Sempurna, kata yang tidak bisa diterapkan pada manusia, walaupun sering kali kita melihat seseorang lalu berkata “wah hidupnya sempurna banget”. Dimata orang-orang, manusia yang sempurna adalah manusia yang mempunyai paras elok, keluarga lengkap, keuangan yang terjaga, dewasa, serta dikenal banyak orang. Tetapi, apakah mereka tahu apa yang sebenarnya manusia sempurna itu rasakan? Dan apakah mereka peduli?
—
Angin berhembus kencang, meniup rambutnya yang panjang hitam legam. Matahari pagi menyinari wajahnya yang cantik jelita. Penampilannya yang berwibawa dan elegan membuat semua mata tertuju padanya. Cahaya, nama yang dimiliki perempuan dengan paras menawan itu. Seperti namanya, Cahaya selalu tampak bersinar. Perempuan yang duduk dibangku kelas 3 SMP itu, selalu menarik perhatian orang lain. Cahaya berjalan menyusuri lorong sekolah, menyapa teman di kanan dan di kiri.
“Wah, bintang utamanya udah dateng nih” sambut Rahayu ketika Cahaya masuk ke kelasnya. Cahaya hanya tertawa lembut mendengar sambutan teman terbaiknya itu.
Bel berbunyi menandakan kelas akan dimulai. “Selamat pagi anak-anak” sapa Bu Salma, guru seni budaya. “Pagi bu” jawab murid-murid kelas. Seni budaya merupakan pelajaran favorit Cahaya. Sesuatu tentang seni selalu menarik perhatiannya.
—
“Halo kak Cahaya” sapa seorang adik kelas. “Oh, haii” jawab Cahaya, sambil tersenyum ramah. Cahaya dikenal sebagai siswa yang ramah dan sopan oleh semua orang, baik itu kakak kelas, adik kelas, guru, ataupun karyawan sekolah.
Bel istirahat sudah berbunyi sejak 5 menit yang lalu, kini Cahaya dan Rahayu berada di kantin. “Tau ga sih Cay, temen-temen sekolah gue yang dulu pada pingin kenalan sama lo tau” ucap Rahayu, membuka percakapan. “Gue ngerti sih alasannya, temen gue yang satu ini emang gak terkalahkan cantiknya” lanjut Rahayu, sambil menyikut lengan Cahaya. “Lo ada maunya ya?” tanya Cahaya. “Yeuu gue muji lo dikit langsung dikira ada maunya. Eh tapi kalo lo mau beliin gue make up baru ayo sih” canda Rahayu. Keduanya pun tertawa lepas. Saat-saat seperti ini memang menyenangkan. Cahaya tidak mau momen seperti ini berakhir.
Saat untuk pulang sekolah pun tiba, Cahaya seperti biasa dijemput oleh supirnya. “Balik ke rumah lagi deh” ucap Cahaya dalam hati. Rumah yang sekarang ia tempati tidak terasa seperti rumah.
Cahaya pulang disambut oleh adiknya, Kamala. Gadis kecil berusia 10 tahun itu, jarang sekali mendapatkan kasih sayang dari orangtua mereka. Orangtua Cahaya adalah orang sibuk yang jarang ada di rumah. Cahaya hanya di rumah bersama Kamala, mengharuskan Cahaya menjadi orangtua kedua bagi Kamala. Cahaya berusaha sangat keras agar Kamala tidak kekurangan kasih sayang. Tetapi, seberapa keras Cahaya berusaha memperkenalkan Kamala banyak cara untuk menyayangi, tetap Cahaya tidak akan pernah bisa memperkenalkan Kamala dengan kasih sayang orangtua. Karena sampai saat ini Cahaya pun tidak tahu.
Banyak orang yang sering berkata “Cay, hidup lo sempurna banget sih, muka cantik, duit ga pernah habis, temen banyak” Cahaya hanya membalas dengan senyuman. Andai saja mereka tahu apa yang ia rasakan.
Cahaya hidup dengan kehidupan yang sudah direncanakan setiap menitnya oleh orangtuanya. Mungkin itu hal yang bagus, mempunyai masa depan yang jelas dan terstruktur, tapi terkadang itu adalah sebuah tekanan yang cukup besar untuk Cahaya. Cahaya dibesarkan untuk menjadi perempuan mandiri dan tahan banting. Cahaya berterima kasih kepada orangtuanya karena hal itu. Tetapi terkadang ia juga ingin merasakan kasih sayang orangtua dengan cara yang lembut.
