Hari ini kalender menampilkan tanggal 12 Juli, tanggal di mana seorang perempuan berumur 11 tahun berulang tahun. Naura Haira Taqiya, biasa dipanggil Haira. Seseorang yang terkenal dengan kepintarannya dalam berbagai pelajaran di sekolah, selalu menduduki rangking 3 di kelasnya. Kelemahan Haira hanya satu, ia lemah dalam hafalan, nilai Haira sendiri sangat turun di bidang Al-Qur’an dan hadist. Hal tersebut membuat Haira jarang membaca Al-Qur’an karena sudah menyerah dalam menghafal.
“Haira!!” Sebuah teriakkan membuat Haira yang baru saja keluar gerbang sekolah menoleh, ia mendapati kedua sahabatnya tengah berlari sambil memegang sesuatu.
“Selamat ulang tahun!” Sahut keduanya bersamaan sambil menyodorkan sebuah kotak yang sudah terbungkus rapi oleh kertas kado. Haira terseyum lebar, ia berterima kasih dan menerima kado dari si kembar-sahabatnya dari kelas sebelah.
“Kau sudah berumur 12 tahun saja ya? Tidak terasa kita sudah 4 tahun bersama.” Tanggap Laila. Qiara mengangguk menyetujui. “Benar, aku yakin kak Era-hump!” Perkataan Qiara terputus karena Laila membungkam mulutnya dengan panik. Membuat Haira bingung, kenapa Laila panik? Dan siapa juga Era?
“Ah! Haira! Kami pulang dulu ya! Sudah dijemput! Dah!”
Haira mengangguk dan balas melambai ke arah Laila yang pergi sambil menutup mulut Qiara. Ia juga harus kembali ke rumahnya dengan cepat, Haira sudah sangat penasaran dengan kado yang akan diberikan oleh ayahnya yang baru saja pulang hari ini dari negeri sebelah untuk bekerja.
Sesampainya di depan rumah, Haira langsung masuk sambil berteriak memberi salam. Betapa terkejut dan senangnya Haira ketika melihat rumahnya sudah didekorasi begitu indah. “Selamat ulang tahun!” Teriak Ibu dan ayahnya. Haira terseyum lebar, ia kemudian memeluk kedua orangtuanya senang.
Sekarang saatnya Haira membuka hadiah-hadiah yang ia dapatkan, termasuk kado berbentuk segi panjang dari ayahnya yang terbalut kertas kado berwarna merah-warna kesukaan Haira.
Wajah Haira semakin lama semakin berbinar begitu membuka kado-kado dengan bermacam isi. Dan terhenti tepat ketika Haira membuka kado dari ayahnya. Sebuah kerutan muncul di kening Haira. “Al-Qur’an?” Haira lantas menoleh pada ayahnya.
“Ayah rasa sudah saatnya kau kembali menghafal Al-Qur’an Haira.” Haira terdiam sebelum akhirnya tiba-tiba bangkit berdiri.
“Haira gak mau!! Ayah kan tau kalau Haira lemah dalam Al-Qur’an! Kenapa ayah berikan ini ke Haira!!”
Ayah dan ibu Haira saling berpandangan. “Tapi bukan berarti Haira menyerah sayang. Ayah sudah belikan yang warna merah loh, kesukaan Haira.” Haira menggelang dengan cepat, ia kemudian berlari pergi keluar rumahnya. Meninggalkan ayahnya dan ibunya yang diam.
Kini Haira berada di taman, tempat kesukaan Haira. Duduk di sebuah bangku sambil menunduk. “Ayah ibu kenapa sih? Padahal Haira kan lemah dalam hafalan, gak bisa menghafal Al-Qur’an walau sudah berkali-kali membaca. Haira terdiam, memandang tanah di bawahnya. Sibuk kalut dengan pikirannya sendiri, hingga sebuah alunan pelan terdengar.
Haira mendongak dan menoleh ke sampingnya, terdapat seorang perempuan yang umurnya kira-kira 13 tahunan. Tengah melantukan sebuah surat sambil memangku sebuah Al-Qur’an berwarna orange.
Sebuah rasa tenang juga janggal terasa di hati Haira ketika mendengar dan memandang perempuan tersebut. Hingga pandangan Haira teralihkan pada Al-Qur’an di pangkuan perempuan tersebut, Al-Qur’an itu sama persis dengan hadiah dari ayahnya, yang membedakan hanya warnanya.
“Ah, kau suka Al-Qur’an ini?” Haira terserentak, ia menoleh pada perempuan tersebut yang kini tengah tersenyum ke arahnya. Haira mengangguk pelan, sedikit malu karena katahuan memperhatikan Al-Qur’an tersebut.
