Namaku Vesti. Pagi hari, aku dibangunkan ibuku. Sambil menjalankan kursi rodanya ibuku berkata “ayo nak bangun, sholat subuh”, kemudian aku beranjak dari tempat tidurku. Aku sangat sayang kepada ibuku. Ibuku adalah seorang disabilitas. Ibuku hanya memiliki satu kaki saja dikarenakan kecelakaan yang menimpa kita bertiga.
Ayahku telah meninggal pada saat kecelakaan itu dan kini aku hanya tinggal bersama dengan ibuku. Setiap hari ibuku hanya berjualan nasi bungkus keliing. Dan ibuku juga menitipkan sekotak yang berisi sekitar 10 bungkus.
Aku menjualnya saat jam istirahat tiba, disaat teman temanku sedang enaknya makan jajan bersama di kantin, aku hanya berjualan keling dari kelas ke kelas. Terkadang aku juga dipanggil ibu guru, biasanya ibu guru memborong semua sisa jualan ku, namun hari ini tidak. Nasiku masih sisa sembilan.
Aku yang capek pun duduk sejenak di teras kelas. Aku menatap nasi jualanku itu. Aku hanya bingung, sebentar lagi bel masuk berbunyi, namun jualanku masih banyak. “Harus dikemanakan ini nasi” kataku dalam hati.
Beberapa saat kemudian bel masuk berbunyi. Dengan hati yang gelisah, aku berjalan menuju ke kelas. Di kelas, jualanku aku taruh di laci meja. Aku mendengarkan pelajaran dengan baik, “aku ingin mewujudkan cita citaku, jadi aku harus semangat” ungkapku dalam hati.
Saat bel pulang tiba, aku membawa pulang kembali nasi bungkus itu. Di jalan aku bertemu ibuku. “buk maaf, jualannya nggak laku” kataku.”nggak papa, jualan ibu juga belum laku banyak, sini biar ibu aja yang bawa, kamu pulang saja istirahat” balas ibuku. “Iya Bu, sekalian aku izin ya Bu, nanti sore aku kerja kelompok” kataku. “iya, hati hati ” jawab ibuku
Sorenya, aku kerja kelompok bersama di rumah temanku, Vivin namanya. Saat aku mengerjakan tugas, tiba tiba ada suara diluar “nasi bungkus, nasi bungkus”. Temanku bertanya “eh, kalian mau gak nasi bungkus, enak Lo”. Vivin mengambil uang dan keluar rumah membeli. Perasaanku sudah tidak enak, aku mengintip di jendela rumah temanku. Dan ternyata benar, yang jualan adalah ibuku.
segera kembali ke ruang tengah temanku. Titi temanku bertanya “dari mana vest?”. Aku menjawab “ohh, aku bersin tadi di luar”. Vivin kembali membawa 4 nasi bungkus. Sambil menyiapkan piring dan sendok, Vivin berkata “kasihan orang itu, dia cacat tapi sangat semangat dalam berjualan, entah kemana anaknya, kok teganya meninggal orangtuanya sendirian”. Aku hanya tertegun mendengar perkataan Vivin itu.
Titi pun menyantap sesuap nasi. “Hemmm, enakk banget” katanya. “Mungkin mereka berdua belum tahu kalau penjual nasi bungkus ini ibuku, karena mereka mengira bahwa yang membuat nasi bungkusku adalah nenekku, karena aku pernah berkata pada mereka bahwa ibuku telah meninggal saat kecelakaan” pikirku.
“Aku suka ini nasi, karena rasanya sama dengan punyamu Ves”. Kata Vivin. Aku hanya tersenyum kecil kepadanya. Lama kelamaan aku merasa malu menjadi penjual nasi bungkus. Aku seperti tidak lagi memiliki rasa sayang kepada ibuku. Aku juga sudah tidak mau lagi dititipi ibu nasi bungkus lagi.
