Dia yang pergi tanpa permisi, telah melenggang melintasi tujuh purnama. Meninggalkan janin yang berkembang di dalam rahim. Dia pria 35 tahun, sudah sepuluh tahun lebih hidup bersamaku. Dalam susah, senang, tangis dan tawa. Dengan keterpaksaan hati, ku harus melepasnya. Menjerit hati melihat anak menangis merindukan bapaknya. Bocah delapan tahun itu sering bertanya kepadaku sambil meneteskan air mata.
“Bu, bapak kemana? Delia kangen.”
Tanpa sadar airmata juga menetes di pipiku. Bukan karena merindukan pria yang telah memberi buah cinta. Tapi karena tak kuasa melihat buah cinta kami terluka.
Pria itu adalah pria yang sangat baik ketika meminangku. Lembut hati, rajin, perhatian dan penuh kasih sayang. Dua tahun pertama pernikahan, semua terasa baik-baik saja. Dia pria yang sangat rajin bekerja meskipun penghasilannya pas-pasan. Tapi kami tetap merasa bahagia, ditambah lagi seorang malaikat cantik lahir dari rahimku. Delia, buah cinta kami.
Kami tinggal di sebuah desa dengan penduduk ramah. Ketenangan dan kedamaian menemani keluarga kami setiap harinya. Rimbun pepohonan hijau hutan di tepi desa, menjadi pemandangan indah yang menyejukkan mata. Disinilah kami tinggal, membangun keluarga, merajut mimpi.
Suamiku bekerja sebagai supir di sebuah rental mobil. Tak banyak orang desa yang memiliki mobil pribadi, mereka lebih suka menyewa mobil di rental sekaligus jasa sopirnya. Menurut mereka itu lebih praktis. Sedangkan aku bekerja di puskesmas sebagai bidan. Merawat dan melayani ibu-ibu hamil dengan kondisiku sekarang yang juga sedang hamil. Tak ada dokter kandungan di desa kami, hanya bidan pilihan yang kami punya. Jika ingin ke dokter kandungan kami harus jauh ke kota dengan satu jam perjalanan dan dengan biaya yang tak sedikit tentunya. Hanya orang-orang kaya dan para tuan tanah yang mampu melakukannya. Meskipun dengan segala keterbatasan, para warga desa tetap bisa menjalani hidupnya dengan baik.
Keluargaku tak bisa dibilang kaya, tapi juga tidak miskin. Kami bisa hidup nyaman dalam kesederhanaan.
Awalnya suamiku anteng-anteng saja dirumah. Bermain bersama anaknya sepulang kerja. Kebiasaannya mulai berubah sejak tetanggaku ada yang lahiran. Dan tradisi di kampungku adalah diadakannya acara melek’an bayi. Yaitu para bapak-bapak bermain kartu setiap malam selama 40 hari di rumah keluarga yang baru saja memiliki bayi. Agar ibu yang baru saja melahirkan tidak merasa sendirian ketika mendampingi bayi kecil yang biasanya suka begadang. Makanan ringan berupa kue-kue tradisional pun disajikan. Tidak lupa air putih dan wedang kopi sebagai tombo ngantuk.
Malam-malam pun berlalu dengan suamiku tak pernah di rumah setiap malamnya. Aku pun bisa memaklumi karena itu adalah tradisi kampung. Nanti pasti akan berhenti setelah hari ke 40, pikirku saat itu. Tapi ternyata kegiatan itu tak pernah berhenti. Bahkan menjadi kebiasaan untuk berj*di. Beberapa bapak-bapak yang gila main kartu terus melanjutkan kegiatan itu. Dan sialnya, suamiku ikut serta dalam kegilaan itu. Tak hanya di rumah keluarga yang baru saja lahiran. Kegiatan main kartu dilanjutkan di pos kamling, dengan alasan sembari ronda menjaga kampung.
Meskipun suamiku tak pernah lalai menjalankan tanggung jawabnya menafkahi keluarga. Tapi hatiku merasa tidak nyaman. Apalagi dia mulai dekat dengan Pakde Semprul. Pengusaha mebel yang sukses di kampung kami. Tak hanya kesuksesannya yang terkenal di kampung. Tabiatnya yang kurang baik pun tak kalah tenar. Dari Pakde Semprul suamiku mengenal obat terlarang. Dan sejak saat itu nerakaku dimulai.