Perempuan di sebelahnya mengangguk-ngangguk. “Al-Qur’an ini hadiah dari ayahku, ia membelikannya agar aku bersemangat menghafal Quran.” Haira menelan ludahnya.
“Kau punya hafalan yang kuat ya?” Perempuan tersebut menggeleng. “Tidak, aku sangat lemah di hafalan. Tapi bukan berarti karena aku lemah aku menyerah begitu saja dalam menghafal. Apa lagi menyerah menghafal Al-Qur’an, Al-Qur’an kan kita suci, dan jika membacanya akan mendapatkan banyak pahala! Aku yakin jika terus berusaha, dan meluruskan niat aku akan bisa menghafal Al-Qur’an!”
Seperti ada yang menusuk hati Haira saat itu, ia merasa tersindir karena menyerah dengan mudah.
“Aku tau aku sudah sangat ketinggalan, dan aku tau bahwa butuh waktu yang lama sebelum akhirnya aku bisa menghafal. Tapi aku percaya, seseorang yang sering kalahpun jika mau menang harus berusaha terus hingga menang.”
Haira bungkam, terbesit rasa menyesal karena sudah menyerah. Kini Haira menunduk bukan karena hadiah dari ayahnya, melainkan karena merasa malu pada dirinya sendiri. Hingga sebuah tangan mengenggam tangan Haira yang terkepal di atas paha. Membuat Haira menoleh dan mendapati perempuan tadi tengah terseyum sambil memeluk Al-Qur’an.
“Kakak tau Haira bisa, semangat ya, jangan menyerah. Kakak akan selalu menunggu Haira bisa menghafal.”
Mata Haira melebar seketika, sementara itu langit sore menghiasi senyuman hangat tersebut, angin menerpa pelan kerudung berwarna putih yang bersentuhan dengan sebuah Al-Qur’an di dekapan, Al-Qur’an dengan sebuah nama terpampang “Naila Haera Taqiya.”
“HAIRA!!” Teriakkan tersebut membuat Haira terserentak, dan ketika sadar sekelilingnya telah berubah. Haira memang di taman, namun sosok yang duduk di sampingnya tak ada. Digantikan oleh kedua orangtua yang menatap Haira khawatir. “Kau baik-baik saja sayang?”
Setetes air mata jatuh dan melintasi pipi Haira, diikuti oleh tetesan lainnya. Kedua orangtua Haira terkejut dan panik seketika. Namun sebelum sebuah pertanyaan keluar dari mulut Ayah dan ibu, Haira lebih dulu bergerak. Memeluk kedua orangtaunya. “Ha-Haira minta maaf *hiks, Haira minta maaf sudah berteriak dan marah pada Ayah dan Ibu karena hal sepele. Haira suka hadiah Ayah! Haira mau mencoba menghafal Al-Qur’an lagi! Haira tidak mau menyerah! Haira tidak mau membuat Kak Haera kecewa!!”
Ayah dan Ibu tertegun mendengarnya, mereka tidak menyangka Haira akan secepat ini mengingatnya.
Haira kini mengingat semua, ia mengingat dengan jelas memori yang ia lupakan. Memori tentang kakaknya, Naila Haera Taqiya. Seseorang yang telah pergi setahun silam karena kecelakaan mobil.
Haira bisa mengingat jelas, hari dimana ia dan keluarganya berlibur yang malah berakhir menjadi sesuatu yang tidak pernah diinginkan. Saat sedang dalam perjalanan pulang sebuah mobil melaju kencang dan menyerempet mobil keluarga Haira, membuat mobilnya kehilangan kendali dan jatuh ke jurang.
Akibat hal tersebut ayah dan ibu terluka parah, hal tersebut juga menghilangkan nyawa Haera yang melindungi sang adik dengan menjadikan dirinya sebagai pelindung Haira yang pingsan karena terbentur.
Haira kondisinya lebih baik dibanding yang lain, hanya ada luka ruangan saja, yang parah adalah kepalanya sempat terbentur kencang, membuatnya lupa ingatan dengan kehadiran Haira di hidupnya juga kejadian tersebut. Benturan tersebut juga yang menyebabkan otak Haira susah untuk menghafal sesuatu.
Tapi kini, walau Haira sudah tau kejadian dan kondisinya Haira tidak akan menyerah. Ia akan selalu berusaha dalam menghafal Al-Qur’an, sekarang Haira tidak pernah mengeluh apa lagi menyerah, terus berusaha agar bisa menghafal, agar bisa melantunkan surat-surat Al-Qur’an, agar bisa menghafal 30 juz seperti kakaknya.
Cerpen Karangan: Dhiya Shafiya Putri