“Rasya!” Iyan bangkit menghampiri adik laki-lakinya itu, wajah sang adik yang dipenuhi lebam ingin dia gapai, namun untuk kesekian kalinya Rasya menepis tangan itu. Tanpa banyak bicara Rasya pergi menuju bilik belakang. Iyan menghembuskan napasnya merasa hal ini sudah sering dia hadapi. Tapi tak lepas dari itu dia tidak ingin putus asa.
“Rasya, kakak buatkan bubur ya.” Dirasa ketukannya tak berarti apa-apa, Iyan menyentuh pintu itu dan berangsur pergi. Iyan ingat sekali di saat dia memasakkan bubur sesekali Rasya menjawab dengan suara keras. “Bubur? Emang Rasya penyakitan?” Sejujurnya Iyan ingin memasakkan makanan yang jauh lebih sedap dari segumpal air dan nasi. Namun Iyan tidak punya lebih dari beras yang dia dapat dari lahan tempatnya bekerja.
Selepasnya Iyan melangkah keluar memandang langit gelap tanpa hamburan bintang. Laki-laki itu membuang napasnya cukup menyakitkan. “Bapak doakan Iyan kuat, tolong berikan Iyan pelukan terbaik Bapak… Dan malam itu hanya jemari kasar yang terus-terusan menyeka air matanya.
—
“Surat pemindahan hak tanah?” Iyan menatap perkumpulan orang di teras rumah, wajah laki-laki itu terlihat bengis. Namun tak dari itu, Rasya yang tiba-tiba datang menarik berkas itu dan merobeknya hingga menjadi butir-butiran kecil.
“Kamu nggak cukup buat keluarga Bapak menderita?” Rasya berucap dengan penuh amarah, matanya betul-betul mengkilap tajam manatap seorang laki-laki yang masih cukup muda di depannya.
“Rasya, lu itu harus tau diri! Bapak lu masih punya tanggung jawab untuk ngehidupi gue, tapi dia malah pedulikan kalian!” Iyan menarik tangan Rasya yang siap melayangkan pukulan.
“Sabar Rasya.” “Sabar mas bilang?” Kini Rasya menatap Iyan dengan penuh emosi. “Dia yang jelas cuman adik Bapak, adik yang bahkan bukan sedarah. Kita yang bahkan anak kandung Bapak ditelantarkan begitu saja. Gila lu!” Rasya menepis tangan Iyan, laki-laki itu menatap Roa- anak gila itu yang kini tersenyum remeh pada mereka.
Tanpa babibu lagi, satu pukulan mendarah di ujung bibir laki-laki itu dan dengan bangganya Rasya menarik hasil robekannya dan melemparkan ke wajah mereka. “Sekali lagi lu nginjakin kaki di sini, gua nggak bakal segan-segan sama lu.” Dengan wajah merah padam, Rio dan teman-temannya pergi dari sana.
Iyan menarik tangan Rasya yang terlihat memerah, namun laki-laki itu sudah menepisnya kasar. “Gue ingatin sama lu jangan terlalu sabar sama orang kayak mereka. Lo tau arti orang sabar marahnya bisa membunuh?” Iyan menatap sang adik senduh. “Jangan pernah lo tunjukin muka cemen lo itu, atau bisa aja lo kepicut sama akal-akalan mereka buat bisa menang.” Dan selepas mengatakan itu Rasya pergi dari sana.
Iyan memandang tubuh sang adik yang berjalan di pingiran sawah dengan tubuh ringkih itu Iyan merasa benar-benar bersalah. Berapa kg yang sudah Iyan hilangkan dalam tubuhnya?
“Pa,… berikan Iyan kekuatan untuk menjalankannya.” Laki-laki itu menunduk sebelum akhirnya meninggalkan perkara rumah untuk kembali bekerja.
—
Rasya mendudukkan dirinya di bawah pemberhentian taksi, tepat di depan masjid laki-laki menyender.
“Hangatkan dirimu dengan sang cipta… Buatlah kau menjadi yang paling bahagia,…” Mata Rasya mulai terbuka, dia menyipit sebelum akhirnya melambaikan tangannya mengusir bocah itu. Dengan senyuman yang tulus, anak itu melangkah pergi dengan sederet ucapan terima kasih beranggapan jika Rasya telah mendengar nyanyiannya.
“Dek!” Rasya membuka matanya, dia menatap seorang Ibu-Ibu yang membawa barang belanjaan banyak meminta untuk dibantu hingga seberang jalan. Rasya melihatnya sebelum akhirnya bangkit dengan malas, “dimana Bu?” Ibu itu menunjuk sisi ruko dan melepaskan beban itu ke tanah. Rasya menerima hasil upah yang dia dapatkan. “Lagi-lagi dua puluh ribu,” Rasyah mengeluh, tubuhnya berlalu pergi dan duduk di salah satu warung nasi. Memesan makan dengan minumnya.