Suatu pagi, ibuku berkata “nak, kalau kamu gak mau ibu titipi lagi gak papa, tapi doakan ibu ya nak ya, agar jualannya laris”. Aku tak mendengarkan perkataan ibu dan langsung berangkat sekolah tanpa berpamitan. Di sekolah, saat ada pendataan bantuan anak yatim/piatu. Ketua kelasku mencatat namaku di listnya. Namun aku tidak mau, aku beralasan masih mampu, lebih baik diberikan yang lain saja. Saat pendataan, teman temanku mengetahui nama ibuku. Vivin temanku bertanya, “eh nama Bu Sulastri bukannya penjual nasi bungkus langgananku itu ya.” Aku hanya diam saja dan hatiku sangat berdebar. “Beruntung teman teman percaya bahwa ibuku telah meninggal dunia, jikalau mereka tau, pasti aku bakal diejek ejek satu kelas”. Kataku dalam hati.
Saat perjalanan pulang, aku berjalan bertiga bersama kedua orang temanku. Saat sampai di perkampungan, aku melihat ibuku dari kejauhan sambil menjajakan dagangannya. Aku sangat bingung waktu itu, “semoga aja ibu gak melihatku”. kataku dalam hati. Eh ternyata saat dekat, sambil menjalankan kursi rodanya. ibu menyapaku dengan kata kata “eh Vesti, udah pulang ya, tadi kunci rumah ibu taruh di bawah keset” Sontak pipiku memerah karena marah bercampur malu. Aku hanya membuang muka, Ibu pun meninggalkanku, temanku bertanya “siapa itu Ves?”. ‘Ohhh, itu tetanggaku, biasanya ambil nasi bungkus di nenekku, dia juga sering ke rumah” kataku. “Ooh berarti kamu tetanggaan sama dia?, kalau gitu kok kamu diam saja saat aku bicara tentang orang itu saat kerja kelompok “Udah ah, jangan dibahas”.Aku dan temanku melanjutkan perjalanan pulang ke rumah masing masing.
Aku menunggu ibu di rumah, aku sangat berharap untuk memarahinya, aku ingin melampiaskan semua kekesalanku ini. Sampai sore aku menunggu, namun ibu tak kunjung balik pulang, tiba tiba kudengar sirine ambulan lewat di jalan, aku hanya memandangnya melintas ke arah selatan. Aku tak berpikir apa apa waktu itu.
Sesaat kemudian, Bu Wati, tetanggaku berlari sambil berteriak menuju rumahku.”Vesti, Vesti ibumu tertabrak mobil nak, ibumu kecelakaan nak!!”. Aku terkejut terkaget kaget. Ambulan datang ke rumah yang membawa jasad ibuku yang tidak bernyawa lagi
Pada saat itu tangisanku tak terbendung lagi, Aku berteriak sekencang mungkin saat itu, rasanya hati ini pecah. Pada saat itu, aku menyakiti perasaan ibu, aku tidak mau membantunya berjualan, aku bahkan tidak menganggapnya sebagai ibuku. Aku malu memiliki ibu sepertinya.
“Ibuuuuuu, bangun ibuuuu” tangisku tak kunjung berhenti.
Sesaat kemudian, Prosesi pemakaman pun selesai. Hanya tinggal aku sediri di makam, “Ya Allah, Ya Rabb ampunilah hambamu ini, ampunilah Ya Rabbi, hamba ini telah durhaka kepada orangtua hamba ya Rabb” doa dalam tangisku. Air mataku terus mengalir, menetes ke tanah. Sambil kuelus nisan makam ibuku, seraya memohon maaf, “ibu maafkan anakmu ini, aku belum bisa membahagiakanmu ibu, aku hanya beban bagimu, aku hanya sumber masalah bagimu”.
Hargailah selalu perjuangan ibu, kasih ibu sepanjang masa, kasih anak hanya cerita. Sayangi ibumu walaupun dengan keadaan bagaimanapun, karena itulah surgamu teman. Jangan sesekali kamu sakitkan hatinya, agar tiada sesalnya kita.
Cerpen Karangan: Rahmat tegar aji, SMPN 1 puri Blog / Facebook: Ig:rahmataji91 Rahmat tegar Ajiii SMPN 1 Puri 9 A