Bagas adalah seorang anak dari ibu penjual kue keliling. Ia tinggal di rumah berbilik bambu di tepi sungai. Jika hujan deras, atapnya akan bocor dan harus ditampung dengan ember. Bagas tinggal bersama ibu dan neneknya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Bagas juga mempunyai seorang paman bernama Karjo. Pak Karjo bekerja sebagai Tkw di Malaysia dan jarang pulang. Bagas mengira Pak Karjo lah Ayah dari bagas. Bagas seorang murid kelas 6 SD. Ketika fajar menyingsing ibunya sudah siap dengan kue-kue yang akan dijajakan keliling kampung.
“Bagas bangun Nak.” “Sudah waktunya berangkat ke sekolah.” “Iya bu.”
Bagas lalu bangun dan bergegas mandi dan mempersiapkan segala keperluan untuk berangkat ke sekolah. Setelah selesai mempersiapkan buku-buku pelajaran dan bekal kue buatan ibunya, Bagas pun berpamitan kepada Ibu dan Neneknya.
“Nek, Bu, Bagas berangkat ya.” Sambil mencium tangan Nenek dan Ibunya. Bagas lalu berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Sambil senyum bernyanyi riang, Ia Pun berjalan dengan cepat. Tak terasa Ia pun sampai di sekolah. Ia mengikuti pelajaran dengan baik, rajin dan tekun. Ia juga anak yang ramah dan tidak membeda-bedakan teman. Bu Guru sangat menyayanginya. Bel sekolah telah usai Bagas pun bergegas pulang.
“Selamat siang Bu Guru.” “Selamat siang teman-teman, sampai ketemu besok ya.”
Sampai di rumah Bagas lalu mengurus Neneknya yang sudah tua dan sakit-sakitan.
“Selamat siang, Nek.” “Nenek makan ya, Bagas suapin.” Lalu Bagas menyuapi neneknya dengan senang hati.
“Terima kasih cucuku yang baik, nenek bangga sekali memiliki cucu yang sangat sayang dan sangat pengertian seperti kamu.” “Iya, Nek.” “Ini sudah menjadi tugas dan kewajiban Bagas Nek” “Nenek lekas sehat ya.” Sambil tersenyum Bagas pun memeluk neneknya.
Bagas memiliki cita-cita yang tinggi yaitu ingin menjadi dokter. Ia pun gemar bereksperimen mengenai pelajaran-pelajaran SAINS yang berhubungan dengan makhluk hidup dan segala pengobatan-pengobatan. Ia ingin menggapai cita-cita itu setinggi langit. Ia ingin mengobati penyakit neneknya dan ingin membantu orang-orang yang sakit. Bagas ingin mengoleksi buku-buku tentang SAINS dan yang ada hubungannya dengan ilmu kedokteran. Bagas pun teringat Ayah Karjo yang sedang bekerja di Malaysia. Dengan hp jadul pemberian Ayah Karjo Bagas menelpon Pak Karjo yang dia anggap ayahnya.
“Halo pak, ini Bagas.” “Iya, Bagas, ada apa Le Bagus?” “Pak, boleh tidak Bagas minta dibelikan buku Ensiklopedi tentang tubuh manusia?” “Boleh sekali Le!” “Nanti kalau Bapak gajian baru Bapak belikan ya!” Dengan hati girang Bagas pun berteriak, horeee. “Terima kasih Pak.” “Bagas selalu berdoa buat Bapak, agar sehat selalu dan dapat uang banyak.” “Iya Le, jaga ibu dan nenek dengan baik ya.” “Iya, Pak, siap.” Lalu Bagas mematikan hp jadulnya.
Hari demi hari, bulan demi bulan Bagas menantikan buku Ensiklopedi yang sudah menjadi angan-angannya. Dengan sabar ia menantikan apa yang menjadi impiannya “Buku Ensiklopedi.”
“Pos… Pos…” Hingga suatu hari Pak Pos pun tiba di rumah Bagas. Bagas pun bergegas keluar rumah. “Nak Bagas ya, ini ada paket dari Malaysia.” “O, iya Pak Pos, terima kasih ya Pak!” Dengan mata yang berbinar-binar dan sambil bersiul-siul, Bagas pun membuka paket yang Ia terima.
“Wow, keren.” “Buku ini yang akan menghantarkan aku untuk menggapai cita-citaku”
Lembar demi lembar buku Ensiklopedia Manusia itu dibaca dan dipelajarinya. “Wah, gambarnya bagus dan jelas sekali.” “Kertasnya juga tebal dengan warna-warna yang menarik.”
