Berjalan kaki menuju sekolah, aku berpikir betapa membosankannya hidup ini. Bangun pagi, sekolah, belajar, pulang, belajar, tidur, ulangi. Sungguh kehidupan yang menyedihkan, kami juga tidak diperbolehkan istirahat, hanya belajar, belajar, dan belajar. Inikah kehidupan manusia? Kapan hidup monoton ini akan berakhir? Aku takut kehidupan membosankan ini akan terus berlanjut hingga aku dewasa.
Namun tiba-tiba suara bel peringatan membuyarkan lamunanku, itu adalah bel penanda datangnya kereta api. Langkahku terhenti dan mataku tertuju pada rel kereta disamping kiri. Tidak lama, suara kereta itu semakin keras, dan melaju kencang melewatiku. Aku suka kereta, aku mengaguminya, melihat kereta favoritku melaju dengan kencang sudah cukup membuatku gembira. Aku tersenyum tipis, melupakan semua pemikiranku dan melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan suasana hati yang sudah membaik.
Suara bel berdering menandakan waktunya untuk belajar. Ah, ini tidak terlalu buruk, matematika. Pelajaran yang sangat aku sukai. Aku suka berhitung dan melihat angka-angka. Aku suka bidang aljabar, geometri, statiska, dan lain-lain. Aku suka sekali mengerjakan soal yang mengecoh, rasanya seperti menjawab teka-teki. Aku suka sekali memahami kumpulan rumus-rumus matematika, bagiku itu sangatlah indah. Tentu saja, aku hanya menyukainya saja, bukan berarti aku memiliki nilai ujian yang bagus. Bagiku, matematika adalah salah satu hal yang dapat membuatku senang. Tapi kurasa itu tidak lagi benar, sekarang matematika hampir terasa seperti pelajaran lain, menyedihkan. Dimataku sekarang, semua pelajaran itu sama, karena pada akhirnya aku dituntut untuk memperoleh nilai tinggi saat ujian.
Perasaanku cukup membaik karena pelajaran pertama adalah pelajaran yang kusukai. Tapi aku tidak yakin dengan yang satu ini, sastra. Pelajaran yang menjadi musuh bebuyutanku sejak sekolah dasar. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba, seberapa lama aku belajar, aku tidak pernah bisa memahaminya.
Terlalu lama berlarut dalam pikiran, guru memanggilku “Hey yang diujung sana, sebutkan suasana hati sang tokoh utama pada halaman 69!” Aku terdiam, panik memikirkan dan mencari jawabannya. Selama 10 detik aku mematung terdiam, sehingga guru menegurku “Hey, jika guru bertanya kau harus menjawab! Aku sudah menerangkan materi ini kemarin, apa kau masih tidak memahaminya? Nilai ujianmu kemarin sudah cukup rendah, mau bagaimana nasibmu di masa depan?” Aku terdiam mematung, saat itu pikiranku langsung membeku sehingga aku tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Ucapan guru itu benar, nilai ujian sastraku cukup rendah, dan aku sama sekali tidak memahami materinya, aku sungguh bodoh.
Bel istirahat yang berbunyi menandakan waktunya pergi ke kantin. Kakiku berjalan dengan lesu ke kantin tanpa semangat, tentunya otakku masih dipenuhi pikiran-pikiran. Aku hanya makan roti dan minum teh. Sambil menikmati makananku, aku memikirkan banyak hal. Namun waktu makan siangku terganggu karena kedatangan seorang teman sekelas, Roni. “Oyy, sudahkah kau melihat nilai ujianmu? Bagaimana? Biar kutebak, pasti jelek” ucapnya sambil tertawa terbahak-bahak. “Jujur saja aku tidak paham kenapa kau bisa mendapat nilai sejelek itu, aku sendiri masih mendapatkan nilai yang cukup bagus. Seharusnya kau belajar lebih keras lagi, dasar bodoh” aku hanya terdiam. Semua ucapannya benar, kenapa aku tidak belajar lebih keras lagi? Mungkin jika aku belajar lebih keras, aku bisa mendapatkan nilai tinggi dan semua ini tidak akan terjadi. Ah sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan hal yang sudah terjadi. Kuakui, dulu aku cukup bodoh.
Suasana kelas yang sunyi ditambah dengan guru yang mengamsti setiap gerak gerik kami. Aku memegang sebuah pensil dengan kertas kosong di depanku. Benar, sekarang masih pelajaran sastra. Kami disuruh untuk menulis essai tentang diri sendiri. Tapi bagaimana? Haruskah aku mulai dari perkenalan nama? Tapi itu pasti akan menjadi essai yang membosankan. Apa yang harus kutulis? Akan lebih baik jika aku mengerjakan matematika daripadanya pelajaran sastra yang bagiku sama sekali tidak masuk akal ini.