Bukanlah hal yang mudah bagi seorang anak perempuan berumur 8 tahun untuk selalu diharapkan menjadi seorang anak yang selalu memiliki nilai tertinggi, untuk selalu bersedia menjadi harapan pertama orangtuanya. Cahaya hidup dengan tekanan ekspetasi yang luar biasa besar yang diberikan orangtuanya. Ekspetasi untuk tumbuh menjadi seorang perempuan mandiri, dewasa, tahu mana yang baik dan yang tidak. Ekspetasi bahwa ia akan selalu membawa nama keluarganya di punggungnya. Hal ini sudah terlintas dan ditanamkan di kepala Cahaya sejak ia berumur 8 tahun.
Cahaya menghembuskan napas perlahan. Ia berjalan ke ujung kamar, mengambil sebuah kanvas, cat dan kuas, lalu duduk didepan easel* dan mulai menata kanvas diatas easel*. Cahaya adalah orang yang susah untuk mengungkapkan rasa sedih dan sakit. Ia melukis sebagai ungkapan isi hatinya. Lukisannya memang terlihat seperti lukisan abstrak yang tak berarti. Tapi bagi Cahaya, lukisan abstrak itu mempunyai sejuta cerita dibaliknya.
*Easel/standing adalah alat penyangga untuk kanvas.
—
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Cahaya sudah kelas 3 SMA. Ia berada di sekolah yang berbeda dengan sahabat karibnya, Rahayu. Tetapi, itu tidak menandakan Cahaya hilang kontak dengan Rahayu. Cahaya mempunyai teman baru di SMA. Namanya Dita, Adinda, dan Maharani. Cahaya tetap menjadi seorang perempuan yang selalu menarik perhatian orang-orang di sekitarnya
“Cay, lo mau kuliah jurusan apa?” tanya Maharani. “Gue sih pinginnya seni rupa, tapi ga tau ayah gue bolehin atau engga” jawab Cahaya. “Lah, kan lo suka ngelukis dari dulu. Orangtua lo ga tau?” tanya Dita. “Tau, cuman ya ga dukung” jawab Cahaya. Ya, orangtua Cahaya tidak pernah mendukung bakat Cahaya dalam melukis. Mereka hanya berkata “Tidak berguna” atau “Mau jadi apa kamu kalo ngelukis terus?”. Cahaya ingin membuktikan kepada orangtuanya bahwa melukis itu berguna dan benar-benar membuatnya bahagia. Tetapi, darimana Cahaya akan mendapatkan semangat, jika pada saat ia menunjukan karyanya pada orangtuanya, hanya dijawab ketus dan berakhir ceramah akan masa depan Cahaya?
Saat untuk memilih jurusan dan tempat kuliah pun tiba. Cahaya memilih jurusan seni rupa, tanpa sepengetahuan orangtuanya. Cahaya mengikuti SNMPTN untuk masuk ke jurusan seni rupa. Ia pun diterima. Betapa senangnya Cahaya pada saat ia tahu. Kamala, Rahayu, Dita, Adinda, dan Maharani pun tak kalah senang dan bangga ketika mengetahuinya. Sekarang yang ia perlukan adalah persetujuan dari orangtuanya. Yang pastinya tidak akan mudah.
—
“Siapa yang suruh kamu masuk jurusan seni rupa?!” bentak ayah Cahaya. “Pelukis itu bukan pekerjaan yang jelas Cahaya!!!” lanjut ayahnya. “Tapi yah, aku beneran seneng bisa keterima di jurusan itu. Ini minat aku yah. Aku suka ngelukis dan aku mau serius. Aku cuman butuh ayah sama ibu-” “MAU JADI APA KAMU KALO NGELUKIS TERUS?!” potong ayah Cahaya. “Ayah dan ibu kerja biar kamu sekolah buat jadi orang sukses, orang penting Cahaya. Bukan hanya untuk menjadi seorang pelukis”. Cahaya menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca, lalu menatap ibunya. Diam, itu yang dilakukan oleh ibunya sejak ia kecil. Diam menatap Cahaya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Tatapan yang seharusnya tidak pernah ditunjukan oleh seseorang yang menyayanginya.
“Sebenernya ayah sama ibu ingin anaknya senang apa enggak sih? Aku capek yah, bu. Harus selalu memenuhi ekspetasi ayah dan ibu, harus selalu jadi yang terbaik. Selama ini aku selalu nurut sama ayah dan ibu. Aku ga pernah ngeluh. Cara aku berekspresi itu ngelukis yah, bu. Aku ngeluapin semua emosi aku dalam lukisan. Cuman lukisan yang tau semua cerita aku.” Tangisan Cahaya pecah saat itu juga. Topeng yang Cahaya buat hancur seketika. Perempuan yang selalu memasang muka ramah dan manis itu berubah menjadi perempuan bermuka sedih dan tak berdaya. Cahaya pergi meninggalkan orangtuanya yang mematung, berusaha memproses kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Cahaya.