Hari-harinya hanya begitu, Rasya bekerja hanya untuk makannya seorang diri, tanpa mempedulikan Iyan di sawa sana kepanasan berupaya mendapatkan hasil yang bisa ia kumpulkan.
“Pak,… kenapa hidup Rasya susah gini sih?” “Kamu lupa nasihat bapak?” Bisikan yang bapak ucapkan namun tak sampai ke telingan Rasya. “kehidupan itu roda yang berputar, Ras. Bisa saja kita nanti di bawah dan kemudian di atas.”
—
Iyan terus terbatuk, batuk kering yang terus menarik tenaganya. Dicuaca panas ini tubuh laki-laki itu sudah berkeringat parah bahkan wajahnya pucat kepanasan. “Yan, istirahat dulu nanti dilanjut sama yang lain.” Teriak Syahrul- pemilik sawah tempatnya bekerja.
“Iya Pak ini nanggung sebentar lagi.” Iyan menolak untuk istirahat, laki-laki itu masih terus fokus pada ribuan sawah didepan matanya yang kini mulai panen. Dan Syahrul yang mendapati laki-laki itu tersenyum tipis. “Dia laki-laki yang penuh semangat.”
Namun dibalik itu Iyan mengharapkan dirinya bisa mendapatkan lebih upah untuk bisa membelikan Rasya sepotong ayam bakar. Iyan bahkan tidak mempedulikan dirinya yang sesekali tersedak tak sengaja. Selama Iyan bekerja dia hanya memerlukan beberapa menit untuk bernapas sebagai bentuk istirahatnya. Laki-laki itu menatap hamparan sawah dengan sekantung keresek yang dia bawa.
Bukan ayam bakar, tapi tahu tempe dengan sayur singkong. “Maafin mas Rasya. Hari ini cuman bisa belikan tahu tempe, tapi esok mas akan usahain belikan kamu ayam bakar.”
—
Iyan berlari secepatnya agar bisa mencapai teras rumah, dia sempat melihat Rasya yang duduk di sana, namun saat dia tiba laki-laki itu sudah tidak ada. Iyan tersenyum tipis merasa beryukur sudah bisa tiba di rumah di saat jalanan mulai becek dan berlumuran lumpur.
“Assalammualaikum Rasya Mas pulang.” Iyan menarik handuk di kursi makan, dengan cepat dia membungkus tubuhnya. Laki-laki itu menyiapkan makan malam untuk Rasya.
“Rasya, makan malam sudah Mas siapkan ya. Kamu kalau mau makan tinggal makan.” Dan selepasnya Iyan melangkah pergi ke belakang rumah, laki-laki itu duduk di sana memandang hamparan sawah yang diguyur hujan, bahkan petir sama sekali tidak mengganggu atensinya. “Pak, rasanya Iyan sudah kenyang melihat Rasya pulang dengan cepat.” Birai laki-laki itu terangkat tipis, memandang langit.
“Bapak, semoga hari esok bisa secera pagi tadi ya. Iyan akan lebih semangat bekerja.”
—
Iyan terbangun dimalam yang gelap, masih dengan tubuh meringkih di atas kursi kayu. Hujan tidak sederas sore tadi, namun masih mengalir. Rasanya kemarin sawah masih masa panen, dan malam ini semoga apa yang dia tanam akan subur nantinya. Laki-laki itu menatap meja makan yang sudah tersisihkan, hanya beberapa tahu dan tempe, selebihnya sayur singkong telah habis.
Iyan memandang bilik kamar Rasya yang tertutup rapat, laki-laki itu menghembuskan napasnya. “Kenapa dia menyisihkan ini.”
“Uuhuk….” Iyan terbatuk, tubuh itu dia bawa menjauh dari sana takut Rasya terusik mendenggarnya. Dan setibanya di teras rumah Iyan lagi-lagi terbatuk, tubuh itu banyak mengeluarkan tenaga untuk batuk kering. Iyan menghembuskan napasnya dan menariknya kembali. Iyan harap batuk ini tidak berkepanjangan dan mengganggu aktivitas bekerjanya.
Iyan memejamkan matanya, “huh, besok ulang tahun Rasya. Tepat dia berusia 17 tahun.” Iyan buru-buru bangkit, dia menuju dapur yang kosong. Apa yang bisa dia harapkan di sini. Laki-laki itu melirik ke jam, dimana pukul 03.38 pagi, sebentar lagi akan masuk waktu subuh. Dengan perlahan Iyan menarik tasnya, memasukkan perlengkapan kerjanya dan memanaskan nasih lalu lauk pauk yang Rasya sisahkan.
Laki-laki itu mulai melangkah keluar di kala hujan mulai mereda, melangkah menuju perkotaan untuk mencari sesuatu yang bisa dia kerjakan. Sepanjang kakinya melangkah selepas menyelesaikan sholat malam dilanjut sholat subuh Iyan tiba di pasar yang mulai ramai dengan orang-orang yang kedatangan barang pemasukkan.
