Hasta, lelaki tanggung itu tengah duduk di lobi sekolah beralaskan keramik marmer. Termenung memandang pagar sekolah, pagar yang dianggapnya sebagai pintu evakuasi. Umpatan tatkala menjadi tasbihnya, terus melontarkan kata-kata kasar tanpa diketahui maksudnya. Keringat yang mengguyur tubuh Hasta membuat seragam osis yang dikenakannya saat itu menjadi kusut, gradakan, dan tembus pandang. Muka lebam memar, mata ungu kehitaman, rambut yang acak-acakan, membuatnya terlihat seperti siswa kesayangan BK. Dari jauh mata memandang ia terlihat seperti bajingan jalanan. Namun kian mendekat ia hanyalah pribadi menyedihkan, suram, kesepian dan tiada arti.
Suara itu, suara bel itu berbunyi, bel pulang telah berbunyi. Namun tidak di telinga Hasta, yang dia dengar bukanlah bel pulang, melainkan bel bencana yang mengantarkannya pada pintu evakuasi. Mulai melangkahkan kakinya, walau jalan terpincang-pincang. Matahari membakar luka-lukanya, merasakan luka yang begitu perih, namun tak seperih luka batinnya.
Lagi-lagi Hasta termenung memandang hal didepannya. Bangunan megah yang kini berada didepan Hasta adalah rumahnya. Namun bagi Hasta rumahnya telah tiada, bangunan didepannya saat ini hanyalah tempat untuk bernaung, berteduh dari hujan, badai dan panas.
“PYAARR” Tepat di depan pintu ia mendengar suara pecahan kaca. Lagi dan lagi ia harus mendengarnya. Barang peninggalan orangtuanya kebanyakan berbahan kaca, bahkan hampir 70% kaca adalah bahan dari bangunan dihadapannya. Yang dia harapkan saat kepulangannya adalah pelukan hangat dari keluarga, namun kehancuran sebuah kaca malah menjadi karpet merahnya. Kakinya telah mati rasa menginjak semua pecahan itu, pecahan terbesar bukanlah yang paling menyakitkan, pecahan tak terlihat menjadi yang paling ditakutinya. Yang tidak diketahui itu lebih menyakitkan.
Tak lagi ingin disambut dengan karpet merah itu. Ia lelah dengan karpet merah yang membuat kakinya juga ikut mengeluarkan cairan merah. Ia memutuskan untuk tidak masuk ke bangunan itu lagi. Tas dan seragam ia lemparkan ke tempat sampah di dekatnya. Kini kaos hitam dan celana pendek warna senada membalut tubuhnya. Tanpa bekal apapun ia pergi menjauh dari bangunan itu. Keputusan yang diambilnya serasa sudah yang paling benar. Pergi sejauh mungkin, dan sebisa mungkin tak pernah kembali.
Siang adalah kehancurannya, kematiannya, kemusnahannya. Siang itu selalu membunuhnya, mengusir malam yang membawa nyawanya. Ia selalu mengharapkan sore yang datang untuk menjemput malam. Terlintas di benaknya, kemana ia harus pergi sekarang? Nyawanya akan datang tak lama lagi, ia butuh tempat tuk menangis. Bagai bayi yang baru lahir lalu menangis, itulah Hasta setiap malam. Ketika malam datang membawa nyawanya, dia kembali hidup di dunia, kemudian menangis sebagai awal dari hidupnya. Sangat mirip seperti bayi yang baru lahir.
Ingat, Hasta tak berbekal apapun, bahkan ponselnya saja tak terbawa. Bodohnya lagi lelaki tanggung itu buta arah, berani sekali dia pergi sendirian dengan egonya.
“Andai kakak bukan pecandu miras itu, gue ga bakal pergi. Kakak harusnya tahu, mama papa udah cerai harusnya kakak ga gini!! Gue capek, gue bukan orang yang kuat, gue bener-bener jatuh, gue ga bisa berdiri lagi!!” teriaknya di sebuah jembatan layang. Membuat orang-orang yang ada disana merasa kasihan dan prihatin.
Kini ia tengah duduk di bangku taman, taman yang dulu sering ia kunjungi bersama kakaknya. Tapi dia tak mengingat taman itu, taman itu telah berubah sejalan dengan tumbuhnya Hasta. Senja tengah menemaninya, tak lama lagi senja akan membawa malam bersama nyawanya. Hasta merenung meratapi kesedihannya, sangat menyedihkan, dasar Hasta idiot. Anak laki-laki kabur dari rumah dan menangis, seperti anak perempuan saja. Bahkan anak perempuan bisa lebih baik saat melakukannya.
“Sekarang, apa yang gue harapkan? Kakak dateng ngejemput gue? Harapan yang fiksi. GUE BERSUMPAH BAKAL SUJUD DI KUBURAN PEL*CUR ITU KALO LO JEMPUT GUE!” teriaknya kembali, namun kini tak seorang pun mendengarnya.
“Haris Azta Purnama, kalo iya lo jemput gue, gue Mikhail Hasta Purnama bersumpah bakal sujud di makam wanita pel*cur yang telah ngelahirin kita. Lo denger itu? Benar, lo pasti lagi mabuk di rumah, lo ga bakal nyariin gue” ujar Hasta dengan kepala tertunduk penuh rasa pasrah.
