Fatimah, gadis cantik yang usianya baru menginjak dua belas tahun. Fatimah baru saja lulus dari Sekolah Dasar, atau kerap disebut SD. Ia akan melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu Sekolah Menengah Pertama, yang dapat disingkat menjadi SMP. Gadis cantik ini hidup di tengah orangtuanya, yang hidup tidak kekurangan, juga tidak berlebihan. Ibunya bernama Fitri dan bapaknya bernama Fajar. Sedangkan Fatimah, adalah anak tunggal mereka.
Fajar selalu saja memaksa agar Fatimah mau menuruti keinginan dan perintahnya. Kadang, keinginan dan perintah Fajar membuat hati Fatimah terluka yang berujung sakit. Seperti saat ini, ada sedikit masalah saat ia akan melanjutkan sekolahnya ke SMP. Dirinya harus dibingungkan dengan jenis sekolah yang akan ia tempati. Apakah mau ke SMP Swasta, atau ke SMP Negeri? Fatimah kini sedang duduk berdampingan dengan Fitri, dan berhadapan dengan Fajar. Mereka sedang mendiskusikan tentang jenis sekolah yang akan digunakan Fatimah untuk menimba ilmu.
“Kalau ibu, terserah sama kamunya saja. Kan, yang menimba ilmu dan yang mencari pengetahuan itu kamu. Ibu cuma berharap, semoga keputusanmu nanti bisa berdampak baik bagi diri kamu juga bagi bapak dan ibu” ujar Fitri dengan nada bicara yang lembut.
Bagaimana pun, Fitri tidak teringin kalau anaknya tertekan dan berat hati kalau ia memaksa untuk sekolah di jenis yang mana. Tapi, kalau diperintah untuk mengusulkan, Fitri lebih mendukung agar Fatimah bersekolah di SMP Negeri. Tapi, kalau Fatimah inginnya ke SMP Swasta, Fitri bisa apa?
“Bapak, pengin kamu sekolah ke SMP Swasta saja” ucap Fajar, bapak Fatimah dengan tegas. Fatimah yang sedari tadi hanya menunduk, dan tak berani mendongakkan kepala, langsung menatap mata teduh milik Fajar yang tersirat akan ketegasan. Fatimah bimbang, ia sendiri teringin bersekolah di SMP Negeri. Tetapi, ia juga tak tega kalau harus menolak keinginan bapaknya.
“T-tidak mau pak, impian Fatimah ingin sekolah di SMP Negeri” lirih Fatimah dengan menundukkan kepalanya lagi. Mendengar itu, membuat Fajar marah. Berani sekali, putri yang selalu menuruti kemauannya sedari dulu, kini menolaknya secara terang terangan. Ia menghela nafasnya, masih ingin bersikap lembut pada Fatimah. Ia tak ingin, membuat hati Fatimah terluka.
“Bapak tidak setuju. Kamu kan tahu, jarak rumah kita dengan SMP Negeri itu jauh. Pastinya harus memakai kendaraan untuk bisa sampai. Kalau sewaktu waktu bapak tidak bisa mengantar kamu ke SMPN, mau bagaimana? kamu kan jadi kelimpungan. Nungguin angkot yang lama, juga harus ngongkos untuk berangkat sama pulang. Mending uangnya buat jajan sama nabung. Pokoknya pilih, mau SMP Swasta atau tidak lanjut sekolah” terang Fajar lalu menyesap kopi yang beberapa menit lalu dibuatkan oleh istrinya.
“Tapi pak, Fatimah gak suka di SMP Swasta. Di situ emang lebih deket, jalan kaki beberapa menit pun sampai. Tapi, di situ cuma ada temen temen Fatimah yang lama, yang dulu sekelas sama Fatimah pas SD. Fatimah ingin, cari temen baru dan pengalaman baru. Masak sih, setiap ke sekolah ketemunya sama temen temen itu mulu!” ujar Fatimah dengan nada bicara yang sedikit jengkel. “Fatimah..” panggil Fitri menggeleng sambil memegang bahu Fatimah. “Maaf bu, pak” ujar Fatimah lalu semakin menundukkan kepalanya. Ia sadar, tidak boleh berbicara dengan nada yang tak mengenakkan dengan orangtua. Apalagi sampai membuat hati mereka terluka dan sakit.
“Pak.. coba kita ikutin apa maunya Fatimah. Kasihan dia pak. Sedari dulu selalu dipaksa buat jadi ini dan itu. Sesekali, denger apa yang dirasakan sama Fatimah. Bapak jangan terlalu egois gitu pak. Inget, anak kita cuma Fatimah satu satunya. Jadi, bapak gak boleh bikin Fatimah kecewa, dengan selalu paksa dia buat nurutin apa kemauan bapak. Fatimah juga sudah besar pak, harus bisa nentuin pilihan dan keputusannya sendiri” terang Fitri dengan lembut, sambil menatap ke arah suaminya dengan intens.
Fajar terdiam sesaat, melihat Fatimah dan juga Fitri. Ia bingung dan bimbang. Fajar terus bermonolog di dalam hati dan pikirannya, agar dapat memutuskan, Fatimah akan bersekolah di SMP Negeri, atau di SMP Swasta. Setelah beberapa menit, Fajar yang tak kunjung menemukan titik terang pun, mengehela nafas dengan berat. Fatimah yang mendengar bapaknya menghela nafas berat pun mulai terisak. “Pak, kalau Fatimah harus ke SMP Swasta, tidak apa apa, Fatimah In Sya Allah ikhlas” ujar Fatimah sambil menatap Fajar dan juga Fitri secara bergantian.
Dan Fitri yang melihat Fatimah mulai menangis pun, langsung memeluk putrinya dengan erat. Memberikan semangat dan dukungan. Fitri menatap kecewa pada Fajar. Fajar tertegun, menatap putrinya yang rela mengubur dalam dalam impiannya untuk bersekolah di SMP Negeri karna tak ingin membuat ia merasa kecewa. Dan akhirnya, Fajar memutuskan pilihan dimana Fatimah akan melanjutkan sekolahnya.
“Bapak izinkan Fatimah untuk sekolah di SMP Negeri, kalau itu yang diinginkan oleh Fatimah” ucap Fajar. Membuat Fatimah melepas pelukannya, dan mendongak, menatap Fajar dengan mata yang berbinar bahagia. “Beneran gak apa apa pak?” Tanya Fatimah sekali lagi, dengan tangisnya yang mulai mereda. Fajar menganggukkan kepalanya dengan senyum yang mengembang. Lalu ia pun merentangkan tangan, agar Fatimah dapat ia dekap. Fatimah yang melihat bapaknya ingin memeluknya pun, langsung menangis kencang. Lantas, berlari ke Fajar dan memeluk bapak kesayangannya itu. “Terimakasih pak!” Ujar Fatimah sembari mengeratkan pelukannya. Fajar tersenyum, “maaf ya nak, selalu paksa keinginan bapak ke kamu” ujar Fajar dengan tulus lalu mengecup puncak kepala Fatimah.
Fitri yang melihat interaksi antara suami dan anaknya itupun, tersenyum dan meneteskan air mata bahagia. Dari sini, Fajar tak pernah lagi memaksa agar Fatimah menuruti keinginan yang bisa membuat Fatimah merasa kecewa. Ia akhirnya menyadari, bahwa keputusan Fatimah juga penting untuk keputusan yang akan berdampak di masa depan putrinya itu. Asalkan berdampak positif, Fajar pasti akan menyetujuinya.
Cerpen Karangan: Feby Nur Aliza