Setamat SMA Budi melanjutkan kuliahnya ke Jakarta. Sementara Tini tidak berminat lagi untuk melanjutkan kuliah. Dia lebih suka mengambil beberapa kursus keterampilan saja, dengan harapan dia bisa menerapkan keterampilannya itu kelak di kemudian hari. Hubungan Tini dengan Budi terus berjalan tak lebih dari sebagai teman biasa. Terkadang mereka bertemu ketika Budi libur kuliah dan sedang pulang ke rumah orangtuanya. Terkadang mereka berkomunikasi lewat HP. Yang mereka bicarakan hanya menanyakan kabar dan hal-hal ringan tentang kenangan mereka saat SMA. Budi sendiri tidak pernah memaksa Tini mau jadian dengannya. Dia menghargai kebebasan Tini menentukan pilihan sendiri. Dia tidak mau gara-gara dia memaksa Tini, persahabatan mereka berantakan. Biarlah dia dan Tini menjadi sahabat saja. Hingga sampai suatu saat ayah Budi menceritakan bahwa Budi sudah menikah dengan gadis yang dia kenal di bangku kuliah, kepada ayah Tini saat mereka sedang istirahat jam kantor.
Beberapa bulan setelah pensiun dari pekerjaannya, ayah Tini meninggal dunia, karena serangan jantung yang memang sudah dua tahun dideritanya. Hal ini menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi Tini dan keluarganya. Terutama sekali emaknya. Beberapa hari sepeninggal suaminya dia banyak bersedih dan melamun serta mengurung diri di kamar, bagaikan kehilangan semangat hidup. Saat itu semua tugas rumah tangga dikerjakan oleh Tini.
—
Perkenalan Tini dan Mamat diawali ketika Tini berlangganan air isi ulang di kios tempat Mamat bekerja. Mereka sering bertemu saat Mamat mengantar air ke rumah Tini. Bahkan Mamat langsung meletakkan botol air isi ulang itu ke atas dispenser yang ada di pojok dapur rumah Tini. Dengan seringnya mereka bertemu ada getaran-getaran rasa suka kepada Mamat yang tumbuh di hati Tini. Di mata Tini Mamat laki-laki yang ramah, humoris dan suka menolong. Sebab terkadang Tini suka minta bantuan Mamat mengerjakan pekerjaan lain seusai Mamat meletakkan galon air di atas dispenser. Mamat dengan senang hati membantu Tini dengan menunjukkan sikap ikhlas dan ramah.
Semakin hari perasaan senang yang tumbuh di hati Tini kepada Mamat berubah menjadi cinta. Dalam lubuk hati Tini dia tidak keberatan jika menjalin hubungan yang lebih jauh lagi dengan Mamat. Dari segi pendidikan, Mamat tidak buruk-buruk juga, Mamat lulusan SMA. Soal nasib suatu saat bisa saja berubah, pikir Tini. Namun perasaan itu hanya dipendam Tini dalam lubuk hatinya. Sebab sebagai wanita masih menjaga norma dan harga diri. Dia tidak akan mengutarakan isi hatinya itu kepada Mamat.
Ternyata Mamat pun punya perasaan yang sama terhadap Tini, tapi Mamat tidak berani mengutarakannya. Mamat belum punya rasa percaya diri untuk mengutarakannya. Mamat menyadari posisinya hanya pengantar air isi ulang tidaklah mungkin wanita seperti Tini tertarik kepadanya. Hingga suatu saat getar-getar cinta Mamat kepada Tini sudah mencapai titik puncak yang paling Tinggi. Dengan hati berdebar dan tangan gemetaran dia mencurahkan pada selembar kertas semua isi hatinya kepada Tini, sebab dia tidak tahu nomor telepon Tini. Kertas itu diberikannya langsung kepada Tini dengan mengatakan bahwa surat itu titipan dari seseorang teman Tini.
Setelah tiga bulan berlalu, Tini dan mamat menikah. Mereka hanya menikah di KUA saja. Emak Tini tidak hadir di KUA waktu Tini menikah, sebab dari awal dia tidak setuju Tini menikah dengan Mamat. Yang menjadi wali buat Tini adalah pamannya dari pihak Ayah. Resepsi pernikahannya dilakukan sangat sederhana. Hanya mengundang kerabat dekat, tetangga dekat, orang jamaah masjid sehabis sholat maghrib, dengan membaca doa selamat yang dipimpin ketua masjid. Acaranya diadakan di kediaman Mamat.
