Tini bertengkar lagi dengan emaknya. Kali ini bukan hanya kata-kata kasar dan sumpah serapah saja yang meluncur dari mulut tua emaknya, tapi gagang sapu yang dipegang emaknya melayang juga kearah Tini. Untungnya ujung tangkai sapu tidak menombak jidat Tini yang sempit. Pasti cairan merah pekat akan merembes keluar dari daging jidatnya. Tini masih sempat mengelak, sambil menangkis gagang sapu yang meluncur ke arahnya dengan tangannya yang tampak agak kurus. Karena tubuhnya yang kurus, sehingga dia lebih ringan mengelak serangan emaknya, membuat gagang sapu menyasar ke rak piring, menghantam gelas jatuh ke lantai, sehingga pecahan beling berhamburan ke bawah meja makan yang ada di dapur.
Sejak pernikahannya dengan Mamat si tukang antar air isi ulang di kotanya, pertengkaran demi pertengkaran sering kali terjadi antara Tini dan emaknya. Namun karena menyadari posisinya sebagai seorang anak, Tini lebih banyak diam daripada menyahut. Walaupun sesekali dia menyahut, itu pun karena rasa kesal di hatinya sudah mencapai ke titik puncak kesabaran yang paling tinggi.
Dia menyadari sepenuhnya bahwa seorang anak tidaklah pantas melukai hati emaknya. Dia sadar betapa beratnya pengorbanan seorang emak saat sembilan bulan menyimpan janin dalam perut hingga mengeluarkannya di atas meja operasi. Dia yakin walaupun seorang anak menggendong emaknya keliling dunia, tidak akan bisa menebus pengorbanan seorang emak. Dia faham tentang adanya ungkapan dari mulut orang suci, bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu. Pemahaman-pemahaman seperti itu dia dapat dari guru agama ketika dia masih menyandang status sebagai seorang pelajar. Hingga kini pun masih sering dia dengar keluar dari mulut seorang ustadz mau pun ustadzah ketika dia mengikuti pengajian ibu-ibu di tempat tinggalnya.
“Dasar kamu anak tak mau diuntung…! Sekarang coba kamu lihat dengan mata dan hatimu yang paling dalam…! Apa yang kamu dapat dari si Mamat goblok itu…! Hanya mendapati tubuhmu yang sengsara..! Sudah sepuluh tahun kamu menikah, rumah aja masih numpang sama orangtua. ..! Lihat tuh kakak kamu, dia bisa hidup senang karena milih jodoh sesuai pilihan orangtua!” ocehan emaknya meluncur deras, membuat tetangga sebelah yang lewat samping rumahnya menghentikan langkah sejenak. “Coba dulu jika kamu nikah dengan si Budi yang kerja di bank BUMN pasti kamu tidak jadi perempuan susah seperti sekarang…!” seru emaknya.
Mendengar itu Tini hanya berusaha untuk menahan bulir-bulir gerimis yang merembes keluar dari sudut matanya. Dia berlari ke kamarnya. Menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang sudah digunakannya sejak dia masih lajang, yang diperoleh dari pemberian bapaknya. Jasad bapaknya sudah lama ditelan bumi, jauh sebelum dia mengenal laki-laki yang sekarang menjadi suaminya. Dia juga tidak tahu apakah ayahnya setuju atau tidak dengan pernikahannya.
Air matanya semakin mengalir hingga membuat bantal bewarna merah muda yang menopang kepalanya menjadi lembab. Dia mencoba memejamkan matanya, mengharapkan bisa tertidur dan menemui mimpi-mimpi yang bisa mengobati kekesalan dan kesedihan yang menghantam relung hatinya yang paling dalam. Tapi itu sulit dilakukannya terhalang oleh pikiran-pikiran yang datang silih berganti ke dalam rongga kepalanya.