Selama 30 menit aku duduk diam dengan tatapan kosong dan pikiran kacau sambil memandangi kertas kosong tanpa coretan sama sekali. Tak peduli seberapa banyak aku berpikir keras, tanganku tidak mau menulis. Aku tidak mengerti, aku sama sekali tidak mengerti.
Pulang sekolah berjalan kaki menuju rumah sambil membawa 2 nilai ujian, matematika dan sastra. Jujur saja, saat ini aku takut dimarahi ibu. Aku ingin menyembunyikan kertas ini namun aku tidak mau menjadi anak nakal. Sampai di rumah, aku langsung mengganti pakaian dan menyiapkan mental. Aku sempat berniat untuk membakar kertas ini, tapi aku urungkan.
Saat memberikan kertas ini pada ibuku, aku sudah menyiapkan mental yang cukup besar. “Apa-apaan ini? Ibu dengar kau bagus dalam matematika tapi kenapa nilaimu rendah? Bukankah ini lelucon?” Aku terdiam menunduk tidak dapat menjawab. “Dan apa-apaan dengan nilai sastra?! Sungguh mengerikan, kau belajar atau tidak sih? Jika nilaimu rendah seperti ini, mau jadi apa kau di masa depan?” Aku masih terdiam, lagipula nilai kan tidak menentukan karir. “Lihat anak tetangga sebelah, dia mendapatkan peringkat satu dengan semua nilainya diatas 90. Harusnya kau malu terhadap dirimu sendiri. Kenapa kau tidak bisa seperti anak itu?” Ah, seperti biasa, aku kembali dibanding-bandingkan dengan anak lain, padahal kemampuan kami itu berbeda-beda. “Ibu tidak mau tau, pokoknya kau harus mendapatkan nilai diatas 90 untuk semua mata pelajaran. Jika ada satu saja yang tidak lolos, jangan harap kau bisa tidur di rumah ini. Untuk sekarang, pergilah ke kamarmu dan belajar! Kau tidak akan mendapat makan malam, jadi habiskan waktumu dengan belajar” dengan begitu, ibu pergi begitu saja meninggalkan aku yang masih terdiam menunduk.
Aku meringkuk sendirian di pojok kamar, menangis tersedu-sedu. Tak peduli belajar sekeras apapun, aku tetap tidak akan mendapatkan nilai bagus. Setiap murid memiliki kemampuan yang berbeda-beda, lalu apa kemampuanku? Aku sungguh bodoh memikirkan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Sejak dulu aku selalu diam ketika ditegur ataupun dimarahi. Jika aku menjawab, itu tidak sopan karena tugasku hanyalah mendengarkan ucapan mereka. Tapi apakah aku melakukan hal yang benar? Benarkah diam itu lebih baik? Aku tidak tahu, saat ini pikiranku sangatlah kacau. Nilai hanyalah angka, tentunya aku yakin angka tidak menentukan masa depanku. Tapi aku tetap dibanding-bandingkan dengan anak lain, aku sudah paham itu. Kemampuanku lebih rendah daripada mereka, tapi kumohon, tinggalkan aku sendiri. Yang kuinginkan hanyalah menggapai cita-citaku yang telah lama sirna. Sejak awal seharusnya aku sadar bahwa hidup ini bukanlah fiksi. Seharusnya aku mencoba lagi lebih keras. Teguran guru, ejekan teman, dan ucapan ibuku. Semuanya terasa bagaikan belati yang menikam pembuluh darahku. “Oh tuhan tolong aku, aku kesepian.” Ucapku dalam kesunyian.
Udara dingin kembali menusuk kulitku di pagi ini dalam perjalanan ke sekolah. Aku kembali menatap rel dimana kereta melaju kencang mekewatiku. Sungguh indah menatap daun-daun yang berguguran mengikuti arah gerak angin kereta itu melaju, dan aku kembali menggerakkan kakiku. Sesampainya di sekolah, kami kembali mengerjakan essai kemarin. Yap, sekarang masih pelajaran sastra. Kami harus melanjutkan essai kemarin yang belum selesai. Pastinya guru menunggu hasil pekerjaanku, dan karena keterlambatanku, aku pasti mendapatkan nilai rendah.
