Aku percaya pada sebuah ungkapan bicara adalah berlian, maka aku melantangkan suara menentang keputusan orangtua yang menjadi petaka dari sebuah perkara. Perkara perjodohan kakak.
“Sudah diputuskan, Herlin akan menikah dengan lelaki pilihan kami,” ucap ayah. “Tidak bisa begitu, Kak Herlin sudah punya pacar!” ucapku tegas. “Ini demi kebaikan Herlin!” “Apa Ayah tidak melihat, sejak Ayah dan Ibu mengambil keputusan ini, Kak Herlin tampak tertekan. Sekarang saja dia tidak berani bilang yang dia mau. Apa Ayah tidak mau mendengar isi hati putrimu? Sampai kapan pun, aku akan menolak ini. Aku ingin kakak bahagia dengan pria yang dicintainya. Aku sudah bisa paham perkara cinta jadi, tolong berikan kakak kesempatan untuk bicara kali ini saja. Kakak, ayo bicara!”
Aku melirik kakak perempuanku, Herlin yang hanya tertunduk sambil memainkan jari. Mendung menyelimuti seluruh wajah kakakku itu. Gerakan tenggorokannya yang naik turun menelan ludah seakan ingin mengumpat. Alih-alih mengumpat, Kak Herlin memilih menangis. Mengeluarkan bulir bening yang sudah sejak tadi menyembul di pelupuk mata dengan kornea cokelat itu.
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi tirusku ini. “Kamu keterlaluan, Reyhan. Kamu sudah banyak menentang kami, jadi kali ini diam sajalah!” Setelah berkata seperti itu dengan nada yang tinggi, ayah melenggang ke kamar disusul ibu.
Daun yang bergoyang dan suara rintik hujan yang menimpa genteng memecah suasana hening antara kami saat menenangkan diri di beranda rumh. Kak Herlin duduk bersila tanpa melepas pandangan ke langit gelap, seperti suasana hatinya saat ini.
“Aku udah berusaha bilang pada ayah dan ibu tapi, mereka tetap saj-.” “Tidak apa-apa, tidak baik menentang orangtua.” Kak Herlin mengalihkan pandangannya ke arahku, sebelum aku menyelesaiakan kalimat.
“Aku sungguh ingin Kakak bahagia dengan pria yang Kakak cinta tapi, aku tidak bisa bicara lagi. Kakak tahu sendiri kalau ayah sudah menampar itu artinya aku harus bungkam.” Kak Herlin menyentuh pipi kananku yang ditampar ayah, mengelusnya dengan lembut. “Terlalu banyak menyuarakan isi hatimu kadang akan membuatmu kesakitan, sesekali kamu harus diam, Reyhan!” ucapnya lembut diiringi senyum terpaksa.
“Maaf ya, aku tidak bisa melindungi kakak. Aku tidak bisa mengatakan hal yang sebenarnya kakak mau pada ayah dan ibu. Ayah yang memaksakan ambisinya agar kakak menikah dengan pria yang sama sekali tidak kakak kenal. Akan lebih baik tidak punya orangtua!” Tiba-tiba kakak memukul kepalaku. “Aduh!” “Jangan bicara begitu, mereka adalah orangtua kita. Pasti mereka mau yang terbaik.” Kak Herlin masih saja menunjukkan hormatnya pada mereka. Padahal, dia sendiri tersiksa dengan pemaksaan ini.
Dibanding diriku sendiri, aku jadi kasihan pada Kak Herlin yang menurut kata mereka. Tak pernah sekalipun membangkang sekalipun hati Kak Herlin meronta. Mata bulatnya yang berbinar belakangan ini berubah menjadi sayu karena tertekan. “Tapi kakak terlalu memendamnya!” Aku menatap ke dalam mata sembab Kak Herlin.. “Bukankah menyakitkan kalau kakak tidak bisa mengatakannya? Bukankah itu sangat-.” Kalimatku terhenti ketika Kak Herlin mengacungkan telunjuk dan menempelkannya pada bibirku. ”Ssssst, diam adalah emas tapi, bicara adalah berlian. Untuk mendapatkan berlian, kamu harus membayar dengan sesuatu yang mahal!” bisiknya sambil tersenyum getir. Jarak wajah Kak Herlin dengan wajahku hanya beberapa senti saja. Malam menjadi begitu dingin diiringi bersamaan dengan hujan yang semakin deras kemudian menghentikan percakapan kami.