Dari arah depan pintu rumahnya terdengar oleh Tini suara buah hatinya mengucapkan salam, sebagai tanda dia sudah pulang dari menuntut ilmu di sekolah dasar kelas empat. Buah hatinya inilah yang mengalirkan kekuatan kepadanya untuk menahan semua kesedihan dan kekesalan yang mendera nasib kehidupannya.
Tini bangkit dari tempat tidur dan menemui buah hatinya di depan pintu. Dia mengusap air matanya yang masih menempel di pipinya. Dia tidak ingin buah hatinya tahu apa yang dia alami. Dia tidak ingin buah hatinya tahu bahwa ibunya sering bertengkar dengan neneknya. Dia tidak ingin membuat hati anaknya bersedih, sehingga menjadikan buah hatinya laki-laki yang lemah karena sering melihat kesedihan di masa kanak-kanaknya. Karena hanya buah hatinya itulah yang dia harapkan kelak bisa membahagiakan dirinya.
“Kamu udah pulang sekolah, sayang…!” tanya Tini, sambil mengusap kepala buah hatinya. “Sudah…, Umi,” jawab buah hatinya yang bernama Bobby, dengan penuh rasa hormat. “Nenek dan Umi pasti masak makan kesukaan Bobby hari ini, tempe goreng dan sayur asem…!” kata Bobby sambil bergurau manja. “Tentu dong…, Sayang, ayok Bobby makannya ngambil sendiri aja ya… Tuh di meja sudah ada. Umi makan nanti aja, sekarang belum lapar…”
Emaknya tidak pernah mengomelin Tini di hadapan Bobby. Tini sangat bersyukur emaknya memahami perasaannya terhadap buah hatinya itu. Itu juga yang membuat Tini tetap sayang kepada emaknya, sehingga semua ocehan dan sumpah serapah yang mengalir dari mulut emaknya hanya dia balas dengan linangan air mata. Karena Tini yakin sesungguhnya emaknya juga sangat sayang kepadanya. Tini yakin semua yang dilakukan emaknya semata-mata karena dia ingin melihat putrinya hidup bahagia, jika dia pergi lebih duluan menghadap Sang Pencipta. Tini yakin betul dengan pepatah: “Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah”. Makanya Tini berjanji dalam lubuk hatinya, apa pun yang dikatakan emaknya kepadanya, dia tidak akan dendam. Baginya, jika emaknya sayang dengan Bobby buah hatinya dan memperlakukan cucunya itu dengan baik, itu udah cukup.
Harus diakui juga oleh Tini, biaya hidup dia dan Bobby juga masih dibantu oleh emaknya dari uang pensiun ayahnya. Jika hanya mengharap gaji suaminya yang hanya bekerja sebagai pengantar air isi ulang tidaklah cukup.
—
Semua kejadian saat pertama kali dia mengenal Budi (lelaki pilihan emaknya) hingga dia menikah dengan Mamat si tukang air galon yang dibenci emaknya, terungkap kembali dalam ingatannya.
Dia sudah mengenal Budi sejak mereka masih duduk di bangku SMA. Saat itu Budi adalah kakak kelasnya yang juga menjabat sebagai ketua OSIS. Dalam hal pelajaran, Budi biasa-biasa saja, tapi dia sangat aktif di kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Mulai dari kegiatan olah raga, pencinta alam, kesenian diikutinya semua. Dari aktif di kegiatan ekstrakurikuler itulah membuat Budi banyak dikenal oleh siswa-siswi yang ada di sekolahnya. Hal itu jugalah yang mengantarkannya menjadi ketua OSIS. Kala itu Tini mengenal Budi hanyalah sebagai seorang kakak kelas dan ketua OSIS saja, tidak lebih dari itu.
Hingga suatu waktu, ketika lebaran Idhul Fitri tiba, atasan ayah Tini di kantor mengunjungi rumahnya untuk bersilaturahmi sebagai sesama muslim. Selain itu ayah Tini merupakan orang kepercayaan atasannya di kantor. jadi tidak berlebihan lah jika dia dikunjungi atasannya di kantor.
