitu cerah ketika aku berada di kampus, redup-redup saja. Seperti suasana hati yang masih merindukan orang-orang di rumah. Namun aku harus sabar, karena aku pergi untuk kembali, membawa perubahan yang lebih baik bagi lingkungan sekitarku, terutama keluarga. Dan waktu yang ada harus aku maksimalkan demi masa depanku kelak.
Selepas kuliah aku berbincang dengan sahabatku, Dita, tentang apa yang kualami selama kelas tadi.
“Dit…,” sapaku. “Iyaa? Ada apa?” tanya Dita penasaran. “Aku mau curhat sama kamu, boleh enggak?” tanyaku. “Hmm… mau curhat apa?” tanya Dita memandangku lebih serius. “Ahh… Dit, kayak kamu enggak tau aja…” kataku sedikit kesal. “Wkwkwk, apaan emangnya?” tanyanya sekali lagi. “Entah kenapa rasanya aku kangen sama orang-orang di rumah, pengen libur lagi aku wkwkwk,” curhatku. “Yaelah, kirain ada apaan,” balasnya sambil terheran-heran, “baru juga masuk udah kangen aja sama orang rumah wkwkwk.” “Liburan enggak kerasa liburnya, Dit. Di kampung cuma ketemu sebentar sama keluarga, habis itu udah sibuk sama yang lain,” kataku setengah lirih. “Namanya juga perjuangan hidup, dinikmati aja. Enggak kamu aja kok, aku juga ngerasain gimana rasanya kangen sama orang rumah, sama keluarga. Ini cobaan buat kita, biar kita tahu rasanya hidup jauh dari keluarga itu seperti apa…,” Dita menasehatiku. “Hmm…, bener juga sih. Kita cuma bisa berdoa yang terbaik buat mereka. Semoga keluarga kita di rumah juga enggak ada apa-apa. Kita harus bikin mereka bangga dengan apa yang kita capai selama ini,” kataku. “Nah… betul tuh betul,” kata Dita seraya menyemangatiku kembali, “kalau baper nanti…,” “Nanti apaan? Wkwkwk,” sahutku. “Apa hayoo?” balas Dita “Apa aja lah. Wkwkwk,” sahutku lagi.
Pembicaraan berlanjut ke pembicaraan selanjutnya yang mungkin tak akan kuceritakan di sini. Biarlah hanya kami yang tahu. Wkwkwk…
Dalam tradisi di keluargaku (dan di kampung halamanku), merantau bukanlah hal yang asing. Sudah ada peraturan yang tidak tertulis bahwa setiap orang yang telah cukup umur, terutama laki-laki, harus pergi meninggalkan kampung halaman mencari bekal untuk kehidupan masa depannya kelak. Bisa dalam hal menuntut ilmu, mendalami agama, berdagang, atau yang lainnya, yang nantinya akan digunakan untuk membangun kampung halaman menjadi lebih baik. Dan juga untuk diceritakan kepada sanak saudara di kampung halaman.
Bagaimana bila ada yang tidak melakukannya? Tentu saja ada konsekuensinya. Mereka akan dilabeli sebagai ‘pemberat’ di kampung, dan tentu saja mereka akan kekurangan pengalaman dalam hal menjelajahi sesuatu yang seharusnya bisa mereka dapatkan lebih ketika pergi meninggalkan kampung halaman. Menurutku, manusia tidak akan pernah menjadi lebih baik ketika mereka tidak mau bergerak. Oleh sebab itu, keputusan pergi jauh dari keluarga di rumah adalah tantangan bagiku, untuk menguji seberapa besar kemandirianku, kesanggupanku ketika berada jauh dari mereka.
Merantau juga berguna untuk menambah relasi pertemanan, mengenal lebih jauh tentang karakter orang-orang yang belum pernah ditemui sebelumnya, dan ini berguna dalam jangka waktu yang panjang. Siapa tahu juga ketika merantau aku akan menemui seseorang yang dapat dijadikan sebagai… Pasangan hidup! Ehem… Ups… Wkwkwk…
Pergi jauh dari kampung halaman sebenarnya bukan hal baru bagiku. Selepas SMA aku sudah pergi ke Padang, lalu ke Bandung selama setahun, dan pada akhirnya ke Surabaya dua tahun belakangan ini. Rekorku di tanah rantau adalah satu setengah tahun. Ketika aku memutuskan hijrah dari Bandung ke Surabaya, aku langsung pergi begitu saja tanpa kembali ke kampung halaman terlebih dahulu. Menghemat pengeluaran tiket kendaraan lah wkwkwk. Tetapi itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan para pendahulu yang baru kembali ke kampung halaman setelah bertahun-tahun berada di negeri orang. Meskipun begitu, sejauh apapun diri melangkah, pastilah ada keinginan untuk pulang. Tak ada tempat seindah rumah sendiri. Aku pun juga merasakan hal itu. Tetapi aku juga menyadari bahwa hidup adalah perjuangan, termasuk perjuangan menahan rindu dengan orang-orang di rumah demi kehidupan masa depan yang lebih baik.
Tugas-tugas kuliah mulai menumpuk laksana cucian yang semakin menggunung. Lagi-lagi aku hanya bisa berdoa agar dimudahkan dalam menyelesaikannya. Hitung-hitung mencari kesibukan agar rasa rinduku berkurang. Selain itu, aku juga berusaha mencari kegiatan dan ikut dalam organisasi untuk mencari pengalaman baru, dan teman-teman baru yang bisa menggantikan keluarga di rumah selama aku berada di tanah rantau.