Hari berikutnya, pagi datang dengan begitu menyakitkan. Aku melihat tubuh kakak sudah tergantung dengan seutas tali pada batang pohon mangga di kebun belakang rumah. Untuk sesaat, jantungku berhenti, cangkir kopi di tanganku yang masih hangat mendadak terasa dingin menyaksikan tubuh kakak yang membiru, matanya sudah melotot. Dalam balutan pakaian yang dikenakannya semalam tubuh Kak Herlin kaku. Seluruh tubuhku gemetar.
Awalnya aku ingin menurunkan tubuh Kak Herlin tapi, aku mengurungkan niatku dan segera berlari ke dalam rumah untuk memanggil ambulans serta polisi.
Lima orang dari kepolisian dan empat orang petugas ambulans sudah ada di kebun belakang rumahku. Ada juga beberapa tetangga datang untuk menyaksikan evakuasi jenazah kakak. Dadaku rasanya ditusuk oleh sesuatu yang tajam saat tubuh kakakku yang kaku itu diturunkan, tubuhku serasa lemas. Diantara kerumunan itu, aku melihat sedikit wajah kakakku yang pucat. Ayah dan Ibu baru tiba saat jenazah Kak Herlin sudah masuk ke mobil ambulans. Mereka ikut ke rumah sakit. Sementara aku masih berdiam diri di beranda belakang setelah semuanya pergi.
“Ssssst, diam adalah emas tapi, bicara adalah berlian. Dan untuk mendapatkan berlian, kau harus membayar dengan sesuatu yang mahal!” Kalimat Kak Herlin semalam terngiang di kepalaku.
Tepat di beberapa jam setelah upacara pemakaman Kak Harlin, aku yang masih terguncang dengan kepergiannya secara tidak sengaja menemukan sebuah surat di laci meja kerja.
Untuk Reyhan Kamu sudah sering membelaku di depan ayah dan ibu. Kalau diingat, kamu sudah membelaku sejak kamu duduk di kelas tiga. Kalimat-kalimat pembelaanmu yang kamu lontarkan untuk membelaku itu terkesan sangat dewasa dan aku berpikir mungkin kamu cocok jadi pengacara. Namun, kamu terlalu sering membelaku bahkan untuk kesalahan kecil yang kubuat di depan orangvtua kita sehingga kamu jadi terkesan durhaka.
Lalu puncaknya adalah malam itu. Sekalipun kamu meninggikan suaramu demi aku yang akan dijodohkan, rasanya itu sangat keterlaluan. Kamu rela membuang energimu untuk hal yang sudah jelas ujungnya. Meski maksudnya baik, kamu tidak bisa menentang semuanya, Reyhan!
Jujur, aku iri karena aku tidak punya keberanian mendebat sepertimu. Kamu begitu percaya dengan ungkapan ‘bicara adalah berlian’ dan telah beberapa kali membuktikannya padaku tapi, aku percaya dengan ungkapan yang kubuat: “Jika bicara adalah berlian, maka kamu harus membayar dengan ‘sesuatu’ yang mahal!” Bukannya aku tidak mau bicara malam itu, tapi karena ungkapan itulah yang membuatku menelan kembali kalimat pertentangan yang sudah di ujung lidah. Terima kasih karena selalu membelaku
Herlin
Kakak Herlin … Dia sudah salah mengerti tentang ungkapan yang dia buat sendiri.
Cerpen Karangan: Ursa Mayor Blog / Facebook: Omang Yayuz