Atasan ayah Tini bernama Sunarya dan ayah Tini sendiri bernama Baharudin. Pak Sunarya datang bersama putranya. Tini melihat sepintas ada tamu yang datang ke rumahnya dari celah pintu dapur. Melihat itu, tanpa disuruh emaknya, Tini bergegas menyiapkan makanan ringan dan minuman untuk disuguhkan kepada tamu ayahnya.
Saat tangannya meletakkan makanan dan minuman di atas meja tamu, pandangan Tini tertuju kepada putra Pak Sunarya. Tini jadi terkesima karena dia tidak menyangka orang yang terkenal di sekolahnya ternyata anak atasan ayahnya. Tini dan Budi saling sapa dan berjabat tangan serta wajah mereka saling bertukar senyuman penuh persahabatan.
“Oh… jadi kalian berdua udah kenal…?” tanya Pak Sunarya. “Ya udah kok, Pa. Dia kan teman aku di sekolah,” jawab Budi sambil tersenyum kepada ayahnya. “Ooo…,” sela Pak Sunarya dan Pak Baharudin hampir berbarengan Tini hanya tersenyum dikulum, sambil menutup bibirnya dengan tangannya. Dia kembali ke dapur untuk meletakkan baki minuman. Kemudian dia balik lagi bersama emaknya ke ruang tamu untuk menemui tamunya.
“Jadi begini, Pak Burhanudin,” pak Sunarya membuka cerita, “Kami ingin mempererat silaturahmi dengan Pak Burhanudin. Kami ingin putra kami ini nantinya kalau udah menyelesaikan studi dan bekerja, bisa menjadi pendamping untuk putri Pak Baharudin..”
Mendengar itu Tini hampir terperanjat. Dia seperti mendengar halilintar di siang bolong. Dia sama sekali tidak menyangka sama sekali kedatangan tamunya punya maksud seperti itu. Dengan agak malu-malu dia meninggalkan ruang tamu dan masuk ke kamarnya.
“Kalau saya terserah Tini aja, Pak Sunarya. Sebab dia sendiri yang akan menjalaninya di kemudian hari,” balas Pak Baharudin dengan ramah tehadap atasannya. “Kalau Budi sendiri gimana?” tanya Pak Baharudin kepada anak atasannya. “Kalau saya oke aja, Om,” jawab Budi, lalu lanjutnya, “kebetulan juga saya memang sudah banyak tahu tentang Tini di sekolah. Bagi saya dia gadis yang baik, tidak pernah berlaku yang tidak pantas dengan teman-teman di sekolah.”
Sementara emak Tini meninggalkan percakapan dan menemui Tini di kamarnya. Di dalam kamar dia berbicara dengan putrinya. “Kamu mau ya, Nak, jangan gak mau. Ini untuk masa depanmu. Bodoh kalau kamu gak mau!” nasehat ibunya. “Nanti saja, Ma, saya mikir-mikir dulu. Saya tahu Budi orang baik dan memiliki masa depan yang cerah. Lagian saya juga belum menyelesaikan sekolah.” “Tapi paling tidak kamu terima dulu kek permintaan Pak Sunarya,” balas ibunya. Lalu lanjutnya, “Awas kalau kamu gak mau, Mak yakin kamu akan menyesal nantinya!”
Mendengar itu Tini hanya diam. Dia tak ingin lagi membalas kata-kata emaknya. Dia tak ingin terjadi pertengkaran dengan emaknya. Sebenarnya dia bukan tak suka sama Budi. Dia tahu Budi orang baik dan suka beraktivitas dengan hal yang positif, tapi yang dia tidak suka adalah perjodohan. Dia tidak suka dijodoh-jodohkan. Kalau dia menerima Budi sekarang akan menimbulkan kesan bahwa perkawinan mereka kelak karena dijodohkan orangtua. Itu berarti sudah merobohkan prinsip yang dia tanam di hatinya.
Cerpen Karangan: Al Arudi Blog / Facebook: Al Arudi Penulis berdomisili di Pangkalpinang, Bangka Belitung