Malam itu, yang ada di kepala Cahaya hanya pergi. Pergi dari tempat yang membuatnya muak. Pergi ke tempat yang lebih tenang.
—
“Nak Cahaya, mau pulang kapan nak?” tanya nenek Cahaya. Cahaya pergi ke rumah neneknya. Tempat dimana ia merasa aman. Tempat yang selalu menjadi tujuan pertama saat Cahaya ingin kabur. “Ga tau nek, aku ga mau ketemu ayah ibu.” Nenek Cahaya menghembuskan napas pelan lalu duduk di sebelah Cahaya. “Nak, kalo ada masalah itu, dihadapi nak. Jangan malah kabur. Nenek yakin, ayah dan ibumu pasti punya alasannya yang jelas, kenapa mereka memperlakukanmu seperti itu nak. Menjadi orangtua itu tidak mudah. Harus terus belajar. Pulang ya nak…” ucap nenek Cahaya. Cahaya tidak pernah berpikiran seperti itu sebelumnya. Tepat setelah nenek Cahaya mengatakan itu semua, telepon genggam Cahaya berbunyi. Muncul nama “Kamala” diatasnya. Cahaya pun mengangkat telepon itu.
“Ada apa Kamala?” “Kak, kakak dimana? Kakak baik-baik aja kan? Aku takut kakak kenapa-napa” Mendengar itu hati Cahaya retak. Tak hanya membentak orangtuanya, ia juga membuat adiknya cemas. “Kakak gapapa dek. Kakak di rumah nenek. Kakak pulang sekarang. Tunggu ya, maaf udah bikin adek khawatir” Dengan itu, tertutuplah percakapan mereka lewat telefon itu.
Kembalilah Cahaya ke rumah yang mempunyai sebagian besar kenangan tidak menyenangkan bagi Cahaya. Cahaya menelan ludah, melangkah masuk rumah. Kamala yang mendengar suara pagar rumah berbunyi, langsung berlari keluar dan memeluk kakak satu-satunya itu. Berdua, mereka masuk ke rumah. Ayah dan ibunya sudah menunggu di ruang keluarga mereka. Wajah mereka menampilkan rasa bersalah.
“Ayah minta maaf ya nak, ayah ga pernah berpikir seperti itu. Maafin ayah ya nak.” ucap ayahnya. “Ibu juga minta maaf. Maaf ibu belum bisa menjadi ibu yang baik. Maaf ibu hanya diam saja saat kamu terluka. Ibu minta maaf ya nak.” lanjut ibu. Cahaya tidak mengatakan apapun. Ia hanya berlari menuju mereka dan langsung memeluk mereka. “Maaf Cahaya belum bisa menuhin ekspektasi ayah ibu. Maaf Cahaya belum bisa ngertiin ayah ibu, maaf Cahaya belum bisa menjadi anak yang ayah ibu mau.” isak Cahaya. “Gak apa nak, lakukan semua hal yang bikin kamu seneng ya” ucap ayah Cahaya. Cahaya tersenyum. Cahaya sudah menunggu-nunggu ayahnya mengatakan itu. Cahaya melepaskan pelukan, berjalan ke arah Kamala. Cahaya berlutut, berusaha menyeimbangi tinggi badan mereka. “Kamala, kakak minta maaf ya, belum bisa jadi kakak yang bisa Kamala banggain, belum bisa jadi kakak yang baik. Maaf ya kakak kadang bikin Kamala sedih, takut, khawatir. Maaf ya dek.” ucap Cahaya. Kamala pun ikut menangis dan memeluk Cahaya. Ayah dan ibu pun ikut memeluk kedua badan anaknya.
Kita semua tahu, bahwa hidup tidak akan selalu berjalan lurus. Tidak ada manusia sempurna di hidup ini. Tidak ada manusia yang tidak pernah merasakan rasa sakit. Setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap manusia memiliki batas emosionalnya sendiri-sendiri. Kita tidak pernah tahu apa yang dirasakan oleh seseorang. Maka dari itu, berpikirlah sebelum berbicara dan jangan melihat seseorang hanya dari luarnya saja.
Cerpen Karangan: Mahira Felicita Keila Mahira Putri adalah penulis cerpen pemula yang berasal dari sekolah SMP Tarakanita 1 Jakarta.