“Kau masih belum menulis essai mudah ini? Ayolah, aku tahu kau bodoh tapi tidak sebodoh ini. Kau bisa mulai menulis soal cita-citamu misalnya” Roni tiba-tiba berucap sehingga membuatku berhenti melamun. Ucapannya membuatku terpikirkan akan sesuatu. Cita-cita? Apa maksudnya mimpi? Mimpiku sudah lama sirna dan tak mungkin datang kembali. Sejak awal, siapa yang membuang mimpiku jauh-jauh? Siapa ya? Ah benar, ibuku. Sejak dulu aku sangat menyukai kereta sehingga bercita-cita menjadi seorang masinis, tapi Ibu ingin aku menjadi dokter, sehingga beliau membuang mimpiku jauh-jauh. “Ah sudahlah, lagi-lagi aku tak bisa menyelesaikan essai ini.” ucapku memotong pikiranku sambil tertawa miris. Sudah cukup, aku tidak mau meneruskan ini lagi. Cukup, aku muak. Aku ingin berhenti. Aku sudah puas meneruskan hidup menyedihkan ini. Apakah semua akan selesai bila aku mati? Masa bodo dengan Tuhan, dosa, atau apapun itu. Apa semuanya akan benar-benar selesai jika aku menghilang? Jika aku mati?
Manusia bukanlah makhluk sempurna. Kami juga mempunyai tanggung jawab sesuai kemampuan masing-masing. Seperti murid yang bertanggung jawab untuk belajar dan menuruti perintah orangtua. Tapi ketika sampai di sekolah, kami disuruh untuk menguasai seluruh mata pelajaran untuk memenuhi harapan orangtua dan guru, padahal kami bukanlah makhluk yang sempurna. Murid juga berhak untuk memiliki kebebasan, bukan terkekang oleh harapan orang dewasa yang serakah. Perlu diketahui, murid hanyalah anak-anak, yang tentunya berhak untuk mendapatkan kebahagiaan. Bagi kami, terbebas dari tuntutan dan tanggung jawab untuk sesaat, adalah sebuah bentuk kebahagiaan.
Deru nafasku terengah-engah karena aku berlari dari sekolah hanya untuk datang ke tempat ini. Aku tak peduli jam pelajaran masih berlangsung, aku hanya ingin lari dari dunia yang kejam ini. Berjalan memandangi rel kereta dengan sunyi. Aku kembali memikirkan kehidupanku. Kami, para murid dituntut untuk mendapatkan nilai tinggi di semua mata pelajaran sekalipun kami adalah manusia biasa yang tidak sempurna. Padahal jika sejak awal kami tidak dituntut apa-apa oleh guru ataupun orangtua, kami tidak akan menjadi stress seperti ini. Akan lebih baik jika kami menjalani hidup dengan baik sebagaimana mestinya tanpa tuntutan apapun. Sejak kapan kita semua terperangkap dalam ilusi ini? Ilusi yang membuat manusia merasa serakah dan tak pernah cukup akan apa yang mereka dapatkan. Rasa serakah ini terus berlanjut hingga mereka dewasa, kemudian mereka akan menyuruh anak-anak untuk mencapai hal yang tidak mereka capai atas bentuk keserakahan.
Berjalan perlahan mendekati rel tersebut sambil bersenandung kecil. Kereta yang hanya melewati rel ini pada pagi dan siang hari, tidak lama lagi akan datang. Benar saja, tiba-tiba terdengar suara bel peringatan yang membuat palang pembatas turun. Aku menarik napas perlahan melangkahkan kakiku kedepan, dan melompati palang pembatas itu dengan mudah. Palang yang dibuat untuk memperingati orang-orang dan kendaraan agar tidak terlindas kereta. Tidak lama kemudian, suara kereta semakin besar dan semakin mendekat. Aku tidak sabar untuk melihat kereta favoritku. Aku berjalan perlahan, tapi aku ragu. Pikiran dan perasaanku saat ini campuraduk. Tapi aku terus berjalan dan kakiku terhenti ketika berada di tengah-tengah rel. Tatapanku tertuju kearah kereta datang. Setelah ini hidupku akan berakhir, aku tidak tahu apakah masalahku juga akan ikut berakhir. Tapi setidaknya, aku ingin mengakhiri hidup yang aku benci ini dengan hal yang aku sukai. Aku merasakannya, kereta itu semakin mendekat. “Apakah aku melakukan hal yang benar?” Tanyaku pada diri sendiri yang dilanda keraguan. Aku menarik napasku dalam-dalam, mencoba merelakan semuanya. Dan menutup mataku, menunggu kedatangan kereta favoritku.
Cerpen Karangan: Faniel Vian