Tatapannya jauh ke depan, sesekali nafasnya beradu dengan dinginnya suasana pagi. Untung saja kali ini Iren masih bisa duduk di Transjakarta. Mengingat kemarin terpaksa Ia harus berdiri sepanjang rute Kalideres-GBK. Desak-desakkan penumpang sepertinya juga karena imbas naiknya BBM beberapa waktu lalu. Setiap hari, Transjakarta dan Ojol adalah transportasi yang mengantarkan Iren menuju ataupun pulang dari tempat dimana Ia mengabdikan diri beberapa tahun belakangan. Seringkali karena kelelahan, Ia tertidur di bus yang jarang sekali sepi itu.
“Selamat pagi, Bu.” Seseorang menyapa “Selamat pagi, Nak.” Sahut Iren sembari merapikan seragam kerjanya yang sedikit berantakan terkena angin. Tas kecil berisikan handphone, dompet, jaket yang biasa dikenakan diletakkan begitu saja di bangku di ruang kerjanya. Segelas air hangat, mengalir memberikan kesejukan, kerongkongannya kering, sepanjang pagi sejak bangun tidur, tak setetes pun air diteguk.
—
Layar handphone berkedip sebuah pesan singkat masuk. “Segera pulang, Geva jatuh dari ayunan, sekarang mau dibawa ke klinik dokter.” Iren membaca pelan.
Tanpa berfikir panjang, Ia bergegas meminta izin ke atasannya untuk pulang lebih cepat. Waktu terasa bergerak lambat, padahal Iren ingin segera sampai ke klinik, tempat anak laki-laki kesayangannya itu dirawat. Geva masih berusia 18 bulan, ketika Iren dan suaminya bekerja Geva diasuh oleh seorang perempuan paruh baya yang juga adalah tetangga Iren. Entah bagaimana ceritanya, siang itu Geva bisa jatuh dari ayunan. Ia belum mendengar ceritanya secara lengkap.
Rasa khawatir Iren berganti sebuah senyum, Geva masih bisa tertawa lebar, bercanda bersama perawat di klinik. Menurut dokter, sejauh ini kondisi Geva masih baik-baik saja. masih beruntung ayunan yang biasa dipakai Geva tidak terlalu tinggi. Geva boleh pulang, tanpa resep obat, hanya sedikit memar di pelipis kening yang cukup dikompres air hangat saja. suaminya yang saat itu berada di rumah karena sedang WFH, panik mendengar Geva menangis yang ternyata jatuh dari ayunan karena berusaha turun sendiri. Begitulah, Geva bayi laki-laki yang sangat aktif dan ingin tahu. ia belum mengerti bahwa sesuatu bisa membahayakan.
—
“Saya akan periksa, kalau hasil USG Ibu ternyata baik, Ibu tidak perlu dirawat.” Dokter berkata sembari mulai mengoleskan cairan pelumas ke perut Iren untuk dilakukan pemeriksaan.
Iren tengah mengandung anak keduanya. Anak pertama terpaksa di kuretase karena ketika berusia 12 minggu ternyata janinnya tidak berkembang. Tanpa tanda-tanda yang berarti, suatu sore Iren bersama suaminya bermaksud periksa kehamilan ke bidan dekat rumahnya. namun, betapa menegangkan saat itu. Bidan pertama, mengatakan tidak ada detak jantung pada janinnya. Masih berpikir positif bidan itu merujuknya ke salah satu RS. Namun sayang, dokter kandungan juga mengatakan bahwa janinnya tidak berkembang dan harus segera dilakukan tindakan.
6 November 2019… Iren merasa tubuhnya seperti sedang diayun-ayunkan. Ia mencoba membuka mata perlahan. Rupanya operasi kuretase sudah selesai. Ia tak melihat siapapun di ruangan yang dingin itu.
“Ibu sudah sadar, apakah Ibu merasa pusing.” Perawat jaga di ruang observasi menyapa lembut “Saya baik-baik saja, hanya sedikit lemas, Oh ya suami saya dimana ya Sus?” “Sebentar lagi kesini Bu, tadi sudah saya kabari bahwa Ibu sudah ada di ruang observasi.” Perawat itu menjawab sembari membenarkan posisi infus di tangan Iren.
