Ini adalah sebuah kisah dari seorang anak remaja yang beranjak dewasa. Ia hidup di sebuah keluarga kecil yang sederhana. Kehidupan yang dulunya ia rasakan sangat menyenangkan dan hampir tidak merasakan kesedihan, sekarang harus perlahan berubah menjadi kehidupan yang setiap harinya ia harus merasakan overthinking. Ini bukan hanya perihal soal cinta, tapi ini juga merupakan perihal kehidupan yang memaksanya untuk bisa menjadi orang yang dewasa.
Ia adalah Sari. Seorang gadis yang memiliki mata bulat dan senyum yang manis. Sari merupakan anak pertama dari dua bersaudara di keluarganya. Kesehariannya merupakan seorang mahasiswa yang sekarang sudah memasuki semester 5.
Sari hidup di sebuah rumah yang dibilang besar juga tidak besar, dibilang kecil juga tidak terlalu kecil. Rumah ini baru saja ia tempati 4 tahun yang lalu. Sebelumnya ia bersama keluarganya tinggal di sebuah kontrakan di Surabaya yang ukurannya jauh lebih kecil dari rumahnya sekarang. Ia sekeluarga bukanlah Asli orang Surabaya, melainkan ia bersama keluarganya terpaksa merantau ke Surabaya untk menemani bapaknya bekerja. Lalu, setelah beberapa tahun lamanya tinggal di Surabaya, akhirnya rejeki itu datang. Bapak Sari bisa membeli sebuah rumah meski masih harus menyicil per bulannya.
Sejak sari masuk kedalam dunia perkuliahan, kehidupannya mulai berubah. Dari yang awalnya dia selalu ceria dan menggunakan uang tnpa melihat kebutuhan, bermain sana sini tanpa memikirkan masa depan, dan sekarang dia dipaksa untuk dewasa karena keadaan.
Keadaan ekonomi keluarga yang harus benar benar serba hemat. Karena dilihat lagi dari penghasilan Bapak Sari yang pas-pasan. Bapak sari merupakan satu satunya tulang punggung keluarga setelah ibunya lama tidak bekerja semenjak hamil adiknya. Bapak Sari berkerja keras membanting tulang demi mencukupi kehidupan keluarga. Dia sering menjadi tempat curhat bagi bapak dan ibunya. Tempat curhat perihal keuangan keluarga ataupun permasalahan lainnya.
Dari situlah pikiran Sari mulai meradang memikirkan apa yang dipikirkan oleh orangtuanya. Sari sangat ingin sekali untuk membantu kedua orangtuanya, tetapi keadaan Sari saat ini harus menjalankan sebuah kewajiban yakni sebagai mahasiswa yang masih sulit untuk membagi waktunya.
Pikiran Sari saat itu berkata “Apakah aku salah mengambil langkah untuk berkuliah?” karena ia melihat semenjak dia berkuliah beban yang dirasakan oleh kedua orangtuanya semakin banyak dan berat.
Sari mulai memikirkan bagaimanapun ia harus bisa membantu meringankan bebam kedua orangtuanya. Dengan berbagai macam cara ia lakukan untuk mendpatkan sepeser rupiah yang ya.. walaupun tidak banyak setidaknya bisa untuk menckupi kebutuhan dirinya sendiri agar tidak meminta kepasa orangtua.
Dalam suatu kehinangan malam Sari bergelut dengan pikirannya sendiri, “bagaimana jika aku tidak dapat melanjutkan perkuliahan?” “bagaimana jika aku harus tiba-tiba keluar dari perkuliahan karena tidak adanya biaya lagi?” Saat itu Sari benar benar merasa down dengan keadaannya. Dia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.
Tidak hanya soal itu, disaat dirinya merasa down seperti ini tidak ada yang bisa menampung curahan hatinya. Teman-teman terdekatnya sudah memilih jalan mereka sendiri. Jarang berkomunikasi ataupun berkomunikasi hanya sekedar basa basi. Mereka lebih asyik dengan kehidupan baru mereka yakni menjadi seorang mahasiswa. Sari merasa tidak ada semangat untuk bangkit lagi.
Hingga pada suatu malam selepas sholat maghrib, aku bersama keluarga makan bersama di ruang tengah. Lalu bapak dan ibunya membicarakan pengeluaran dalam jangka waktu sampai aku lulus kuliah. Dalam percakapan tersebut bapak berkata kepada adikku “Dik jika nanti bapak tidam bisa menyekolahkan kamu hingga bangku kuliah, kamu jangan benci ya ke bapak? Kamu jangan merasa tidak diperlakukan adil dengan kakakmu. Bapak akan berjuang sekuat tenaga Bapak, namun Bapak juga tidak bisa memastikan apakah nanti kamu bisa kuliah atau tidak”.
Seketika hatiku terasa begitu sakit mendengar perkataan tersebut. Selepas itu tiba-tiba muncul keinginan dalam hatiku untuk mencurahkan semua yang aku rasakan dan aku inginkan kepada pemilik kehidupan. Aku lekas mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat isya’.
“AllahuAkbar” takbir aku ucapkan. Dan bersama lantunan bacaan sholat yang aku ucapkan, air mataku menetes. Semakin lama semakin deras hingga aku terisak. Air mata itu tak mampu lagi kubendung. Saat aku mendengar ucapan bapak tadi seketika air mataku ingin keluar namun aku tahan.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh” ibadah sholat kuakhiri dengan salam. Lalu aku mengangkat kedua tanganku dan mencurahkan semuanya kepada Allah hingga aku merasa lega dan tidak lagi menahan sesak di dada.
Entah mukjizat atau memang sudah takdirNya, seketika aku berniat untuk tidak lagi merasakan sepi dan sendiri. Walaupun aku tidak memiliki teman atau orang dekat yang bisa menerima keluh kesahku, tetapi aku memiliki Allah yang bisa mendengarkan semua keluh kesahku dimanapun dan kapanpun itu. Seketika juga aku memiliki niat yang tulus untuk berisitiqomah melakukan ibadah untuk mempermudah Ridho Allah sampai kepadaku.
Dari situlah aku belajar banyak hal dan berjanji kepada diriku sendiri untuk selalu bersyukur apa yang telah aku miliki sekarang. Hidup bukan terus menerus untuk memikirkan harapan. Tetapi yang lebih penting adalah kita harus bisa menjalani kehidupan yang ada di depan kita saat ini dengan sebaik-baiknya.
Cerpen Karangan: Mila Marthasari Blog / Facebook: Mila Marthasari Mahasiswa UINSA- berusaha mengisi waktu luang dengan menulis.