Sejak saat itu ocehan emaknya Tini sering mampir ke telinga Tini. Jika Tini keliru bertindak dalam segala hal sedikit saja, akan dijadikan alasan oleh emaknya untuk memarahi Tini. Tidak hanya Tini, Mamat pun sering dihina, tapi mamat hanya diam saja. Mamat tetap menganggap emak Tini orang tua yang harus dihormati. Untunglah Mamat lebih banyak berada di tempat kerja, sehingga jarang ketemu mertuanya. Pernah mamat mengajak Tini tinggal di rumah orangtuanya saja, tapi Tini menolak, sebab di rumah orangtua Mamat hanya ada dua kamar. Satu kamar ditempati bapak dan ibunya Mamat dan yang satu lagi ditempati adiknya Mamat. Untuk mengontrak rumah tidaklah mungkin, karena gajinya Mamat tidak seberapa.
—
Siang ini sehabis memasak makanan sederhana untuk menu makan siang, Tini duduk di kursi teras rumahnya dengan meluruskan kakinya, sambil menunggu Bobby buah hatinya dengan Mamat pulang dari sekolah. Dia menarik nafas dalam kemudian dihembuskannya perlahan untuk mengeluarkan tekanan batinnya yang menghimpit, karena hingga saat ini emaknya masih belum suka dia menikah dengan Mamat.
Tini melihat ada pak RT datang menuju ke arahnya. Tini hanya menduga kedatangan pak RT paling hanya untuk keperluan mengantarkan surat untuk pembayaran PBB.
“Assalamu’alaikum, Dek Tini…,” sapa pak RT dengan ramah. “Wa’alaikum salam, ada apa ya, Pak?” jawab Tini. “Begini, Dek Tini, saya harap Dek Tini tidak terkejut. Tadi saya melihat suami Dek Tini diserempet Mobil tanki minyak. Dia dan motornya yang membawa air galon masuk ke dalam parit dan sekarang terluka parah. Saya dan orang-orang yang ada di tempat kejadian sudah berusaha menolong. Sekarang suami Dek Tini sedang berada di UGD RSUD,” jelas pak RT.
Mendengar itu jantung Tini berdebar, seluruh tulang dan persendiannya terasa lemas, pandangannya berkunang-kunang. Dia hampir saja pingsan. Untunglah dengan sedikit kekuatan dia beristighfar. Dia kuatkan hatinya untuk bergegas dan segera menemui suaminya di rumah sakit, sehingga dia sampai lupa mengucapkan terimakasih kepada pak RT, ketika pak RT pulang.
Dengan menjemput Bobby dulu di sekolah, sambil minta izin kepada guru, Tini bergegas ke rumah sakit dengan sepeda motor yang dia miliki.
Di rumah sakit, Tini diizinkan memasuki ruangan UGD. Perlahan dia menyingkapkan kain putih yang menyelimuti tubuh suaminya di atas brankar dorong milik rumah sakit. Keadaan tubuh suaminya sangat mengenaskan. Pada bagian kepala dan sekujur tubuhnya dipenuhi luka. Jiwanya tak tertolong lagi, pihak rumah sakit menyatakan Mamat suami Tini sudah meninggal dunia.
Tubuh Tini terasa semakin lemas, air matanya mengalir di pipinya yang agak mulai cekung. Bobby juga tak hentinya menangis sambil memanggil-manggil ayahnya. Tini memeluk buah hatinya sambil mengusap-usap kepala anaknya.
Ayah dan ibu Mamat mendekati Tini dan mencoba menenangkan hati Tini dan Bobby, sambil menasehati keduanya agar sabar dan ikhlas mengantar kepergian Mamat.
—
Sepeninggal suaminya, Tini tidak pernah mendapat ocehan lagi dari emaknya. Tini tidak tahu apakah perubahan sikap emaknya itu lantaran puas dengan kepergian Mamat ataukah menyesal dengan sumpah serapahnya selama ini. Dia berharap kematian suaminya bukan karena sumpah serapah emaknya, tapi memang sudah takdirnya seperti itu. Sebab Tini dan suaminya selalu bersikap baik terhadap orangtua.
Selesai
Cerpen Karangan: Al Arudi Blog / Facebook: Al Arudi Penulis berdomisili di Pangkalpinang, Bangka Belitung