Tak lama kemudian pintu terdengar menderit. “Bagas… Bagas…” “Ibu pulang, Nak” “Iya, Bu.” Bagas pun menyambut Ibunya dengan senang hati. “Puji Tuhan, Nak.” “Dagangan ibu laku semua, diborong sama Bu Minah.” “Horee…”
Bagas lalu membuatkan secangkir teh manis untuk ibunya. “Minum tehnya, Bu.” Lalu Ibu pun minum teh manis buatan Bagas “Lho ini buku Bagas?” “Bagus sekali dan tebal bukunya.” “O, iya Bu, Bagas dibelikan Bapak Bu bukunya.” “Beberapa bulan yang lalu Bagas menelepon Bapak, untuk dibelikan buku ensiklopedi ini.” “Dalam hati Ibunya berkata, kamu belum tahu yang sebenarnya Nak, kalau Pak Karjo itu sebenarnya adik Bapakmu.” “Belum waktunya Ibu memberi tahu hal ini.”
Lalu ibunya bertanya, “Sudah berterima kasih belum dengan Bapak?” “O, iya belum Bu.” “Sampai lupa Bagas.”
Lalu Bagas melepon Pak Karjo. “Halo Bapak, terima kasih Pak, paketannya sudah Bagas terima.” “Iya Le Bagas, semoga buku itu menambah semangat belajarmu ya.” “Iya Bapak.”
Tibalah suatu hari ibunya mendapat telepon dari majikan tempat Pak Karjo bekerja. “Halo, selamat sore!” “Apa benar ini dengan Ibu Bagas?” “Iya Pak, ada apa ya?” “Kami mengabarkan bahwa Pak Karjo kemarin mendapat kecelakaan dan akhirnya beliau tidak bisa tertolong.” Bagai disambar petir Ibu bagas pun jatuh tersungkur mendengar berita itu. Lalu Bagas bergegas memeluk Ibunya.
“Ada apa Bu?” “Bapak kecelakaan Bagas “Bapak sudah tiada.” Bagas pun menangis dan berteriak histeris “Bapaaaak…”
Bagas sangat sedih bagai disayat sembilu. Hatinya luka dengan kepergian Pak Karjo yang sudah dia anggap Bapaknya, karena dari kecil Bagas belum tahu kalau Bapak sebenarnya sudah lebih dulu meninggal ketika Bagas masih di kandungan Ibunya.
Hari demi hari setelah kepergian Pak Karjo Bagas selalu murung, air mata selalu berderai bagai sungai yang mengalir. Bagas selalu teringat kebaikan, canda tawa Pak Karjo yang selalu memberi semangat hidupnya. Mengetahui hal itu Ibunya selalu menghibur Bagas, memeluk dan membelai-belai rambut anak semata wayangnya.
“Bagas, anak ibu yang ibu sayangi.” “Ibu tahu perasaanmu, Nak.” “Kamu pasti sangat sedih dan kehilangan sekali.” “Tapi Bagas harus ikhlas dan tetap semangat, doakan Bapak ya!”
Sebenarnya dalam hati Sang Ibu ingin menyampaikan hal yang sebenarnya, tetapi belum sampai untuk mengatakannya. Hari demi hari Ibunya pun selalu memberi semangat, penguatan dan dukungan kepada Bagas. Dan akhirnya Bagas bangkit kembali semangat belajarnya. Ia ingin membuktikan kepada orang orang yang Ia sayangi. Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun Ia bisa menyelesaikan cita-citanya. Sampai pada suatu hari tibalah Ia untuk wisuda kuliahnya. Akhirnya ia mendapat gelar Dr.Bagas. Betapa senang dan bangga Ibu dan Neneknya yang berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidup dan studi anaknya dengan membanting tulang setiap harinya.
Bagas pun memeluk Ibunya. “Terima kasih Ibu, karena Ibu aku bisa seperti ini.” “Anakku, ada yang perlu kamu ingat, kamu juga harus berterima kasih kepada Pak Karjo yang sudah selalu memberi semangat padamu dan satu lagi sebenarnya Bapakmu sudah meninggal sejak kamu dalam kandungan Ibu. Bapakmu bernama Pak Karmin. Kakak dari Pak Karjo yang sebenarnya adalah pamanmu.” Bagas mendengar penjelasan ibunya dengan seksama. “Baiklah ibu, besok kita ke makam Bapak dan Paman Karjo, Bagas mau berterima kasih kepada mereka yang sudah berjasa pada.”
Bagas, ibu dan neneknya akhirnya hidup bahagia. Perjuangan akan selalu akan berbuah manis, keikhlasan dan rasa syukur selalu akan membawa ke arah yang lebih baik. Bagas menyadari betapa penting peran dan figur seorang ayah dalam suatu keluarga. Ayah adalah pahlawan, penyemangat dan kekuatan dalam sebuah keluarga. Marilah kita sayangi dan hormati ayah dan ibu selagi masih ada.
Cerpen Karangan: Josua F G , SMP TARAKANITA 1 Blog / Facebook: josu_3231