Jidan segera menyingkirkan tangan si Pemilik Supermarket dari rahang Hasta. Ia menarik Hasta kemudian menaik di motornya, secepat mungkin mereka pergi menjauh dari supermarket terkutuk itu. Di perjalanan, Jidan tak berbicara sepatah kata pun, begitu juga Hasta. Suara mesin motor menghiasi metropolitan saat ini namun tak satupun suara manusia yang mengontaminasinya.
“Lo gapapa?” tanya Jidan. Hasta hanya mengangguk, takut Jidan akan mencekiknya lagi Hasta segera mengucapkan terima kasih. “Perut lo kenapa? Tadi kayaknya sakit banget” tanya Jidan lagi. “Gapapa, awalnya udah luka jadi perih aja” singkat jawaban Hasta dengan terburu-buru.
“Ji, ayah lo telfon ni, buruan balik sebelum kena ceramah” ucap salah satu komplotan Jidan. “Sialan lo. Lo punya rumah kan? Lo keliatannya bukan kek gelandangan, baju lo aja bermerk ya, ga mungkin lo gembel jalanan. Gue balik dulu ya soalnya bokap gue nyariin. Jaga diri lo” ucap Jidan sebelum pergi meninggalkan Hasta.
Hasta tak yakin yang telah ia alami ini nyata atau bukan. Malam ini terasa lebih menyeramkan, akan lebih baik jika dia di rumah dan melihat orang mabuk membanting semua barang di rumah, ia menyesal pergi dari rumahnya. Ternyata Jidan membawanya ke tempat yang telah ia datangi. Di taman itu Hasta kembali, taman tempat dia berada disaat senja tiba. Ia kembali merenung, menundukkan kepala dengan penuh rasa putus asa. Ingin menangis sejadi-jadinya namun sulit rasanya jika harus menangis di ruang terbuka.
“Gue kira dia bakal kenal gue, ternyata dia ga kenal gue. Apa pura-pura ga kenal? Jelaslah dia ga kenal, orang gue lahir aja dia udah pergi, gue sebut ayah juga ga pantes” ucap Hasta.
Hasta menyandarkan tubuhnya pada bangku taman. Mengingat hari-harinya di masa lalu, tak pernah pun ia merasakan manisnya permen, hangatnya pelukan ibu, candaan seorang ayah, dan kejahilan seorang kakak. Hidupnya dikerumuni banyak orang, namun ia merasa kesepian. Pria yang awalnya ia anggap sebagai seorang ayah, ternyata lebih buruk dari kuda laut yang memakan anaknya sendiri. Seorang ayah adalah omong kosong bagi Hasta. Ia terus memikirkan betapa buruknya seorang pria yang tadinya ia anggap ayah, hingga ia tertidur di bangku taman.
Keagungan rawi menyilaukan matanya, kepalanya menjadi sangat pusing karena dihadapkan dengan terangnya cahaya rawi. Badannya kaku, hampir tak bisa digerakkan, dengan paksaan ia berhasil menggerakkan badannya. Memang keras kepala, sudah tahu perutnya masih sakit bukannya beristirahat ia malah terus berjalan, padahal dia juga tidak tahu arah.
Aneh sekali, tidak puaskah dia semalam disiksa oleh bajingan itu? Hasta kembali lagi ke supermarket semalam. Ini masih terlalu pagi, supermarket itu belum buka, namun si Pemilik Supermarket sudah berada di tempatnya. Hasta berdiri di depan pintu kaca supermarket. Lagi-lagi bertemu sebuah kaca, supermarket itu hampir seluruhnya adalah bangunan kaca. Sungguh kebiasaan yang tak bisa hilang.