Malam milik Hasta telah datang, walau tak bisa menangis ia tetap senang malamnya telah berada. Taman itu sudah ia tinggalkan 15 menit lalu. Kini terduduklah dia di sebuah teras supermarket. Melihat sekumpulan anak sebayanya tengah bercanda gurau bersama. Sudah lama ia tak merasakannya, dipikir-pikir malah tak pernah merasakannya. Tak ada rasa iri, Hasta hanya ingin merasakan bahagia, tak harus berfoya-foya seperti mereka.
“Lo ngapain duduk di bawah? Kursi sisa banyak tuh” pekik seseorang dihadapan Hasta.
Hasta tak menjawab sepatah kata pun, bahkan tak melirik asal suara. Pandangannya kosong ke arah jalanan sepi di depannya. Sepertinya hal itu membuat pemuda dihadapannya geram karena Hasta tak mengagagas setiap perkataan yang ia lontarkan.
“lo tuli? Atau lo bisu? Buta juga? Heh, kalian liat ni anak belagu banget, hajar gih!” ucap pemuda itu.
Pemuda bernama Jidan Al Hera itu dengan sigap mecekik leher Hasta. Baru sadar dari lamunannya, Hasta kaget karena tiba-tiba ada seseorang yang mencekiknya.
“Maksud lo apa hah? Belagu banget lo?” tanya Jidab dengan nada angkuh. “Gu… Gue ga tau maksud lo. Tolong lepasin gue” pinta Haris seraya tangannya berusaha membebaskan diri dari terkaman Jidan. “HEH, PERGI KALIAN!! RUSUH AJA BISANYA” tegas Pemilik Supermarket.
Karena merasa takut, Jidan dan komplotannya segera pergi meninggalkan tempat itu. Kini Haris tergeletak lemas, rasanya lambat laun nyawanya akan pergi. Ia menatap pemilik supermarket yang telah mengusir segerombolan pemuda tadi, Haris menundukkan kepala sebagai ucapan terimakasih. Apa balasannya? Senyuman? Biasanya si pemilik toko akan tersenyum ramah, sayang sekali tak semua kehidupan seperti itu. Pemilik Supermarket itu tak membalasnya dengan senyuman ataupun keramahan lainnya.
“NGAPAIN MASIH DISINI?! PERGI, GEMBEL GA BERGUNA!!” ucap si Pemilik Supermarket itu seraya menendang Hasta dengan kaki jenjangnya.
Hasta terbanting menyedihkan, napasnya terengah-engah, sangat sakit. Bekas jahitan itu, jahitan yang belum kering itu seperti tertimbun ton-tonan batu. Sakit, namun lebih sakit ketika mengingat cerita dibalik jahitannya.
Jahitan itu, tempat ginjalnya diambil. Kala itu kakaknya sangat membutuhkan donor ginjal, tak seorang pun bisa menolongnya, jadilah Hasta yang mendonorkan ginjalnya. Hasta mendonorkan ginjal untuk kakak yang tak pernah sekalipun mempermudah hidupnya. Namun pemikiran Haris kala itu bukanlah sebuah dendam, ia berpikir betapa sepi hidupnya apabila kakaknya pergi, tak ada lagi keluarga baginya jika kakaknya pergi, ia rela berkorban apapun untuk kakaknya. Perih rasanya, bukan jahitan itu namun hatinya. Ia mendonorkan ginjalnya untuk tetap bersama sang kakak, namun kini ia malah memutuskan untuk pergi.
“AAARRGGGHHH” geram Hasta.
Tak kunjung pergi dari hadapan Pemilik Supermarket, Hasta kembali ditendang tepat di jahitan itu. Rasanya ingin sekali ia berteriak sekuat tenaga, namun mengingat kisah dari jahitan itu, Hasta hanya bisa menangis dan meringis kesakitan. Kilauan lampu disertai kerasnya suara mesin tiba-tiba datang bak petir yang menggelegar. Cahaya itu semakin mendekati supermarket, bahkan berhenti di depan supermarket dan mengepung Hasta.
“Heh bang, gue tau lo ga suka liat supermarket lo didatengin berandalan kayak kita. Tapi lo mikirlah tentang dia, lo liat tampangnya udah kusut kayak gembel gitu, lo tega nendang dia kayak gitu?” ujar Jidan. Ia dan komplotannya kembali ke supermarket itu. “Kenapa? Orang-orang kayak kalian ini adalah kutukan. Supermarket ini bakal sepi pelanggan kalo kalian disini” jawab si pemilik supermarket itu. “Kalian tadi menindas gembel ini, kenapa kalian tiba-tiba membela dia?” tanya si pemilik supermarket seraya menarik rahang Hasta dengan tangannya.
Jidan menatap geram pada Pemilik Supermarket. Dasar orang tua kolot, batinnya. Pada dasarnya memang Jidan ingin menyakiti Haris, namun temperamennya saat itu sedang buruk karena suatu hal, kemudian ia menumpahkan rasa kesalnya kepada orang lain. Namun setelah ia pergi dari supermarket itu, ia melihat si Pemilik Supermarket itu menyakiti Hasta. Jidan tetap berada didekat sana, ia bersembunyi di suatu tempat dan menyaksikan anjing tengah bergelut dengan mangsanya. Hasta meringis kesakitan, Jidan melihatnya juga merasakannya, rintihan kesakitan itu tak terdengar namun sangat jelas di telinga Jidan. Tak tahan melihat itu, Jidan menghubungi komplotannya dan kembali ke supermarket itu.
“Kenapa diem? Kalah argumen? Hahaha” ejek si Pemilik Supermarket.
Cerpen Karangan: Travie Blog / Facebook: Travie