Hari ini, untuk lagi dan lagi, saya melihat senja menggantung di kaki-kaki langit, merebakkan cahaya keemasan bercampur merah, menunjukkan siapa yang paling bertahta di muka bumi. Angin yang menyelipkan sisa-sisa debu kota ke setiap pakaian yang melekat pada orang-orang yang pulang kerja, desirannya terdengar membisikkan sesuatu yang tidak bisa dipahami manusia. Perasaan saya selalu sama. Membuat kedua tangan saya mengepal di sisi tubuh atau sesekali meremat segala sesuatu yang mungkin kebetulan saya pegang.
Sudah satu tahun saya tidak bertemu ibu saya di kampung. Merantau jauh ke kota karena mendapatkan beasiswa, meninggalkan ibu yang semakin termakan usia sendirian berumah kecil dan usang di sana, saya sempat terpikir di suatu hari. Mengapa saya menerima beasiswa itu? Mengapa saya sebegitu tega meninggalkan ibu saya hanya demi keinginan saya?
Saya merasa terjebak, terjerat dalam lingkaran gelap dimana setiap celah yang saya kira akan mengeluarkan saya malah berjeruji dan siap merobek asa saya. Barang kali saya berpikir mungkin saya harus mengakhiri perkuliahan saya, memilih menatap bersama ibu dan mengurusnya sebagaimana anak yang berbakti. Tapi, setiap perkataan ibu selalu membuat saya tersenyum getir dan meragukan apakah benar keputusan saya yang hendak berhenti melanjutkan pendidikan ini.
“Dengerin Ibu, Di. Ibu sama sekali gak masalah kalau kamu ninggalin Ibu demi belajar. Ibu gak masalah kalau Ibu harus tinggal sendirian. Ibu nyaris nangis waktu denger kamu dapet beasiswa. Ibu bakal kecewa kalau kamu ninggalin kuliah kamu cuma karena kasihan sama Ibu. Jangan jadiin Ibu alasan kamu berhenti ngejar apa yang kamu mau.”
Perkataan itu selalu menggetarkan sesuatu dalam dada saya. Bahkan nada suara ibu yang hampir menangis mendengar pertanyaan saya lewat telepon masih segar dalam ingatan. Saya tidak akan pernah sempat berpikiran begitu seandainya wabah yang melanda dunia ini tidak hadir dan merentangkan jarak antara saya dan ibu saya. Saya tidak akan pernah berpikir begitu sedikit pun jika Tuhan tidak memberikan kesakitan sebesar ini.
Menghela napas berat, membasahi kedua bibir saya yang kembali mengering dan menelan ludah dengan sakit, saya menghentikan angkutan umum yang lewat. Pulang ke kostan, membersihkan diri dan mengerjakan segala tugas yang sudah mepet deadline. Akhir-akhir ini pikiran saya lebih kacau setelah mendengar kabar ibu sakit dan tidak ada yang mengurus. Rasanya saya ingin melesat tanpa memedulikan peraturan yang pemerintah tetapkan sejak satu tahun lalu. Tapi, pada akhirnya saya hanya bisa diam di sini. Menunggu kabar ibu akan baik-baik saja entah sampai kapan.
“Dika, kamu punya masker lebih, gak?” Terdengar deritan pintu kamar terbuka. Saya menolehkan kepala dari atas kasur, mendapati Fahri menyembulkan kepala dari balik pintu. “Maskerku abis, nih. Gila, baru beli semalem langsung ludes macem padi dimakan tikus.”
Saya tersenyum kecil. Beranjak dari duduk, berjalan dan membuka laci pakaian dan mengambil beberapa masker untuk pria itu, saya melemparnya dan langsung ditangkap Fahri. Dia nyengir. Sekilas saya lihat pakaiannya tampak rapi, sepertinya Fahri akan menghadiri acara tertentu –sebenarnya saya juga tidak mau peduli andai dia tidak muncul di hadapan saya– yang jarang dia lakukan.
“Mau ke mana?” tanya saya, kembali mendudukkan diri di tepi kasur kecil bersepatu putih polos. “Ketemuan dong sama pacar. Kamu mau ikut?” Dia menawar dengan ekspresi yang saya pikir mengejek saya karena masih jomblo selama dua puluh tahun. “Enggak. Saya ada banyak tugas. Emang tugas kamu dari Pak Jarot udah selesai?”
Fahri menggeleng tidak peduli. Dan saya sudah menduga hal itu akan terjadi. Dia kemudian menjawab dengan nada songong –yang kalau Pak Jarot dengar saya yakin beliau akan menendang bokongnya sampai mental ke pulau lain. “Pacar aku lebih penting dari tugas Pak Jarot. Lagian, ini pertama kalinya aku ngajak dia nge-date. Cuma Pak Jarot aja yang ngasih tugas gak tepat waktunya. Udah, ah. Aku duluan. Kalau kamu mau punya pacar kayak aku, telepon aja. Aku selalu dikelilingin cewek, gampanglah nyari satu buat kamu.”