Pintu supermarket itu terbuka, namun Hasta tak ingin masuk. Melihat Hasta berdiri tanpa sebab disana, si Pemilik Supermarket merasa terganggu, secepat mungkin ia melemparkan sapu kearah Hasta. Sapu itu mengenai Hasta, hidungnya berdarah karena kerasnya batang sapu. Hasta tak menghiraukan lukanya, ia menyingkir dari pintu supermarket lalu duduk di lantai teras supermarket. Si Pemilik Supermarket sudah sangat jengkel, ia melepaskan sandalnya lalu melemparnya ke arah Hasta. Si pemilik supermarket menuju teras, melihat Hasta tak menghiraukan apapun yang telah ia lakukan. Haris melihat si pemilik supermarket yang tengah berdiri penuh dengan kemarahan. Haris bertumpu pada lututnya dan menundukkan kepalanya, tepat dihadapan si pemilik supermarket.
“Ayah, tolong. Aku udah ga kuat sama Kakak, dia terus-terusan mabuk” ucap Haris dengan penuh harapan. “Ayah? Kamu anak pel*cur itu? Berani sekali kamu manggil saya ayah. Enyahlah parasit!!” ucap si pemilik supermarket.
Ia membuka tutup termos yang sedari tadi berada di tangannya. Termos itu berisi teh panas, tanpa pandang bulu ia menyiramkan teh panas itu ke muka Hasta. Inilah yang Hasta takutkan, pecahan kaca yang tak terlihat. Ia tak pernah mengira ada hal tak terlihat yang tiba-tiba menyakitinya. Hasta telah menginjak pecahan kaca ini, kini ia merasakannya. Ia tak mengira, ayah yang selama ini ia harapkan ternyata hanyalah khayalan. Tak bisa menahan sakit, Hasta berteriak sekuat tenaga dengan tubuh yang tergeletak di lantai. Teriakannya mengundang para warga sekitar. Bahkan Jidan dan ayahnya juga berada disana. Terutama Jidan yang telah melihat Hasta disiram dengan teh panas.
“Itu yah, itu yang ayah banggain dari anak buah ayah? Yang udah nuduh Jidan mabuk sama temen-temen Jidan? Dia nyiksa orang kayak gitu. Ayah tahu kenapa kemarin Jidan pulang malem? Jidan nyelametin anak itu dari kekerasan Om Aldi. Kenapa ayah ga pernah percaya sama Jidan? Apa semua ayah sekejam ini sama anaknya?” jelas Jidan kepada ayahnya. Itu menambah ketegangan semua orang yang berada disana.
“ARRGHHHH” geram Hasta.
Seseorang berlari dari arah taman menuju supermarket. Pria berusia 20 tahun dengan jaket hitam menghampiri kerumunan itu. Ia mendesak-desak kerumunan dan berhenti didekat Hasta. Ia mulai mendekati Hasta, diikuti Jidan.
“Ayah kalo ga bisa bersikap seperti ayah, bersikaplah seperti manusia” ucap pria itu.
Dia Haris, kakak Hasta. Ia segera membawa Hasta ke rumah sakit dengan mobil milik Jidan. Ketiga orang itu menuju rumah sakit dengan perasaan gusar, ditambah geraman Hasta yang merasa kesakitan membuat yang ada didekatnya juga merasakan sakit dan takut.
Ruangan UGD kini menjadi pusat pandangan Haris dan Jidan. Sama sekali tak ada yang membuka pembicaraan di antara mereka. Tak lama salah satu perawat dari IGD datang membawa catatan pemeriksaan Hasta. Hasta harus tetap di rumah sakit, selain luka bakarnya, ternyata jahitan pada perutnya mengalami infeksi, itulah yang perawat tadi katakan.
Bangsal Dahlia Kamar 12, itulah tempat Hasta sekarang, Haris juga berada di ruangan itu. Jidan tak bersama mereka, ia pergi melapor kejadian tadi kepada pihak terkait. Itu adalah tindak pidana, sebagai saksi mata ia harus melaporkannya.