“Alangkah senangnya jika setiap hari libur aku bisa pulang berjumpa dengan keluarga seperti mereka,” gumamku dalam hati.
Ahh… rasa itu ternyata masih ada. Aku harus kuat menyikapinya. Jangan sampai pikiran itu memengaruhi perkuliahanku nantinya. Aku tak mau hanya karena nila setitik rusak susu sebelanga. Hanya karena pikiran yang sepele bisa memengaruhi apa yang seharusnya sudah menjadi kewajibanku selama ini.
Jam di kamar kosku menunjukkan pukul sembilan malam lebih lima belas menit. Tugas dari dosen masih menumpuk. Belum lagi laporan praktikum yang harus segera aku selesaikan. Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Ada pesan masuk rupanya. Kubuka telepon genggamku dan melihat isi pesan tersebut. Rupanya dari adikku, Rafi, yang mengabarkan sesuatu.
“Kak, mama sakit. Tiba-tiba badan mama lemas dan demam. Kalau kakak enggak sibuk, mama ingin bicara sama kakak. Rafi enggak tau harus ngapain lagi, enggak tega ngelihatnya…” bunyi pesan tersebut.
Seketika itu juga aku kembali mendapat cobaan. Kali ini dari mamaku yang sakit dan ingin berbicara denganku. Beban diri ini bertambah lagi. Aku pun segera menuruti keinginan Rafi dan mamaku. Aku segera menghubungi orang-orang di rumah.
“Assalamu’alaikum, Ma,” sapaku lewat telepon genggamku begitu panggilanku tersambung. “Wa’alaikumsalam, Ni. Alhamdulillah…,” jawab seseorang di balik panggilan itu dengan suara yang lirih. Alhamdulillah, ternyata aku masih bisa mendengar suara mama meskipun suara yang aku dengar begitu lirih. Aku pun melanjutkan pembicaraanku.
“Ma, mama lagi sakit? Tadi Rafi kasih kabar ke kakak,” tanyaku penasaran. “Hmm… cuma kelelahan aja,” balas mamaku seolah menutupi apa yang sebenarnya dirasakan, “kakak pasti lagi sibuk.” Aku tak tahu harus menjelaskan apa ke mama meskipun kenyataannya memang benar demikian. Aku berusaha menguatkan diri.
“Enggak terlalu sibuk kok, Ma. Cuma ada tugas dari dosen yang harus kakak selesaikan,” jawabku. “Oh… okelah enggak apa. Buat mama bangga dengan apa yang kakak kerjakan. Insya Allah barokah kalau kakak ikhlas mengerjakannya. Mama di sini cuma bisa mendoakan kakak,” nasehat Mama. “Iya, Ma. Aamiin. Kakak juga cuma bisa mendoakan kesehatan Mama dan keluarga dari jauh. Andaikan kakak bisa pulang sekarang, pasti kakak…,” balasku.
“Sudahlah. Kakak tak usah memikirkan masalah itu. Insya Allah Mama dan keluarga di rumah baik-baik saja. Cukup kakak kejar apa yang ingin kakak capai. Nanti suatu saat ketika keinginan kakak tercapai, kembalilah dan tetap rendah hati kepada siapapun orang yang kakak temui,” Mama memotivasiku. “Iya. Kakak akan berusaha semaksimal mungkin mencapai apa yang selama ini kakak perjuangkan,” jawabku optimis. “Nah, itu baru anak mama yang beneran. Bukan anak mama kalau cengeng dan gampang menyerah. Semangaaattt…,” Mama menyemangatiku.
Di tengah sakitnya, Mama masih menyempatkan untuk menyemangatiku. Motivasiku yang tadinya menurun kini meningkat lagi berkat Mama. Benar kata Mama, aku tidak boleh menyerah ketika berada di posisi yang sulit. Aku harus kembali fokus pada tujuan yang ingin aku capai. Aku harus kembali pada tujuan aku pergi jauh dari keluarga. Menyemangati diri sendiri memang lebih susah ternyata wkwkwk.
Sesekali aku buka album fotoku ketika masa kecil untuk mengobati rasa rindu. Ku lihat foto ketika aku masih berusia balita digendong oleh mama. Berkunjung ke Istana Pagaruyung dan air terjun Lembah Anai yang terkenal itu seolah membuatku ingin kembali ke masa-masa indah itu. Masa dimana masalah belum serumit saat ini wkwkwk. Aku juga teringat masa ketika aku menonton atraksi pacu jawi (semacam karapan sapi kalau di Madura) bersama papa dan teman-teman di kampung. Atraksi yang mengandung filosofi mendalam bagiku. Semakin lurus jalan seseorang, maka semakin tinggi kedudukannya di hadapan Tuhan. Tak lupa juga kenangan ketika menyantap rendang bersama keluarga besar ketika Idul Fitri tiba, dan kenangan-kenangan lain yang tak bisa kuceritakan semua dalam cerita ini.
Pai ka rimbo di nagari subarang (Pergi ke hutan di negeri seberang) Basobok masalah bapantang pun indak (Bertemu masalah, berpantang pun jarang) Ondeh…, ambo taragak jo kampuang (Aduh, aku rindu dengan kampuang) Bilo ka denai babaliak? (Bilakah aku akan pulang?)
Cerpen Karangan: Zakesa Ekky Kautsar Facebook: facebook.com/zakesaekky1997