Iyan pun mendekat dan menawarkan diri dengan penghasilan seberapapun. Selepas mengerjakan pekerjaan satunya, Iyan pun menyelesaikan pekerjaan yang lainnya. Terhitung sudah berapa jam dirinya bekerja, kini tubuh itu sudah terduduk di halte dengan tatapan yang cerah. Hasil pendapatan Iyan mampu membeli ayam bakar.
Hatinya rasanya jauh lebih bahagia, diapun bergegas memesankan ayam bakar beserta kue kecil-kecilan. Laki-laki itu melangkah dimalam yang gelap dengan cepat ingin pulang. Namun di balik itu matanya menangkap seseorang orang yang tengah mengancau seorang gadis. Iyan menatapnya, dia tidak salah melihat, itu Roa tengah mengusik anak kota dimalam yang gelap.
“Apa yang kau lakukan, Ro?” Iyan jelas terkejut, gadis itu dengan cepat bersembunyi dibalik tubuhnya. Roa tampak emosi, wajahnya benar-benar merah padam. Namun dengan cepat Iyan membawa gadis itu menjauh. “Kau baik-baik saja?” Iyan menoleh setibanya di tempat yang jauh lebih terang. Gadis itu masih menunduk dan kini mulai megangkat wajahnya.
“Dia memukul wajahmu?” Iyan jelas terkejut, laki-laki itu bisa melihat luka lebab bahkan darah di ujung bibir dan mata gadis itu. Gadis itu kembali terisak, bahkan kini Iyan melupakan waktu yang semakin larut.
“Untuk kedepannya kau harus pergi dengan seseorang, Roa akan mengganggumu jika kau pergi sendiri.” Gadis itu menunduk tak nyaman, “maaf mengganggu waktumu. Aku jadi merepotkanmu,” ujar gadis itu mendapati Iyan melangkah dengan kedua tangan yang dipenuhi keresek. Laki-laki itu menggeleng tidak mempermasalahkannya.
“Kau mengenal Roa?” Gadis itu menoleh dirasa dirinya tak lagi terisak. “Dia pamanku.” Gadis itu melihat Iyan tersenyum kecil. “Kau pasti tau sikapnya kasar. Dulu sebelum berkencan dengannya, dia tidak sekejam ini. Semakin aku mengenalnya dengan lama, dia terus bersikap kasar dan aku tidak kuat lagi. Aku ingin putus dengannya tapi dia malah memakiku dan memukulku.” Iyan tak berani berbuat lebih dari ucapannya yang bahkan sangat kaku. Dia hanya bisa mendengan celotehan menyedihkan gadis itu.
“Namamu?” Iyan menoleh. “Iyan.” “Aku Tria.” Iyan tersenyum mendengarnya, “biar kuantarkan kau pulang.” Gadis itu megangguk sangat berterima kasih, tubuhnya bahkan sudah melangkah lebih dulu. Sepanjang jalan Iyan terus menenangkannya sampai di mana suara keras terdengar dari belakakng. Gadis itu tak lagi mendengar suara Iyan, dia diam seribu bahasa.
Dimana saat tubuhnya berbalik betapa terkejutnya dia, Roa dengan mobilnya menghantam tubuh laki-laki malang itu, Tria bisa melihat kue dan nasi ayam berhamburan begitu saja. Iyan jelas terkejut atas hentaman yang menabrak tubhnya hingga membuatnya tak bisa bernapas lancar, laki-laki itu memejamkan matanya, namun dia berusaha untuk membukanya. Iyan menatap makanan yang dia bawa, air mata laki-laki itu terjatuh dengan tetesan darah.
“Rasya, selamat ulang tahun.” Tapi, tolong… Iyan dalam hati bersujut, memohon ampun atas segala kesalahannya untuk diberikan izin membesarkan Rasya. Namun saat tangannya yang dipenuhi kotoran pasir itu mulai kaku tak bertenaga, justru Iyan memejamkan matanya dengan perasaan penuh bersalah.
—
Rasya menutup pintu yang mulai menampilkan air hujan, laki-laki itu menutup dirinya dibalik selimut tebal menutup telingannya dibalik earphone yang menyalakan lagu-lagu jadul. Tubuh itu terbaring terlentang dengan mata yang mulai terpejam. Kenangan itu, semuah kurung waktu yang banyak penyesalannya, dan paling banyak rasa sakitnya. Rasya menghembuskan napasnya dengan air mata yang mengalir dengan deras.
“Mas Iyan, selamat ulang tahun.”
Cerpen Karangan: Sorellinaara Blog: tulistanganalinisha.blogspot.com Hai! Perkenalkan saya Sorel dari platform menulis dunia oranye yaitu sorellinaara