Bunda suka sekali masak, terutama biskuit, kue, dan makanan manis lainnya. Menurut Elsa, tak ada yang bisa menandingi masakan Bunda di dunia ini. Bahkan, chef hotel bintang lima pun masih belum bisa menandingi masakan Bunda.
Bunda senang sekali membuatkan Elsa makanan sebagai teman menonton di sore hari. Biasanya, Elsa akan menonton serial anak-anak kesukaannya tiap kali dia pulang les, di ruang tengah. Sudah menjadi kebiasaannya untuk berlari masuk ke rumah, mandi, dan berjalan menuju dapur untuk melihat cemilan apa yang Bunda buat.
Namun, hari ini sedikit berbeda. Hari ini hari Minggu. Ayah dan Bunda yang biasanya sibuk bekerja, keduanya ada di rumah. Elsa meminta Bunda untuk mengajarinya memasak. Niat dan semangat itu datang karena Ayah baru saja bercerita mengenai anak dari rekan kerjanya yang membawakan mereka makanan buatannya sendiri.
“Elsa yakin? Anak rekan kerja Ayah itu udah remaja, sayang. Elsa kan masih kecil. Yakin mau diajarin masak?” Elsa mengangguk dengan mata yang berbinar. “Supaya nanti Elsa bisa bikinin makanan buat Ayah dan rekan-rekan kerja Ayah. Nanti, rekan kerja Ayah bakalan cerita soal makanan Elsa di rumahnya, kaya yang Ayah lakuin tadi.”
Bunda memutuskan untuk mengajari Elsa membuat kue cokelat, kue favorit Elsa dan kue yang paling sering Bunda buat untuk Elsa.
Tadinya, Bunda berniat untuk memberi Elsa tugas menuangkan bahan-bahan dan berbagai kegiatan kecil saja. Namun, Elsa sedikit keras kepala. Elsa meminta Bunda untuk diam saja dan memberitahunya prosedur dari pembuatan kue cokelat karena Elsa yakin, kue buatannya pasti enak.
Akhirnya, Bunda hanya duduk di sudut ruangan, memberitahu prosedur dari pembuatan kue cokelat, sembari memandangi Elsa dengan senyuman. Ternyata, memasak itu tak seperti yang dia bayangkan. Setelah kuenya jadi pun, Elsa jadi berantakan sekali. Elsa tak ingin memotong dan mencoba kue itu karena dia ingin kue itu tetap utuh.
Elsa bersikeras untuk meminta Ayah membawa kue cokelatnya ke kantor. Namun, kata Bunda, kenapa Elsa tidak membawa kue cokelatnya ke sekolah dulu saja? Memberikan kue cokelat itu untuk Sari dan Reta, teman-teman dekat Elsa. Pasti akan menyenangkan.
Namun, keesokan harinya, Elsa pulang dengan wajah yang murung. Dia langsung menuju kamarnya, mandi, dan tidur siang. Bunda pun sedikit bingung dengan apa yang terjadi, tapi Bunda mulai mengerti ketika dia melihat kue yang Elsa bawa nyaris masih utuh, hanya beberapa potong saja yang diambil.
“Ada apa?” tanya Bunda memasuki kamar Elsa, ketika Elsa sedang duduk di kursi meja belajarnya, mengerjakan PR. “Kok tadi sore gak nonton Handy Manny? Biasanya, gak pernah ketinggalan.”
Elsa yang tengah sibuk menggambar bentuk bangun ruang di atas halaman buku kotak-kotak tersebut, hanya menoleh ke Bunda sekilas, lalu merengut. “Kata Sari dan Reta, kue buatan Elsa enak,” ucap Elsa. “Tapi, kata Joshua, Tedi, dan anak laki-laki lainnya, kue buatan Elsa gak enak. Malahan, mereka muntahin kue buatan Elsa.” Bunda hanya bisa tersenyum. “Terus?” “Sari dan Reta bohong. Mereka bilang kue buatan Elsa enak, tapi ternyata gak enak. Elsa gak suka pembohong,” ucap Elsa lagi, tampak sedih.
Bunda terdiam sejenak, lalu mengelus kepala Elsa dengan lembut. “Mereka bukannya pembohong dan Elsa gak perlu marah,” ujar Bunda. “Gak ada yang perlu dimarahin dari orang yang cuma berusaha untuk gak nyakitin hati kita dan bikin kita senang. Meskipun cara mereka salah yaitu bohong, tapi percaya deh, mereka cuma gak mau nyakitin hati Elsa.”
Elsa terdiam, cukup lama.
“Lagian, masak itu ajaib. Meskipun dengan prosedur yang sama, belum tentu rasanya bakalan sama karena tangan pemasaknya berbeda.”
Elsa masih belum memberi respon apapun. Bunda benar. Dia tak seharusnya marah kepada Sari dan Reta. Mereka hanya tak ingin menyakiti hati Elsa. Jika Elsa berada di posisi mereka pun, mungkin Elsa bingung harus merespon apa dan mungkin, Elsa juga akan berbohong agar tak menyakiti hati mereka.
“Bun, Bunda bisa bikinin kue cokelat yang enak gak, malem ini?” tanya Elsa. “Malem ini?” Elsa mengangguk. “Untuk Sari dan Reta, besok.”
Cerpen Karangan: syarla feonisa