Aku patah arang, tak kulihat lagi nama ayah dan ibu dalam buku hidupku, aku memilih jalur hidupku sendiri, perih pedih namun aku tak gentar menjalaninya.
Genap setahun aku meninggalkan rumah, terakhir kutengok rumah, rasa ingin marah dan mengamuk kala itu ibuku mengatakan bahwa ia sangat membenci gitarku, dan ayahku mati Matian melarangku untuk menyanyi, kata mereka aku tak cocok untuk jadi penyanyi, aku meyakinkan mereka namun gagal, aku merayu mereka namun ditolak, berbagai cara kutempuh namun nihil, hingga malam itu tiba.
Ayahku mengambil gitarku dan membuang di perapian, aku berlari sambil menahan air mata, ibuku memegangku erat erat, ia tak mau aku menyelamatkan gitarku, Lalu dalam amarah dan rasa benci kutinggalkan rumah itu. Tak ingin aku kembali, tak akan, dan tak mungkin.
Sudah setahun sejak aku meninggalkan rumah dan hari ini pagi tadi seseorang meninggalkan surat di depan pintu kosku, Isi surat tersebut bahwa orangtuaku sangat membutuhkanku, Dalam hati aku rindu, namun amarah dan benci masih melandaku kuat. Aku tak menghiraukan surat itu, lalu sore tadi seseorang berkata padaku bahwa ada sesuatu yang penting di keluargaku, yang mana itu memaksaku untuk pulang kali ini.
Kulajukan sepeda motorku, dalam hati masih kuingat jelas makian ayah dan ibuku ketika aku bermain gitar, Masih kuingat dalam hati ketika cacian kala aku kecil saat aku bernyanyi. Semua itu bergejolak dalam diriku, ketika memanas serasa aku tak ingin melanjutkan perjalanan, namun sial, aku tak sanggup menghentikan sepeda motorku.
Tok tok tok, Aku mengetuk pintu rumah, waktu sudah hampir menunjukkan pukul 11 malam.
Tok tok tok, Aku mengetuk pintu untuk yang kedua kalinya, namun masih tak ada jawaban.
Aku membuka pintu, pelan. Kulihat seseorang tergeletak di dipan kayu, wajahnya pucat dan diselimuti selimut seadanya Dan seseorang lagi tertidur di bawahnya, tidur di lantai tanpa alas. Ibu, dan ayahku Rasa ku ingin menghampiri, namun kuurungkan,
Namun tanpa disangka “Nak?” Ibuku memanggilku lirih, wajahnya pucat, ia bahkan tak memandangku bahkan tak bergerak namun bagaimana dia bisa tahu bahwa anak satu satunya ini datang? “Nak? Mendekatlah” Ibuku lirih memanggilku untuk mendekat,
Tiba tiba ayah yang tertidur di lantai bangun, ia berusaha menyadarkan diri, Lalu duduk di dekat ibu, ia memandangku setengah tak percaya, tanpa kusadari secara spontan ayahku memelukku, ia memelukku erat, sangat erat, ayah tak berkata sepatah apapun juga, Namun sekilas kulihat ibuku tersenyum tipis.
Ayah melepaskan pelukannya, aku mendekatkan diri ke ibuku. Dengan nada agak dongkol aku bertanya kepada ibuku, “Apakah ibu mencariku” Ayahku nampak pergi meninggalkan kami Ibuku tak menjawab, aku menghela nafas. Nampaknya ibuku sakit keras, ia tak bisa berdiri bahkan kulihat sebatas untuk duduk saja ibu tak mampu. Wajahnya pucat, kulihat tangannya bergerak lemas “Ibu menunggumu semenjak kamu pergi nak” Tiba tiba ia berkata lalu mengisyaratkan tangan kanannya untuk ku mendekat Aku tercengang “Maafkan ibu nak” matanya berkaca,
Mata ibuku, mata yang menemani waktu aku kecil, mata yang membimbingku untuk tumbuh dewasa, mata yang selalu menerangiku saat aku kesusahan. Mata itu menangis, menangis berkaca dalam kesusahan,
Ibu berusaha untuk bangkit, sangat kesusahan, aku membantunya “Nak, ibumu ingin kamu menjadi orang yang lebih baik, ibumu sadar kamu memilih jalanmu sendiri dan kamu sudah dewasa” Aku terenyuh, aku menunduk menyembunyikan mukaku, tumpah pula air mataku, air mata keras kepala yang selalu menyusahkan orangtuaku. Aku menangis, tanpa bersuara, aku ingin terlihat kuat.
Ayahku keluar membawakanku sebuah gitar, gitar itu gitar yang pernah dibuang di perapian oleh ayahku. Ia memberikan kepadaku dengan khidmat, penuh perasaan, dan pengabdian ayah kepada anaknya. Ayah berkata “Nak, ayahmu membenarkan kembali gitarmu, ayah ingin mendengarkan kamu bersenandung malam ini” Aku menangis, sambil memegang gitarku, lalu kupeluk ayah dan ibuku.
Kami menangis sebagai seorang keluarga, kami menangis sebagai keluarga yang baru, bersih dan tanpa noda biar hari lalu jadi kenangan, esok adalah mimpi, dan kujalani hari ini dengan keluargaku. Selamanya
Cerpen Karangan: Nisca Marsandi