“Hidup itu harus dijalanin Dar. Semua hal yang terjadi dihidup kita pasti ada alasannya. Jadi gapapa Dar, ga harus sekarang” Ucap Rama melalui telfon.
—
Menyiapkan diri untuk mandi, setelah malam panjang yang ia lewati tanpa istirahat. Ini sudah menjadi rutinitasnya. Ia selalu terjaga untuk memikirkan banyak hal, entah. Saking banyaknya, Ia juga dibuat bingung dengan pikirannya sendiri.
“DARAAA!!” “Cepat bangunn sudah jam segini lohh!” Teriak ibu Dara dari lantai bawah. “Iyaa bu, sebentarr” Jawab Dara.
Namanya Dara. Seorang anak perempuan yang duduk di kelas 11. Seorang anak tunggal, yang tinggal bersama ibunya. Ibu Dara adalah seorang single parent. Orangtua Dara terpisah dari Dara masih bayi. Sebetulnya Dara tidak begitu mengenal sosok ayahnya. Bahkan ayahnya tidak pernah mencoba untuk mengenal Dara. Setelah kedua orangtuanya pisah, mereka berlagak seperti tidak saling mengenal, seolah memang tidak pernah terjadi apapun diantara mereka. Tapi hal ini tidak menggangu Dara. Dara tidak pernah merasa keberatan mengenai “sosok ayah”. Dara merasa cukup. Walau terkadang Dara khawatir dengan ibunya yang selalu pulang larut malam, untuk mencukupi kebutuhan mereka. Satu satunya kemauan Dara adalah untuk membahagiakan, Dan membuat ibunya bangga.
—
Pagi ini cerah sekali, hangat, bagai tersenyum kepada Dara. Ia berjalan menuju sekolah. Menyeberangi lalu lintas, melalui hiruk pikuk berangkat kerja. Saat pelajaran dimulai, pikiran Dara seolah diambil alih dengan perkataan ibu Dara tadi malam. Ibu Dara berkata sebentar lagi Dara akan beranjak ke kelas 12, Dara harus sudah mulai memikirkan masa depannya. Ibu Dara juga menekankan bahwa Dara harus bisa mengurus serta menentukan semuanya sendiri. Sedangkan Dara merasa belum siap untuk itu.
“Kringggggg..” Bel tanda istirahat berbunyi. Dara yang baru saja selesai mencatat materi pelajaran. Langsung menutup bukunya. Ia segera mengambil walkman, dan buku miliknya. Lalu bergegas ke toilet. Itu sudah menjadi kebisaan Dara. Membaca sembari mendengar lagu di toilet adalah salah satu cara untuk menghabiskan jam istirahatnya. Sebetulnya alasan Dara melakukan ini adalah sebagai pelarian. Pelarian dari pikirannya sendiri. Dara bukan anak yang pintar. Jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, masih banyak yang lebih pintar dari pada Dara. Tapi dia juga tidak bodoh. Dara tahu jelas tentang hal ini. Ia sangat takut mengecewakan ibunya.
Jam pelajaran berikutnya. Ulangan minggu lalu diumumkan. “Untuk anak-anak kelas 11, dipersilahkan melihat mading koridor, terima kasih.” Bunyi speaker kelas menggema memenuhi ruang kelas. Setelah mendengar pengumuman teman teman Dara langsung berbondong-bondong menuju koridor kelas. Dara mencoba mendekati mading, mencari celah di antara kerumunan anak-anak lain. Tiba saat Dara berada di depan mading kelasnya. Dara malu. Dara melihat bahwa nilainya bahkan tidak mencapai nilai minimal.
Sore hari sepulang sekolah. Angin meniup rambut Dara. Dara berada di depan rumahnya. Ia tidak memiliki keberanian untuk masuk ke dalam rumahnya, dan menemui ibunya. Mengetahui bahwa kabar yang akan dia bawa, bukan sesuatu yang diharapkan.
Tiba saat makan malam. Dara membantu ibunya menyiapkan makanan di atas meja. Malam ini ibu Dara tidak masak. Jadi mereka memesan makanan secara online. Selama Dara membantu ibunya. Dara terus memikirkan nilainya. Bagaimana jika ibunya menanyakan perihal nilainya? Dara takut membuat ibunya kecewa. Mereka mulai makan. Untung saja, Dara hanya mendengarkan ibunya yang bercerita perihal kerjanya.
Di kamar Dara duduk di meja belajarnya, terus memandangi lampu belajarnya. Dingin malam menjadi teman setia yang menemaninya. Ya, Dara kembali terjaga malam ini. Dara yang berniat ingin fokus belajar untuk ulangan minggu depan, terganggu dengan pikirannya sendiri. Isi kepala Dara terus saja memutar pertanyaan-pertanyaan tanpa henti. Dara merasa dimana letak kesalahannya? Mengapa Dara masih kurang? Setelah banyak hal yang telah ia korbankan, hasilnya tetap sama. Secara tak sadar air mata Dara-pun mengalir dengan sendirinya. Dara takut, Dara takut akan mengecewakan orang orang di sekelilingnya, terutama ibunya.
—
Suara riuh ruang kelas adalah hal yang paling dibenci Dara. Membuat Dara muak dengan rutinitasnya. Dara meletakkan kepalanya di atas meja, menutup telinga, dan memejamkan matanya. Ia gelisah, mengingat akan ada nilai ulangan yang akan diumumkan.
