Kelas 11 akan sepi tanpa si biang tawa canda. Itulah sebutan untuk Aliyah, Ilham, Husein dan Sisca. Mereka bersahabat dari kelas 10. Aliyah dan Sisca teman sejak SMP.
Aliyah berasal dari Mojoagung. Tetapi sejak kecil ia pindah ke Mojokerto karena kedua orangtuanya bekerja di Mojokerto. Sisca adalah keturunan Tionghoa Muslim. Mata sipit dan berkulit putih. Beda dengan si Husein, si hitam manis yang selalu bicara dengan volume tinggi. Dia pindahan dari Bangkalan Madura. Yang terakhir adalah Ilham, asli Mojokerto.
Keempat sahabat itu selalu ceria. Ada saja hal hal sederhana yang dapat dijadikan bahan candaan. Walau demikian saat jam pelajaran mereka sangat serius.
Suatu hari Aliyah tidak masuk sekolah, ayahnya masuk ruang ICU karena DB dan butuh transfusi darah. “Persediaan darah di RS habis”, kata suster. “Darah saya saja suster, golongan darah saya O “, kata bunda. Aliyah sambil berkaca kaca sedih. “Tetapi kondisi ibu sedang demam. Sebaiknya ibu istirahat dulu”, jawab suster. Bunda Aliyah memang kecapekan bahkan kini batuk batuk. “Kalau begitu coba saya saja bu suster”, jawab Aliyah. “Boleh, ayo… sini saya periksa”.
Sekian menit kemudian suster itu keluar dari ruang kerjanya sambil membawa catatan. “Nona Aliyah”. “Ya, saya bu..”, jawab Aliyah seraya berjalan mendekat. “Maaf, golongan darah nona Aliyah tidak cocok”. “Ha… Golongan darah saya apa?”. “Golongan darah A”. Mendengar jawaban itu sontak Aliyah lemas dan terdiam. Tampak raut mukanya pucat bibirnya bergetar. “Golongan ayah bunda O mengapa aku A”, guman Aliyah sembari duduk lemas dan menangis.
Lamunannya segera pecah saat ia dengar suara bundanya memanggil. “Aliyah… Aliyah, Alhamdulillah ayah sudah dapat donor darah dari om Ahmad”. Om Ahmad adalah adik ayah yang baru tiba dari Banjarmasin.
Aliyah melihat ayah dari kaca ruang ICU tersenyum padanya. Seakan akan ingin sampaikan kepada keluarganya bahwa ia baik baik saja dan akan segera pulih. Bunda Aliyah meminta Aliyah pulang ke rumah bersama om dan tante Ahmad.
Sepanjang perjalanan Aliyah diam seribu bahasa. Om Ahmad terus mengawasi Aliyah dari kaca spion mobil. “Aliyah, boleh ya tante bermalam di rumahmu?”, tanya tante Ahmad “Ya, tentu te. Terima kasih telah menjenguk Ayah. Dan terima kasih Om telah donor darah untuk Ayah”. “Ya, sama sama Aliyah”, sahut Om Ahmad. “Oh yaa. Kalau adik Alifa tidak ada kegiatan pasti akan ikut kesini”. Alifa adalah satu satunya putri om Ahmad.
“Aliyah… ada apa? Kita sudah sampai. Ayo turun. Bukankah Aliyah yang bawa kunci rumah?” “Iya te…”, jawabnya terburu buru. “Ya Allah… kenapa air mataku terus menetes”, guman Aliyah dalam hati.
Om dan Tante Ahmad diam saling pandang dan mengikuti langkah kaki Aliyah masuk rumah. Mereka berusaha mengerti kesedian Aliyah. Om Ahmad segera bersih bersih rumah, sedangkan Te Ahmad memasak untuk makan malam dengan bahan seadanya di lemari es.
Aliyah masuk kamar menyalakan musik, agar tangisannya tidak terdengar ke luar kamar. Dibenamkan mukanya ke tumpukan bantal dan menangis. Pikirannya bercampur dengan beribu ribu pertanyaan. Apakah ia anak pungut? Lalu siapa orangtuanya? Ataukah ia bayi tertukar di Rumah Sakit? Atau bagaimana?
Terdengar ketukan pintu kamar dan suara te Ahmad. “Aliyah… Sudah shalat magribkah? Kalau sudah ayo kita makan malam”. “Ya te.. ”
Aliyah segera mengikuti kata kata tantenya. Dan duduk di meja makan bersama Om Tantenya. “Nak, matamu sembab. Ayah Aliyah insyaallah akan segera sembuh”, kata Om Ahmad. Aliyah hanya mangangguk. “Ini ada sup ayam plus perkedel kentang, makanan favorit Aliyah kan?”, kata Te Ahmad. Sekali lagi Aliyah hanya mengangguk.
Sampai Om dan Te Ahmad selesai makan, tak sesendokpun makanan favorit itu masuk mulut Aliyah. Ini membuat Om dan Tantenya keheranan. “Adakah yang mengganggu atau mengganjal hati Aliyah?” Sekian menit berlalu, tak ada kata yang dikeluarkan dari bibirnya. Hanya air mata yang terus mengalir dari matanya yang telah memerah dan sembab.