Benar saja tak selang berapa lama, sesosok pria memasuki ruangan itu. Suaminya datang. “Sayang, apa yang kamu rasakan?” Suaminya membelai rambut Iren. “Maafkan aku ya. Aku salah. Aku, hanya sedih saja, aku hanya khawatir bagaimana jika setelah ini aku tidak lagi bisa mengandung?” Iren menangis pelan. “Sudah, sudah jangan menangis, ini yang terbaik untuk kita. ini bukan salah kamu, sekarang yang terpenting adalah kamu harus segera pulih.”
“Oh ya, kata dokter kalau tidak ada keluhan, kita bisa langsung pulang ke rumah, Aku akan segera membereskan urusan administrasi, bagaimana? Apakah ada keluhan Sayang?” Suaminya berkata panjang lebar. “Tidak ada, kita pulang saja, aku merasa lebih baik jika di rumah”. “Baiklah, sekitar dua jam lagi,kalau tidak ada apa-apa sepertinya kita bisa pulang”.
Sejak hari itu, Iren berusaha membuang kesedihannya. ia tak mau berlama-lama di rumah. Ia hanya ambil cuti tiga hari untuk istirahat. Baginya dengan keluar dari rumah, itu akan membuat suasana hatinya jauh lebih baik. Kehidupan berjalan seperti biasanya, Ia dan suaminya kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Rupanya, kesedihan memang mau dekat dengan Iren. Baru saja Ia pulih dari rasa kehilangan. Beberapa bulan setelahnya. Jumat pagi yang awalnya baik-baik saja. Iren dan suaminya sedang WFH. Bapak dari kampung memberi kabar bahwa, mamanya sedang kritis. Sudah sejak 2014. Persis ketika Iren sedang menyusun tugas akhir. Dokter memvonis bahwa mamanya mengidap kanker stadium 3b. Berbagai pengobatan sudah dilalui. Namun, rupanya sela jahat itu sudah menggerogoti tubuh mamanya. Iren bingung, sedih, tak percaya. Ia masih berharap, mamnya bisa berjuang sekali lagi, melewati masa kritis. Seperti sebelumnya. Persis ketika Iren dan suaminya tiba di ruang tunggu bandara. Sebuah telepon masuk, setelah beberapa panggilan yang terabaikan.
“kak, mama sudah sembuh, kakak pulang ya, hati-hati di jalan” Suara adik perempuan paling kecil, terdengar begitu tegar. Berbeda dengan Iren yang seperti kehilangan kesadaran. Ia menangis histeris bahkan sampai pesawat yang mereka tumpangi lepas landas. Beberapa kali pramugari mencoba menenangkan dan memberikan penguatan.
Iren bertemu dengan mama dengan suasana yang berbeda. Tak ada sapaan, tak ada senyum. Tubuh kaku itu dingin, diam. Tangisan memecah hening yang pilu itu. Ia bahkan tak bisa ingat dengan jelas siapa saja yang memeluk dan berusaha menguatkannya saat itu. Iren kehilangan untuk kali kedua. Anak dan mamanya. Tanpa jeda waktu yang lama. Hatinya patah, air matanya seolah kering. Dunia gelap.
—
“Ibu harus dirawat, kalau terjadi pendarahan terus, ibu bisa keguguran.” Dokter menjelaskan setelah proses USG selesai.
Tepat setelah satu bulan kepergian mamanya. Rupanya Iren hamil. Namun, kondisi kandungannya lemah. Bedrest, hingga usia kehamilan tujuh bulan, Iren baru bisa beraktivitas seperti biasa. Selam istrihat total, Ia sama sekali tak boleh berpikiran atau beraktivitas yang bisa saja membuatnya kelelahan. Iren takut kehilangan. Sebisa mungkin Ia menjaga kandungannya agar tetap sehat.
Syukurlah, penghujung tahun 2020. Seorang anak laki-laki menangis kencang di ruang operasi. Gevariel, nama yang diberikan Iren dan suaminya. People come and go. Untuk sesautu yang hilang, Tuhan berikan ganti tepat pada waktunya.
Cerpen Karangan: Riska Irene Simatupang, Guru SMP Tarakanita 1 jakarta Blog / Facebook: Riska Irene Simatupang