Sore itu, awan kelabu mengadu pada alam yang membeku. Hujan merebak menikam bumiku. Pagi sekali aku bangun, jam 04:05 mata mulai terbuka namun telingga masih marah pada suara-suara yang mencengkam. Perlahan aku menggerakan kaki melangkah ke depan, buka jendela padamkan lentera. Aku melihat hujan bagaikan paku tak berpalu.
“Ahhhh, sial sekali pagiku”. Sedikit kesal dan mengadu. Rasa sesal bangunkan kantuk, sekali lagi gerakan yang sama. Melangkah menuju kamar. Namun tiba-tiba, sesampainya di dalam kamar aku tak jadi tidur lagi. Terlintas ingatanku pada segelas kopi hitam pekat yang membara. “Hmmmm. Dingin sekali ya, mending putar kopi dulu”. Sambil berjalan menuju dapur.
Tengok kiri tengok kanan. Dimana ya kopinya? Sudah sepuluh menit berlalu, kopinya belum ketemu juga. Terpaksa kubangunkan adikku, dan dia masih dalam mimpi dan mungkin mimpinya belum bersambung. Hehehehe.
“In…. n… n…. n!”. Memanggil dengan suara lantang.
Aduh ini anak belum jawab juga ya, sial amat hidupku ini. Masa cari tepung saja sampai berjam-jam. Hiiiisss.
Tiba-tiba dia bangun. “Ehhh maaf ya, aku agak mengusik pagimu”. Sambil tersenyum, agar dia tidak marah. “Ihhhhhh, ka Ronald ada-ada saja. Ganggu orang tidur saja”. Muka cemberut seakan-akan baru berperang melawan penjajah. “Ya udah, mana kopinya?” Tanyaku sambil obrak abrik barang di rak. “Di kamarnya mm kak!” Sambil melihat kedalam rumah. “Astaga, kopi kok ditaruh di kamar sih!” “Pantasan sudah cari semua disini, nggak dapat-dapat”. Sambil memukul dahi.
Diapun kembali tidur, mungkin mau melanjutkan mimpinya yang belum bersambung. Hehehe.
Yuhuuuu, minum kopi lagi. Hujan semakin menjadi-jadi, kadang kecil kadang deras bagaikan musik country. Perlahan kunikmati secangkir kopi di pagi itu, sedikit demi sedikit kuteguk. Perlahan-lahan dingin pun mati, aku sudah sedikit hangat. Pagi itu sebenarnya tak ada aktivitas yang harus dilakukan.
“Untung saja ini hujan datang pas lagi nggak ada urusan, aman deh”. Ujar dalam hati.
Diam dan melihat keluar rumah.
“Jam begini enaknya bikin apa ya”. Pikir-pikir, hmmm mending tulis puisi, kan asik.
Lalu kusiapkan selembar kertas, perlahan menulis dan memilih diksi. Beberapa menit berlalu puisinya pun sudah selesai dan aku memilih judul “Cawan Rindu” pas banget merindukan seseorang saat hujan begini, padahal gadis yang dirindukan adalah punya orang. Sial amat, Hhehe.
CINTA GADIS PERTIGAAN
Terkurung dalam sangkar sang biduan Berkat ulah cinta gadis belia di pertigaan Terjebak dalam sangkar asmara Berkat ulah tuan berdusta
Untukmu wanodya Jalanmu jalanku bersahaja Semerbak jalan kenangan Seruput kisah di pertigaan
Disana tempat kau menunggu Padaku yang masih berseru Gadis belia bagaikan biduan Namun sudah punya tuan
Hadirkan diam Padamkan pelukan Tinggalkan canda Hilangkan cengkerama
Kita pulang Tak sejalan.
Satu puisi menutup hariku di ruang tamu. Dan waktu terus mengadu hingga aku lupa sorepun kembali.
Selesai…!!
Cerpen Karangan: Ronaldus Heldaganas Blog / Facebook: Ronaldus Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng.