Kali ini, niatku sudah pasti. aku mau pulang!. Entahlah, sudah berulang kali aku punya niat pulang, namun selalu terhalang dengan sesuatu hal.
“Sudah kau pikir kembali Nan, keputusanmu untuk pulang?” Tanya Bude Lastri. “Iya, Bude, walaupun aku tidak tahu lagi wajah Ibu sekarang, tapi aku coba untuk mencari alamatnya.” “Kalau sudah bulat tekadmu, ini, Bude punya sedikit bekal untuk perjalananmu nanti, tak banyak” kata bude Lastri menyodorkan beberapa lembar uang. “Bude, apa tidak merepotkan?” Aku kembalikan lagi pemberian Bude. “Jangan sungkan, Nan, perjalananmu jauh, kau perlu banyak ongkos di sana,” kata bude menyodorkan kembali uang tersebut kepadaku. “Terima kasih Bude, selama ini Bude banyak membantuku” bisikku, seraya mencium punggung tangannya.
Bude Lastri, bukan soudara, namun berasa soudara, tetangga sebelah yang menanggap aku sebagai anaknya. Dan aku memanggilnya Bude. Bapak sudah meninggal, kami tiga bersaudara, Mba Nindi, Aku (Kinan), dan Ryan. Kami terpisah, sejak perceraian bapak dengan ibu. Aku, ikut bapak, mba Kinan ikut ibu, dan Ryan dibawa Tante Maya, adik kandung ibu.
Surat dari mba Nindi, dua tahun yang lalu masih aku simpan. Waktu itu, mba Nindi memintaku untuk datang di acara pernikahannya . Namun aku tidak menghadirinya, karena bertepatan dengan bapak yang meninggal waktu itu. Dan setelah itu, tidak ada lagi komunikasi di antara kami, keberadaan mereka pun aku tidak tahu menahu. Ryan, adikku yang ikut Tante Maya, nampaknya sibuk sekali dengan kegiatan sekolahnya. Akhirnya aku yang punya inisiatif harus aku kunjungi segera ibu dan kakakku.
Aku sudah di dalam bus menuju desa karang Sembung, sebuah desa di kota bawang. Aku naik bus jurusan Pantura. Kubuka lagi surat dari mba nindi, ada alamat tertera di sana, dengan bekal alamat ini aku nekad mencari ibu dan Mba Nindi, yang sebenarnya aku sama sekali tak ada gambaran di otakku.
Hampir tujuh jam perjalanan, akhirnya aku sampai di halte terakhir pemberhentian. “Mba nya mau ke desa Karang Sembung kan?” Tanya sang kernet padaku. “Iya, mas betul, apa di sini berhentinya?” “Betul mba, turun di sini dan lanjut ke arah Utara pakai mobil angkutan desa mba, sini saya bantu mba” sarannya dan aku pun segera turun dan menuruti perintah kernet naik angkotan desa yang sudah dipilih.
“Mau kemana mba?” Supir pun bertanya. “Ke desa karang Sembung pak, apa betul naik mobil ini pak?” Tanyaku agak ragu. “Betul mba, mau ke tempat siapa?” “Ke rumah ibu saya pak” “Oh, nanti di sana dijemput atau gimana? Karena kalau ke daerah karang Sembungnya masih jalan lagi mba, kalau ada ojek pakai ojeg mba.” “Oh gitu ya pak, ya pak terima kasih pak.” Dan mobil angkutan desapun melaju dengan banyak penumpang.
Hampir dua jam aku berdiri didepan bekas bengkel, katanya sebagai pangkalan ojeg, namun nyatanya tak ada satupun ojeg mangkal. Kupikir aku salah alamat, tapi saat aku tanya beberapa orang, mereka membenarkan alamat yang kusodorkan. Namun mungkin lagi tak beruntung, semua ojeg tidak mangkal hari ini. Kulihat jam sudah hampir mendekati angka lima, Ah coba aku jalan saja, biar aku tak kemalaman di jalan.
Dengan santai aku telusuri jalan menuju desa karang sembung. Jalanan yang masih berbatu aku telusuri terus. Banyak bertanya sepanjang jalan dan mereka menunjuk masih ke arah sana mba, begitu jawabannya. Aku semakin yakin inilah jalannnya. Kupercepat langkahku karena sore akan segera merapat. Senja sudah turun, dan keadaan tubuh yang lelah pun sudah terasa.
Di persimpangan, aku kembali bingung, kemana lagi arahnya, dari jauh ada seseorang yang bersepeda nampaknya, orang yang barusan pulang dari ngarit, karena seonggok rumput bertengger di boncengan sepeda tersebut. “Maaf pak, mau tanya, apa bapak kenal alamat ini?” dan aku menunjukan alamat ibuku. “Oh ini sih, rumahnya Bu Giarti, masih ke atas lagi, ayo ikuti saya, tapi nggak bisa bonceng mba ada rumputnya” jawab bapak itu. Aku mengiyakan betul nama ibuku Sugiarti. Seakan ada harapan baru dan semangat baru. “Nggak apa pak, saya jalan kaki.” Dan kamipun melanjutkan jalannya, berjalan dengan cepat tentunya, karena aku harus mengimbangi jalannya bapak itu, yang memang jalannya cepat, mungkin memburu waktu karena gelap akan turun.
Kini rumah ibu sudah di hadapanku, rumah model kuno. Samar samar aku mencoba mengingatnya, karena akupun pernah tinggal di sini, namun tak bisa aku ingat. Blank.
Kucoba mengetuk pintu rumahnya. Sepi. “Assalamuallaikum” Sepi lagi… tak ada suara. Aku mulai ragu dan takut.
“Wallaikumsalam…” tiba tiba ada yang menyahut dari dalam. Pintu terbuka pelan, dan muncullah seorang wanita dengan wajah keibuan dan sudah memutih di sebagian rambutnya. Gurat wajahnya… aku nampak tak mengenalinya. “Maaf Bu, ini Bu Sugiarti?” Tanyaku pelan Wanita itu mengangguk lemah. Segera kusalami tangan ibuku. “Kinan Bu, aku Kinanti” seruku sambil menunjuk diriku. Masih ibu ini tak mengenalku. “Kinanti prinangsih Bu.. anak Bu, bapak saya Pak Sutomo Bu” selaku mencoba menjelaskan padanya. Mendengar nama bapak disebut, ibu langsung tersenyum dan berkata, “Kinan… Kinan adik Nindi..” sahutnya senang. “Iya, Bu.. aku Kinan” dan air mata pun tak terbendung.
Di dalam kami banyak bercerita, sepiring singkong habis aku makan, rasanya nikmat sekali. Ibu tersenyum melihatku makan dengan lahap. “Besok aku masakan, hari sudah gelap dan di rumah tak ada persediaan apapun” gumamnya pelan. “Besok kita ke pasar Bu” ajakku, ibu sambil terus memegangi tanganku. Ibu banyak menceritakan tentang Mba nindi, setelah menikah, diboyong suaminya dan jarang menengok dirinya lagi. Malam ini aku tertidur nyenyak sekali, efek cape yang luar biasa.
Pagi menjelang, warna sinarnya nampak tembus di ventilasi rumah, jam berapa ini? Kulihat jam tanganku, sudah jam delapan pagi! Aku terlambat bangun. Segera aku turun dari ranjang dan keluar kamar, kudapati ibu sedang duduk di meja makan! “Maaf Bu, aku kesiangan” kataku dan mendekati ibu yang sedang membuat sesuatu. “Kau pasti cape semalam kan?, Ibu cuma ada kebun singkong di belakang rumah, jadi ibu masak sayur bobor daun singkong dan sama ikan asin saja” Aku tersenyum. Aku bilang tak masalah, dan aku ijin mandi dulu.
Badanku terasa segar kembali, kini baru bisa kuamati seluruh rumah ibuku, karena kemarin hanya diterangi lampu lima Watt saja. Rumah model kuno, hanya ada dua kamar saja ruang depan juga ruang tengah, dapur dan kamar mandi. Dan belakangnya sepetak tanah ditanami singkong dan beberapa pohon cabe dan tomat. “Makanlah Kinan, ibu menunggumu” “Kenapa ibu tidak makan duluan” “Ibu ingin makan bersama kamu nak” Bergegas aku duduk berseberangan dengan ibu.
Banyak keluh kesah seorang ibu, bahkan ibu pernah menikah lagi setelah cerai dengan bapak, tapi mba nindi tak pernah akur dengan bapak sambungnya, selalu bertengkar, dan ibu yang menjadi sasarannya. Ibu mendapat suami kedua seorang pemabuk dan suka sekali berj*di, makanya nindi tidak suka. Aku terdiam, sebenarnya akupun ingin banyak menceritakan semua keluh kesahku, juga masalah Ryan dan keberhasilanku yang sekarang aku sudah PNS. Dan ingin membawa ibu serta, karena bapak sudah… Aku belum sempat menceritakan kalau bapak sudah meninggal.
Banyak cerita, ternyata sudah jam tiga sore, terlihat ibu sudah tertidur siang, nyenyak sekali kelihatannya. Aku masuk kamar dan hoki masih lowbat lupa aku chest, dan kulihat tidak ada sinyal sama sekali. Makanya dari tadi hpku anteng saja tak bersuara.
Semilir angin dari jendela membuat mataku berat, dan suasana desa yang jauh dari hiruk pikuk. Tak lama mata ini pun terpejam, aku tertidur. Menjelang malam terbangun aku tertidur nyenyak sekali. Dan jendela kamarku sudah menutup mungkin ibu yang menutupnya. Dan lampu temaram sudah dinyalakan, seharusnya siang tadi aku beli lampu yang lebih besar wattnya biar lebih terang, besok wes aku akan ke pasar beli keperluan rumah.
“Bu, ibu…” Aku panggil ibu karena tak kulihat ibu yang biasanya duduk di meja makan. “Bu.. ibu di mana?” Kucari di kamar juga tidak ada, kemana ibu, padahal sudah gelap begini. Kulihat keluar pun gelap sekali, aku yang penakut mundur lagi kalau harus keluar rumah untuk mencari ibu. Akhirnya aku hanya duduk termenung, lama sekali ibu pergi, apa ibu lagi pergi ke rumah tetangga?. Ah… aku kembali ke kamar saja, lama-lama aku jadi parno sendiri. Lama di kamar, dan lagi aku terlelap lagi, rasa nyaman dan aman melanda batinku. Makanya aku gampang sekali tertidur.
Dan pagi kudapatkan kembali, segera aku bangun, dan mencari ibu. Kulihat ibu sedang ada di dapur. “Ibu, … kemana ibu semalam?” tanyaku dan memeluk ibu dari belakang. Ibu membelai tanganku dan tersenyum. “Ibu semalam dari uwakmu, kulihat kau nyenyak sekali jadi ibu tak tega bangunin kamu.” “Ibu ayo ke pasat kita beli beras dan segala keperluan ibu.” “Tidak usah nak.” “Ayo Bu, beli bohlam juga biar rumahnya jadi terang Bu.” “Tidak usah nak, biarlah seperti ini.” Kata ibu sambil melangkah ke meja makan.
Di atas meja makan sudah tersedia banyak makanan. “Semalam ke rumah uwak dibawakan banyak makanan, makanlah nak.” Kata ibu pelan, dan mengeser kursi dan duduk di hadapanku. Kutatap ibuku, “Bu, ikutlah denganku, biar aku rawat ibu, karena bapak…” “Tidak usah… biar ibu di sini, ibu bahagia melihat anak ibu sudah cantik dan sukses, biarlah ibu dengan rumah ini.” “Tapi ibu sendirian” kataku merajuk supaya ibu mau aku bawa serta. Ibu menggeleng, “Tidak usah nak, terima kasih sudah mengunjungi ibu.” Aku terdiam, kupandangi lekat wajah ibu sepuas puasnya. “Makanlah…” Suruh ibu padaku. Aku tersenyum, dan menikmati jajanan pasar yang ada dipiring.
Siang ini aku buka pintu rumah, dan baru keluar dari rumah sejak beberapa hari yang lalu. Kulangkahkan kakiku menyusuri desa, melihat lihat suasana yang belum aku nikmati semenjak aku datang ke rumah ibu. Di sebuah batu aku duduk melepas lelah dan mengirup udara segar desa.
Tak berapa lama, aku mendengar sayup sayup namaku dipanggil. Apa ibu yang memanggilnya atau siapa. Ah mungkin hanya perasaanku saja. Tapi beneran namaku dipanggil dan ini semakin jelas, sepertinya ibu yang memanggil aku, akupun segera menyahut panggilan itu. “Iya Bu… aku disini!” teriakku lantang. Saat itu juga bumi yang aku pijak seakan bergoyang dan aku jatuh terduduk karena kaget aku spontan berucap “Astaqfirullohhaladzim…” dengan lantang. “Hai… disini… orangnya di sini” teriak beberapa orang di sekitarku, kepalaku menjadi pusing dan pandanganku berkunang kunang, gelap dan akupun tertidur.
Entah sudah berapa lama aku tertidur. Aku terbangun di sebuah kamar yang asing, ini bukan kamar di rumah ibu. Dimana ini, oh.. kepalaku pusing sekali.
Aku mencoba bangun dan membuka mataku. “Alhamdulillah” ucap sebuah suara. “Kinanti?” tanya sebuah suara. “Iya ..aku Kinanti” jawabku bingung. Dan wanita itu langsung memelukku, mencium keningku dan mendekap erat tubuhku. Diusapnya air matanya.
“Aku kakakmu, aku Nindi” jawabnya lagi. “Mba Nindi..” aku tersadar di hadapanku adalah kakakku, segera memeluknya dan menangis dalam pelukannya. “Maafkan Mba, nggak njemput kamu, dan kenapa mau pulang nggak bilang” isaknya lagi dan masing memegang tanganku dengan erat. “Maaf Mba… aku pulang ke rumah nggak bilang, aku beberapa hari ini bersama Ibu, dan Ibu merindukan Mba, katanya jarang ke rumah Ibu” kataku. Mba Nindi dan beberapa orang nampak kebingungan.
“Kinan,.. Ibu sudah nggak ada Nan, Ibu sudah meninggal, baru semalam Haul Ibu yang ke dua tahun, aku mencarimu, karena ada yang cerita, katanya ada gadis mencari alamat rumah Ibu, aku langsung tahu itu pasti kamu.” Aku terdiam seribu bahasa, tubuhku kaku.
Ya Allah… akupun menangis dalam pelukan Mba Nindi.
Cerpen Karangan: El Dziken Blog / Facebook: Elfi Sri Wulan Brebes