Aku duduk terpaku di dalam kamar. menyendiri memikirkan masa depan. Lulus dari sekolah menengah atas bukan solusi untuk melarikan diri dari tugas dan mata pelajaran. justru awal dari pelajaran yang sebenarnya. Kemalasan menjadi faktor utama perjuangan terhenti. Ditambah pikiran-pikiran negatif tentang kejadian nanti. Meringkuk bergelut dengan pikiran. Orang bilang hanya perlu memulai. Tapi dari mana harus kumulai?
Disela banyaknya alasan untuk melarikan diri. Blaks, sebuah buku terjatuh sendiri dari raknya. Seakan memberi peluang untuk berkarya. kulirik sumber suara sembari mengumpulkan tenaga. menjawab rasa penasaran yang ada, kudekati buku itu sekaligus mengambilnya. Buku yang sekiranya hanya 20 halaman itu.
Paradoks Scrodinger’s cat. Dari judulnyapun kutahu ini milik ayahku. Kubuka 1 lembar pertama. Tak tertarik dengan pendahuluan, langsung kubuka lembar berikutnya. Erwin Scrodinger. Salah satu pendiri mekanika kuantum melakukan eksperimen pikiran, yaitu menaruh sebuah kucing dengan racun sianida dan radioaktif kedalam sebuah kotak. Dengan kemungkinan 50% radioaktif akan menyala atau tidak. Dalam keadaan itu, kucing tidak bisa dinyatakan hidup atau mati, yang biasa disebut dengan Superposisi. Tanpa diamati, kucing dapat disimpulkan dalam keadaan hidup sekaligus mati. Satu-satunya cara mengetahui keadaan kucing yaitu dengan membuka kotaknya.
Penjelasan yang didukung ilustrasi gambar itu memperkuat imajinasi pemahaman orang yang membacanya. Kututup kembali buku itu karena pembahasan selanjutnya berada di level yang berbeda. Gejolak dalam hati meluap tiba-tiba. Bersamaan dengan perubahan pola pikir. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri, Juga menertawai diri.
Tidak ada gunanya meratapi hal yang belum tentu terjadi. Bukan lagi masalah harus memulai dari mana atau bisa tidaknya. Peduli setan mulai darimanapun. Ini masalah aku mau atau tidaknya memulai itu. Sama seperti kucing itu. Masa depan juga berada di keadaan Superposisi. Tidak akan ada hasil akhir sebelum diamati. Porsi keberhasilan bukan CUMA 50% tapi ADA 50%. Sama halnya dengan kegagalan. Pun kegagalan bagian dari keberhasilan. Apapun hasilnya nanti, usaha tidak akan mengkhianati hasil.
Aku berlari membuka pintu untuk menghapiri ayahku yang berada di ruang kerjanya. “Aaaayahhh,” Panggilku riang memeluknya dari belakang. Meja penuh kertas namun rapi, dihiasi lampu belajar dan sekotak peralatan kerja yang isinya seperti alat untuk anak sekolah dasar. kefokusan ayahku menghitung rumus matematika kini terbuyarkan karena panggilan dan pelukanku. Dia mengelus tangan kananku yang berada di lehernya dengan tangan kiri. “Kenapa anak ayah?, ada apa?” tanyanya padaku. “Ngaada apa-apa, misyaa bersyukur banget punya Ayah,” Jawabku melepaskan pelukan. Ayah memutar kursi menghadapku. “Abis nyatain cinta?” Tebaknya. “Iya ini ke Ayah,” Ucapku tanpa keraguan.Sosok yang selama ini kukagumi. Cinta pertama seorang anak perempuan. “Lalu?” Saut ayah mengerutkan dahinya. “Udah misya putusin, misya bakalan jadi fisikawan hebat kaya ayah,” setelah kuucapkan itu, aku tersenyum mencium pipi ayahku lalu pergi keluar kamarnya begitu saja. Aku tau banyak ranjau yang akan kulewati. Tapi tanpa ranjau, kapal tidak akan memperkuat dasarnya. Toh aku punya Ayah yang selalu ada buat aku.
Author pov “Syukurlah dia udah ceria lagi” ucap lelaki berkulit putih yang sedang duduk di kursi menghadap pintu. senyum kelegaan dari kekhawatiran seorang ayah pada anaknya.
Gadis berambut pendek dengan piyama biru itu terlihat tidur dengan nyenyak di ranjangnya. Kamar gelap gulita, hanya lampu belajar bersinar kuning yang jadi pencahayaan. Buku yang masih terbuka. Banyaknya kertas dipenuhi aksara dan angka. bolpoint yang menindihi kertas menunjuk barat laut.
—
Bulan berganti matahari. Pagi yang ceria untuk misya dan Ayahnya. “Udah siap ikut tesnya?” tanya ayah misya. Misya menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan. “Harus siap” Jawab misya tersenyum kecil. “Misya pasti lolos dan bisa masuk harvard university” motivasi misya pada dirinya sendiri. Telapak tangan lebar mengelus kepala misya lembut. “Anak ayah pasti bisa,” senyum penyemangat ayah dan anak itu menghiasi ruang kamar misya.
Keheningan dalam kamar itu kini membuat suasana semakin tegang. Rak buku bertingkat layaknya perpusatakaan pribadi. Terisi buku-buku yang tersusun rapi. Misya menggores bolpointnya tanpa ragu. Waktu dalam komputernya yang terus berjalan mundur. Pandangan Misya terfokus pada soal yang ada di depan mata. Coretan acak berbagai rumus yang semakin bertambah. Suara ibu-ibu komplek terkadang membuyarkan konsentrasi Misya. Gosip-gosip aneh menyebar. Misya menggelengkan kepala. Memfokuskan diri lagi.
Beberapa waktu terlewati. Misya mondar mandir di kamar sambil menggigit kuku jempolnya. Raut kekhawatiran, tegang, takut. Semua terlihat jelas.
Ting Notifikasi email masuk dari komputernya. Notifikasi yang ia tunggu-tunggu sekaligus menjadi teror terbesar untuknya. Misya buka email itu. Harvard University. Misya baca perlahan dan teliti. Tulisan berbahasa inggris itu bukan kendala untuk misya. Ada 1 kalimat ia baca ulang sampai 3 kali. Dia mematung tak percaya. Sebuah keajaiban menurutnya.
Misya ternyata lulus ujian masuk. Segera ia berteriak memanggil ayahnya sambil menangis bahagia. Pintu kamarnya terbuka.
“Kenapa? kenapa?” Tanya ayahnya khawatir. “Hiksss… ayahhh… misya lulus ujian masuknya…” Ungkap misya. Ayahnya memeluk misya dengan erat. “Ayah tau kamu pasti bisa” Balas ayahnya dengan tarikan sudut bibir ke atas. “Lihat kan, anakmu memang cerdas seperti yang kamu kira” Ayah misya membatin. “Jangan lupa sampein salam ayah nanti ya”
Misya pov Tawa ria memenuhi seisi kamar.Kamar kecilku. Aku tau aku beruntung. Punya Ayah lulusan Harvard. Dan almarhum ibu yang belum lama kuketahui ternyata anggota CERN. Walau sempat frustasi tidak sepintar mereka. Sekarang aku sadar. Semua hal tidak melulu pakai jalur yang sama. Mungkin tidak bisa seperti mereka. Tapi aku, punya versi berhasilku sendiri.
Cerpen Karangan: Felisya