“Ada yang ingin dikatakan atau ditanyakan Aliyah?”, Om Ahmad bertanya. “Om.. Te, Aliyah anak siapa?” “Hai… ada apa denganmu?”, sahut Te Ahmad. Sambil menangis Aliyah terus bertanya. “Om dan Tante pasti tahu, Aliyah anak siapa? Tante adalah bidan, pasti tahu. Ayah Bunda punya golongan darah O, sedangkan Aliyah… golongan darah A”
“Aliyah…” Te Ahmad segera mendekat memeluk Aliyah dan menenangkan Aliyah. Setelah ia mulai tenang Te Ahmad bertanya “Boleh Tante tanya?” Aliyah mengangguk. “Kapan Aliyah melakukan tes darah?” “Tadi siang waktu ayah butuh donor darah. Golongan darah bunda cocok tetapi suster tidak mengijinkan karena bunda sedang agak demam, lalu Bunda kembali ke ruang ICU. Aliyah menemui suster untuk mendonorkan darah. Kata suster, golongan darah Aliyah A. Bukankah itu tidak mungkin? Te.. apakah Aliyah anak angkat atau bayi yang tertukar?
Tangis Aliyah kembali menjadi jadi. Kali ini tantenya tampak mengusap air mata. Om Ahmad terdiam dengan mata berkaca kaca. “Aliyah.. Om dan Tante akan mencari tahu. Tolong jangan menangis lagi. Tetaplah jadi Aliyah kami yang dulu”.
Tiba tiba terdengar ketukan pintu rumah. “Assalamualaikum” “Waalaikumsalam”, sahut Om Ahmad. “Sore pak, kami teman teman Aliyah. Aliyah ada?”, tanya Sisca “Oh ya, ya, ada, ayo masuk”.
Sementara keempat sahabat itu berada di ruang tamu, Om dan Tante Ahmad berunding sangat serius. Tampak mereka berbeda pendapat. Lalu mereka putuskan untuk ke Rumah Sakit.
Ketiga teman Aliyah saling bertatap mata. Mereka sadar harus menjaga sikap dan berusaha mengerti kesedian Aliyah karena Ayahnya dirawat di Rumah Sakit. “Aliyah.. gimana kondisi Ayah?”, tanya Sisca. “Ayah masih di ruang ICU, tadi butuh transfusi darah. Aku pulang karena menurut dokter Ayah akan segera sembuh”. “Ayo kita doakan Ayah segera sembuh. Dan Bunda, Aliyah selalu diberi kesehatan dan ketabahan”, kata Husein Husein memimpin doa. “Aamiin… Aamiin Ya Rabbal Alamin”, terdengar suara mereka berempat dan juga suara Om dan Tante Ahmad. “Terima kasih doanya”. “Aliyah, teman teman, Om dan Tante keluar dulu ya… tolong temani Aliyah dulu”, kata Te Ahmad. “Iya te”, jawab Aliyah.
Percakapan diantara mereka terus berlanjut. Mulai dari tugas tugas sekolah hari itu sampai dengan kejadian kejadian di kelas. Ada yang beda. Aliyah hanya sebagai pendengar. Tanpa komentar apapun hanya tersenyum hampa. Teman temannya mulai merasa ada yang beda dengan Aliyah. “Al, di RS ada beautiful nurse?”, tanya Ilham. “Hus, Ilham ada ada saja”, sahut Sisca dengan jengkel. “Ayo lah… kita hibur si Aliyah”, jawab Ilham. “Kamu sedang tidak enak badan?”, tanya Husein. “Aku baik, hanya…”, Aliyah tidak meneruskan kalimatnya. Ia mulai menangis. Diceritakannya semua kisah sedihnya di RS.
Dua jam berlalu. “Assalamualaikum”, kata te Ahmad dan bunda Aliyah. “Waalaikumsalam”, sahut keempat sahabat itu. “Bunda…”, kata Aliyah dengan lemas. “Ayah ditunggu Om. Kata dokter besok Ayah akan dipindahkan ke ruang perawatan, jadi masa keritis ayah sudah berlalu”, jelas bunda Aliyah sambil berjalan mendekati Aliyah dan duduk disampingnya. “Alhamdulillah”, sahut mereka berempat. “Terima kasih ya teman teman”, kata bunda Aliyah. “Ya, sama sama bunda. Sekarang kami pulang dulu”, kata Sisca. Mereka berempat pun pulang.
“Aliyah… bunda dan tante ingin bicara sebentar. Tapi tolong dengarkan cerita kami dengan hati lapang”, kata bunda Aliyah. “17 tahun yang lalu ada sepasang suami istri yang tinggal di Banjarmasin. Mereka dikaruniai 2 putri kembar yang sangat cantik dan lucu. Sementata itu di Mojoagung ada sepasang suami istri yang sudah menikah 6 tahun tetapi belum dikaruniai anak. Karena rasa persaudaraan kedua pasang suami istri itu, maka mereka putuskan untuk berbagi kebahagiaan. Satu putri kembar mereka diasuh saudaranya. Putri itu diberi nama Aliyah. Sedangkan yang tinggal di Banjarmasin dinamai Alifa”.
“Maafkan kami sayangku”.
Jeritan tangis dan harupun pecah diantara mereka bertiga. Mereka saling berpelukan.
Cerpen Karangan: Rassya Endi Nawwar, SMPN 1 Puri Blog / Facebook: Rassya Gmg