Jumat adalah hari yang terasa sangat damai. Keluarga kecil yang tidak lengkap ini, duduk bersama di depan sebuah layar sembari mengikuti ibadah daring yang ditayangkan lewat youtube. Akhirnya ibadah itu telah selesai, mereka kemudian bersiap untuk jalan-jalan bersama menikmati hari libur keagamaan itu. Seraya mencari udara segar, mereka juga menyambung tali silahturahmi bersama sanak saudara. Seharian menghabiskan waktu bersama lumayan membuat pria paruh baya di keluarga itu kelelahan, mengingat ia sudah berumur.
Keluarga kecil itu memutuskan menginap di rumah saudaranya apalagi besok masih akhir pekan. Tidak lupa mereka mengabadikan setiap momen lewat jepretan gambar di handphone. Canda tawa mendominasi hari itu. Senyum yang terukir indah menambah kesan kebahagiaan bagi keluarga kecil ini. Momen yang sangat indah bukan? Namun siapa sangka, momen itu adalah momen indah bersama yang terakhir. People come and people go, tidak selamanya kita akan bisa bersama. Semua akan pergi pada akhirnya. Nyatanya hari itu adalah awal dari segala duka yang menyelimuti keluarga kecil, yang semakin tidak lengkap. Seolah sebuah pertanda bahwa akan ada yang pergi. Semesta sepertinya sengaja membiarkan momen bersama ini terjadi, sebelum salah seorang dari mereka pergi. Siapa yang akan pergi?
Tidak ada yang salah disini. Takdirlah yang bertindak sekarang. Setelah hari itu, diabetes yang diderita pria paruh baya itu kambuh lagi. Kekhawatiran mulai tampak di wajah mereka. Keluarga kecil ini hanya beranggotakan 4 orang saja, ada lagi seorang anak laki-laki dari pria paruh baya itu, hanya saja ia tidak memilih tinggal bersama, jadi akan tetap dihitung 4 orang bukan 5 orang. Kakek, nenek, anak perempuan, dan cucu, kira-kira seperti itulah mereka. Sudah dikatakan, keluarga ini tidak selengkap dan sesempurna keluarga lain.
Hari demi hari berlalu, banyak cara sudah dilakukan untuk menyembuhkan sang kakek. Namun, bukannya membaik keadaan kakek malah memburuk. Yang lebih membingungkan lagi, kala itu kasus covid sedang parah dan maraknya varian virus baru. Besar resiko yang terjadi. Penyakit kakek memang sudah pasti kabuh minimal setahun sekali. Karena penyakitnya selalu sama tiap tahun, obat yang diberikan pun juga sama sesuai saran dokter. Sampai tiba saatnya dimana keadaan kakek sangat memprihatinkan. Entah mengapa tahun ini berbeda. Biasanya tidak sampai dirawat di rumah sakit. Tidak perlu ditanya lagi, semua sudah ketakutan dan khawatir.
Kegelisahan tiada henti mengganggu sanubari mereka. Hampir semua sanak saudara telah datang menjenguk, ada juga yang ber-video call karena tidak berada di kota Jakarta. Sang kakek seolah memberi pertanda bahwa ia akan pergi. Ia membiarkan istri, anak-anak, dan cucu-cucunya tuk merawatnya. Semua mendapat gilirannya.
Sore berganti malam, perasaan gelisah telah menghantui salah seorang anak dan cucunya. Hati mereka seperti menandakan kepergian sang kakek. Batin mereka pun merasakan hal yang sama. Dan benar saja, tepak pukul 4 dini hari, sang kakek telah pergi meninggalkan dunia dengan damai. Siapa yang menyangka, hari itu kakek akan sembuh total dari penyakit yang dideritanya selama ini. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di usia 80 tahun.
Rasanya keluarga ini tidak memiliki semangat hidup. Runtuhlah semua pertahanan mereka. Tidak perlu munafik untuk mengakuinya, belum rela, kata itu yang dapat menggambarkan keadaan mereka saat itu. Sang kakek adalah teladan bagi mereka, kepala keluarga yang bertanggung jawab. Prestasi hidupnya pun sungguh luar biasa. Sudah pasti, semua menginginkan yang terbaik di hari-hari terakhirnya. Pemakaman akan dilakukan esok hari.
TIba saatnya mereka melepaskan sang kakek tuk dikebumikan. Sebelum rangkaian ibadah dan pemakaman dilaksanakan, satu dari anaknya yang lelaki yang dibanggakan sang kakek memperingati hari kelahirannya. Mereka merayakan bersama di depan jenazah sang kakek tuk terakhir kalinya. Tidak terbayang seberapa menyakitkannya.
Waktu terus berjalan, ibadah dimulai. Sampailah pada rangkaian yang paling dramatis saat itu, penutupan peti. Gemuruh suara isak tangis mulai bermunculan. Mencoba kuat namun gagal. Semua air mata tumpah. Tangisan getir bahkan teriakan bersaut-sautan. Butuh beberapa waktu untuk menenangkan keadaan.
Keadaan berangsur-angsur membaik, emosional mulai dapat dikendalikan. Sedih, kecewa, marah, terpukul, rasa itu yang mendominasi sekarang. Namun, ada kebanggan yang juga muncul di hari itu. kebanggaan tiada tara yang tak bisa dilupakan. Pemakaman dengan upacara penghormatan. Jenazah telah dikebumikan. Seluruh rangkaian telah selesai.
Pulang dengan sejuta kesedihan.
Hari demi hari berlalu, bagaimanapun hidup harus tetap berjalan. Semakin hari semakin besar rindu terasa. Yang paling menyakitkan adalah kerinduan yang tidak dapat diobati. Ingin rasanya mereka memeluk juga bercengkrama bersama, namun mustahil terjadi. Banyak angan yang tercipta, baerharap menjadi kenyataan. Banyak juga pelajaran baru.
Keluarga kecil ini belajar, bahawa menghargai waktu bersama adalah hal sepele namun sangat berarti. Keluarga ini selalu mengabadikan setiap momen bersama. Waktu bersama pun semakin banyak. Mungkin keluarga kecil ini tidak sesempurna dan selengkap keluarga lain, namun rasa bersyukur yang mereka miliki mampu mengalahkan segala rasa kekurangan dan kesepian yang hadir. Memang tidak mudah mengikhlaskan dan merelakan kepergian seseorang, tapi dengan berpegang tangan dan saling menguatkan satu sama lain, mereka mampu melakukannya, walaupun rasa rindu selalu menghantui mereka. Butuh waktu yang lama untuk mewujudkannya.
Mereka sudah melangkah jauh, melupakan kejadian lalu, dan fokus dengan yang dihadapi sekarang. Kenangan yang dimiliki masih tersimpan rapi di dalam hati dan sanubari mereka. Ketika rindu, foto-foto dan video-video akan mereka putar untuk setidaknya sedikit mengurangi rindu yang ada. Mau tidak mau, suka tidak suka, itulah takdir. Tidak ada yang dapat menebak. Takdir adalah sebuah teka-teki tak terpecahkan yang tidak dapat dibantah, dihalangi, apalagi dihempaskan. Takdir itu tak terduga atau bahkan tak masuk di akal. Manusia memiliki takdir hidupnya masing-masing. Termasuk takdir umur kita.
Cerpen Karangan: Jenicia Renata, SMP Tarakanita 1 Jakarta @jeniciaaaaa (IG)