“kakak ga mabuk? sekarang udah jam 9, waktunya v*dka kan?” tanya Hasta. “Lo tu ngatain gue apa gimana? Gue juga bisa taubat. Kemarin gue mecahin semua vodka yang gue punya. Gue bersihin semua minuman dan obat-obatan itu. Gue berharap lo pulang ke rumah terus lo liat kejadian heroik itu” ucap Haris dengan penuh rasa bangga. “Heroik dari Depok! Ga ada heroik-heoriknya. Ujung-ujungnya pasti gue disuruh bersihin tu pecahan botol kaca” Hasta menyangkal ucapan kakaknya.
1 minggu lamanya Hasta dirawat, kini ia kembali ke rumahnya, tentu saja bersama dengan kakaknya. Ia tak lagi mencium aroma alkohol, tak ada lagi alat konsumsi obat-obatan, bahkan pecahan kaca pun tak ia temukan. Mereka berdua diberi kabar oleh Jidan bahwa ayah mereka, maksudnya si Pemilik Supermarket itu telah diadili. Tak ada rasa sedih di benak mereka, pantaslah orang itu mendapatkannya. Mereka berdua sangat berterimakasih kepada Jidan yang telah membantu mereka.
Kali ini Hasta tengah menyantap sarapan bersama dengan kakaknya. Entah kapan terakhir kali ia merasakannya, tapi rasanya sudah lama ia tak merasakan kebersamaan bersama kakaknya. Perasaan senang itu tak dapat ditutupi olehnya, Haris pun tak bisa menyangkalnya, ia juga merasa sangat senang. Rehabilitasi yang ia jalani mungkin perlu penanganan ahli, namun bersama keluarga adalah rehabilitasi yang seharusnya.
Payung hitam membentengi kepala mereka dari panasnya matahari. Dua lelaki berpakaian serba hitam itu berlutut disamping gundukan tanah. Keduanya menjatuhkan bunga-bunga yang sudah disiapkan diatas gundukan tanah itu. Air mereka alirkan dari botol mineral ke sepanjang tanah dihadapannya. Ciuman hangat Hasta berada tepat di batu nisan yang terukir nama Purnama binti Wuryanto.
“Ma, maaf Hasta ga bisa jadi anak yang baik. Hasta selalu benci sama mama. Bukan, Hasta benci profesi mama. Mungkin Hasta adalah anak durhaka karena ga bisa mengerti keadaan mama, maafin Hasta” ucap Hasta seraya mengatur napasnya yang sudah mulai sesak karena ingin menangis..
“Ma, maaf Haris ga bisa jadi anak dan kakak yang baik. Harusnya Haris bisa jagain Hasta, tapi malah Hasta yang jagain Haris. Mama lihat? Haris sampai sekarang masih hidup karena ginjal Hasta. Mama harus bangga sama Hasta” jelas Haris.
Keduanya saling memeluk nisan ibunya. Merindukan sosok yang tak pernah memberikan pelukan hangat namun tetap memberi rasa tenang ketika berada di dekatnya. Setelah dari pemakaman, mereka berniat menjenguk seseorang di sel tahanan. Hanya untuk berterima kasih, dan memberi dukungan dari keluarga yang telah hancur.
Haris mengeluarkan sebuah miniatur dari sebuah kotak pembungkus. Miniatur rumah kaca dengan lampu bersinar didalamnya sedang dibawa Haris menuju hadapan sang Ayah. Ia memberikannya pada pria yang usianya hari ini mencapai setengah abad.
“Ini Hasta yang buat, Haris ga bakal mau kalau disuruh buat kayak gini, apalagi buat ayah” jelas Haris.
Miniatur itu Hasta buat dari pecahan barang-barang di rumahnya, mulai dari vas, toples, gelas, botol, bahkan lampion yang pecah. Pecahan itu melambangkan hatinya, hatinya yang telah pecah telah ia rangkai kembali. Walau tak sempurna, paling tidak pecahan hatinya tak tersapu oleh keadaan. Miniatur rumah itu melambangkan hati Hasta yang kini utuh kembali, dan lampu didalamnya menandakkan bahwa kehidupan yang dulu tergantung pada gelapnya malam kini juga membutuhkan terangnya siang.
Cerpen Karangan: Travie Blog / Facebook: Travie