“Hm. Saya gak terlalu butuh sebenernya.” Cukup ada perbedaan yang kontras antara saya dan Fahri. Pria itu supel, kadar ketampanannya memang melebihi saya jika dilihat dari seberapa banyak perempuan yang menggandenginya sepanjang waktu. Tapi, meski Fahri cukup mudah mencari perempuan, nyatanya yang saya tahu dia terlalu payah untuk hal yang namanya pacaran.
“Ya, udah. Terserah kamu. Bye!” Pintu terbanting, Fahri lenyap dari hadapan saya. Untuk sesaat, keheningan memerangkap ruangan kecil yang berserawang di beberapa sudutnya. Jika diingat-ingat, barang kali ada sekira dua bulan saya tidak membersihkan kamar ini selain menyapu dan membereskan kasur.
Terdiam. Merasakan seberapa banyak tambatan gelisah mengikat dan memelintir hati saya, rasanya begitu tidak nyaman. Saya melihat ke arah ponsel paling murah yang saya beli tahun lalu –seingat saya harganya tidak sampai satu juta– yang tergeletak terbalik di sebelah buku-buku yang terbuka dan laptop yang menyala. Tangan saya gatal ingin meraihnya, memencetkan nomor ibu dan bertanya bagaimana keadaannya saat ini. Sudah lebih baikkah?
Tapi, sesuatu mengganjal relung saya, mencegah saya untuk melakukannya atau saya akan terluka lagi hanya karena mendengar jawaban-jawaban kebohongan ibu. Bahkan panggilan terakhir yang saya lakukan beberapa hari lalu masih tidak bisa membuat saya tenang untuk beberapa waktu. Ibu selalu berbohong, berbohong, dan berbohong. Hanya agar saya tidak mengkhawatirkannya dan fokus akan kuliah yang dijalankan secara daring, setiap pertanyaan yang saya lontarkan selalu dijawab dengan nada yang lembut dan kebohongan yang menggores satu luka di sudut hati saya.
Rasanya seperti kapok. Namun, di sisi lain sesuatu begitu mencekik dan membuat tenggorokan saya kering dalam sekejap. Nyeri dan sesak karena kerinduan yang makin membeludak.
Esoknya, kala mentari baru menampakkan silaunya dan memberikan kehangatan bagi setiap perindu rumah yang sebenarnya, saya terduduk diam di depan kostan. Menyendiri. Saya menatap beberapa pejalan kaki yang sibuk berlari sana-sini demi menambah imun agar virus-virus menyebalkan itu enyah dari mereka. Tidak sengaja, saya menangkap dua orang bocah ikut berolahraga bersama ayahnya. Mereka tertawa. Terlihat bahagia walau pandemi ini masih mengurung dunia dalam lembah kekacauan dan kemurungan. Saya memperhatikan saksama, sampai seseorang menyentuh pundak saya dan membuyarkan lamunan saya.
“Kamu lebih diem akhir-akhir ini. Kelihatan agak kacau.” Gadis yang entah sejak kapan sudah duduk di sebelah saya, penghuni kostan seberang, tersenyum kecil. “Tentang ibu kamu … aku juga gak tahu bisa kasih saran apa. Aku juga gak akan bilang semua akan baik-baik aja, atau support kamu buat lebih bersabar.”
Saya hanya memandangnya rumit, tidak tahu mesti bilang apa. Gladis memiliki cara berpikir berbeda dengan gadis lain sejak pertama kali saya menemukannya sendirian di halte bus dengan koper besar di tengah hujan deras. Dia kabur dari rumah, memilih ngekost dan kuliah dengan jurusan keinginannya dibanding mematuhi orangtua. Sebenarnya cuma Gladis satu-satunya gadis yang sesekali bersama saya selama satu tahun ini.
“Pasti sulit, kan?” tanyanya. Dan entah mengapa, entah bagaimana dia membuat dada saya bergemuruh mendengar pertanyaan sederhana itu. Dia mengulum bibir, memberi sorot mata teduh dan mengingatkan saya akan ibu. “Aku cuma akan bilang, kamu boleh lemah. Kamu boleh mengeluh, merasa gundah, atau bahkan menangis. Itu wajar, kan? Kamu juga manusia.”
Detik itu, saya merasa ada sesuatu yang tergenang di balik pelupuk mata saya hingga memburamkan penglihatan saya pada Gladis yang tersenyum seolah semua akan baik-baik saja.
Cerpen Karangan: Annisa Sabila Blog / Facebook: urdarkshadow Annisa Sabila cuma seorang cewek 18 tahun yang masih belajar dalam dunia kepenulisan. Pernah ngirim cerpen sebelumnya, tapi selalu berakhir ditolak. Kegiatannya cuma leyeh-leyeh sambil ngehauluin tokoh-tokoh dalam cerita dia. Mampir ke akun wattpad urdarkshdow kalau mau tahu karyanya lebiih banyak.