“Dar, lo kenapa?” Tanya seseorang dari belakang Dara. Mendengar suara itu sontak membuat Dara terbangun. Ternyata suara itu berasal dari temannya, Rama. “Gapapa Ram, biasaa jam jam laper nihh.” Canda Dara. “Serius Dar.” Jawab Rama singkat. Dengan muka serius. “Apasihh kaku bangett lo, santaii aja Ram.” Jawab Dara. “Lo kalo kenapa napa cerita loh Dar, jangan mendem sendiri. Kan ada gue gimana sih.” “Iya, iyaa bawel banget sih lo.”
Sampai saatnya tiba. Hasil ulangan diumumkan. Hasilnya masih mengecewakan. Dara lelah, Dara merasa kepalanya tidak bisa menampung pikiran pikiran gilanya lagi. Dara ingat jerih payahnya dalam mengerjakan ulangan itu. Dara merasa tidak berguna. Dara belajar hingga tak kenal waktu. Berharap menghasilkan yang terbaik. Hasilnya, nihil. Upaya yang Dara keluarkan bahkan tidak cukup untuk bisa mengantarnya ke nilai minimal. Dara kecewa, ia merasa kenapa ia tak pernah cukup? Kenapa ia harus gagal lagi?
Sesampainya di rumah, Dara langsung berlari masuk ke dalam kamar. Hari itu ibu pulang lebih awal, melihat Dara langsung pergi begitu saja membuat ibu khawatir. Ibu pun memutuskan untuk naik dan menuju kamar Dara. Ketika mendekati pintu kamar Dara, terdengar suara tangisan. Ibu yang mendengar tangisan anaknya pun hendak membuka pintu.
“Kamu kenapa Dara?” Tanya ibu khawatir. Dara yang melihat ibunya masuk kamar pun panik. “Engga gapapa bu, tadi abis baca buku sedih.” “Jangan bohong Dara cerita sama ibu.” Dara yang mendengar ibunya pun terus menangis. “Engga bu, Dara gapapa.”
“Dara, ayok lah nak, ada apa?” “Cerita Dong sama ibu. Kamu udah jarang loh cerita cerita, ayok nak. Ada apa?” Dara yang mendengarkan ibunya berkata seperti itu, membuat ia semakin tertekan. “BU TOLONG. DARA LAGI MAU SENDIRI BU.” “Tolong bu, maafin Dara.” Ibu Dara yang mendengar itu sontak kaget dengan respon anaknya. Tapi ia mencoba tetap mengerti mungkin memang anaknya butuh waktu untuk berpikir. Pasti akan ada waktunya untuk Dara bercerita.
Dara tenggelam dari kesedihannya. Ia merasa semua hal yang ia lakukan sia-sia. Terlebih lagi dia baru saja membentak ibunya. Di tengah isakan tangisnya terdengar suara “trett trett” dari handphonenya. “Slide to answer” muncul di handphonenya. Rama. Itu dari Rama. Dara merasa ini bukan waktu yang tepat untuk mengangkat telfon itu. Tapi ketika telfon itu behenti, Rama kembali menelfon. Akhirnya Dara memutuskan untuk mengangkat telfon itu, dan berniat untuk memberi tahu Rama bahwa ia akan menelfonnya lain kali.
Dara mengangkat telfon itu. “Ram, nanti gue telfon balik ya.” Kata Dara dengan suara bergetar. “Dar? Lo nangis ya?” Tanya Rama. “Engga Ram, udah ya.” Jawab Dara. “Dar bentar, lo ga perlu ngomong apapun sama gue. Gapapa. Gue cuma mau lo denger. Gue tahu lo lagi mikirin nilai lo. Gue ngerti lo keras banget kalo soal nilai. Tapi gapapa loh Dar, istirahat. Gapapa loh, gagal sekali, dua kali. Bahkan berkali kali pun, wajar Dar, gapapa-”
“Gue baru aja bentak ibu Ram, udah bodoh, kasar lagi. Ga guna banget gue Ram.” Potong Dara. “Dar, engga Dar. Ibu pasti ngerti lo kenapa. Tanpa lo cerita pun ibu pasti ngerti.” “Tapi gue ga sopan Ram, gue emosi. Gue bentak ibu.” “Dar, lo tau kan apa yang harus lo lakuin? Minta maaf Dara. Setelah itu cerita. Ibu pasti ngerti.” “Gue takut, ibu ga mau maafin gue.” Jawab Dara. “Dara, coba dulu ya. Lo ga tau kan apa yang terjadi kalo lo belom nyoba. Walaupun gue yakin ibu pasti maafin lo”
Sesudah percakapannya dengan Rama, Dara segera ke bawah dan menemui ibu.
“Ibu maafin Dara bu. Maaf karna tadi Dara kasar sama ibu. Maaf bu Dara gagal bu. Akhir akhir ini nilai Dara ancur bu.
“Dara, gapapa nak” Jawab ibu dengan memeluk Dara. “Gapapa nak, Dara inget ya, kamu mau mencoba, mau berusaha, itu udah bikin ibu bangga sama Dara.” Sambung ibu Dara.
Malam itu Dara sadar. Ia terlalu keras pada dirinya sendiri. Saking Dara terlalu fokus pada kegagalannya, ia lupa dengan orang orang yang selalu ada untuknya. Dengan ini kita bisa belajar, untuk lebih lebih menghargai diri kita, dan memperhatikan sekeliling. Kita tidak pernah sendiri, selalu ada orang orang yang peduli dan sayang kepada kita.
Cerpen Karangan: Kalila Shifa, SMP Tarakanita 1 instagram: kalilarayaaa Kalila Shifa, murid kelas 9 dari SMP Tarakanita 1 Jakarta.