Setiap hari setelah bekerja suamiku pergi bersama Pakde Semprul. Entah apa saja yang mereka lakukan hingga suamiku tak pernah kerasan di rumah. Perangainya pun juga berubah. Tak jarang ia berkata kasar kepada istri dan anaknya. Jika aku berusaha mengingatkan, umpatan dan caci maki yang aku terima. Temperamennya benar-benar tak bisa dikendalikan. Meski dia tak pernah melakukan kekerasan fisik. Tapi kekerasan verbal kuterima setiap hari tanpa henti. Sekuat tenaga aku berusaha bertahan meski airmata mengalir setiap hari. Hanya Delia yang ada di pikiranku. Aku ingin Delia dibesarkan dalam keluarga yang utuh.
Sering kudapati suamiku pulang dalam keadaan mabuk. Aroma alkohol menguar dari mulutnya. Semakin sesak dada ini kurasa.
“Mas, sampai kapan kamu akan seperti ini? Apa kamu nggak kasian sama Delia?” aku berusaha mengingatkan suamiku. “Diam kamu Ratih, jangan banyak omong kamu. Meskipun aku seperti ini, toh uang belanja nggak pernah telat kan” suamiku berkata sambil melotot. “Tapi tetap saja yang kamu lakukan itu nggak bener mas” aku masih berusaha mengingatkan. “Udah jangan banyak bacot kamu” suamiku menutup pintu kamar dengan keras. Aku hanya terdiam sambil menitikkan airmata.
Hari-hari berikutnya kulalui dengan berat. Bekerja dan mengurus anak sendirian. Serta menjaga janin yang tengah tumbuh di rahimku. Suamiku masih jarang di rumah, dia tak peduli jika istrinya tengah hamil. Dia masih sering memakiku setiap pulang ke rumah. Aku berusaha bertahan dengan temperamennya. Puncaknya ketika aku menerima pesan singkat dari seseorang.
“Ratih aku kemarin melihat suamimu di cafe remang-remang di kampung sebelah” kata orang itu melalui pesan singkat disertai sebuah foto.
Kuperhatikan foto itu baik-baik. Di tengah keremangan terlihat suamiku sedang memeluk seorang wanita berbaju seksi. Tanpa mempedulikan siapa orang yang telah mengirim pesan, kemarahanku seketika naik ke ubun-ubun. Kesabaran yang kupupuk selama ini hilang seketika, menyisakan emosi yang harus segera ditumpahkan. Kudatangi suamiku yang tengah bermain ponsel di ruang tengah. Kutunjukkan kepadanya foto yang baru saja kudapat. Kumarahi dia habis-habisan hingga dia tak punya lagi alasan untuk mengelak. Karena tak bisa membela diri, emosinya pun ikut meledak. Dia mengataiku bahwa aku wanita pencemburu.
“Hati wanita mana yang tidak sakit melihat suaminya berkelakuan seperti itu” ucapku lantang.
Suamiku tidak peduli, dia balik memarahiku dengan alasan yang tak masuk akal. Dan aku terus memojokkannya dengan kesalahan-kesalahan yang telah dia lakukan. Perang mulut pun berlangsung sengit. Teriakan demi teriakan terdengar bersahut-sahutan. Karena tak mampu lagi mengendalikan emosi, suamiku akhirnya memukulku. Aku terjatuh, tumbang tak berdaya. Tubuhku seketika terasa lemas, perutku terasa sakit luar biasa. Kurasakan darah merembes dari selangkangan. Aku tak mampu bergerak.
Melihat aku terkapar lemah, suamiku tampak ketakutan. Dia lantas pergi meninggalkanku tanpa pertolongan. Aku hanya bisa terdiam sambil sesekali memejamkan mata menahan sakit. Mungkin disinilah hidupku akan berakhir. Aku pasrah.
Tiba-tiba Bu Wati tetangga sebelah datang. “Ya ampun Bu Ratih, kamu kenapa? Aku tadi denger suara teriak-teriak dari rumah ini. Dan aku segera kesini begitu melihat suamimu lari keluar rumah” Bu Wati tampak cemas. “Tolong saya bu” hanya itu yang bisa aku ucapkan. Bu Wati paham, tanpa banyak bicara beliau segera memanggil bantuan dan membawaku ke rumah sakit terdekat.
Untungnya bayiku masih bisa diselamatkan. Dia masih kuat bertahan dalam kandungan hingga waktunya lahir nanti. Dan aku masih bisa sehat dan kuat untuk menjaga anak-anakku.
Suamiku tak terdengar lagi kabar beritanya sejak saat itu. Bulan demi bulan berlalu tak pernah sekalipun aku berusaha mencari tau keberadaannya. Berharap dia kembali pun tidak. Itulah terakhir kali aku melihat wajahnya. Kini aku tak peduli lagi dia berada dimana. Entah dia masih hidup atau sudah mati, aku tak mau tau lagi. Biarlah.
Cerpen Karangan: Wiwin ernawati Blog / Facebook: Icasia Aurelio