Dinginnya malam menyelimuti rumah itu. Malam ini, Siti kembali ribut dengan Beno. Sudah kesekian kalinya mereka meributkan hal yang sama. Terus berulang. Pertengkaran ini bagai hujan badai yang tiada hentinya. Semakin lama percakapan ini, semakin deras.
“Ben, kamu harus mikirin bapak kamu juga, coba atur waktunya” terdengar suara dari arah kamar. “Aku ga bisa, kamu harus ngerti dong. Kerjaan aku di bank lagi banyak banget. Ga bisa aku tinggalin” ucap Beno. “Ya ga ditinggalin-“ “Udahlah, aku capek. Udah malem juga” Potong Beno.
Beno tak selalu begini. Sebenarnya Beno adalah sosok yang pengertian dan sosok yang penyayang, apalagi kepada anaknya. Beno sangat sayang kepada anaknya. Beno bagai cinta pertama untuk anaknya. Tapi ketika bicara mengenai bapaknya, Beno selalu mempunyai ego yang tinggi. Seakan argumen lain tidak perlu pertimbangkan.
Pagi berikutnya Siti membantu Beno untuk berangkat kerja. Walaupun kemarin malam mereka bertengkar. Namun, Siti tetap bersedia untuk membantu Beno.
“Besok aku ada acara kantor.” Ucap Beno di tengah aktivitas mereka berdua. “Keluar kota.” Lanjutnya Singkat. “Kok mendadak Ben?” Tanya Siti. “Engga, ga mendadak. Baru ngomong aja.” Jawab Beno sembari memasukkan barang ke dalam tas. “Kok kamu ga mikir buat kabarin aku? Aku istri kamu loh Ben, aku perlu untuk tau.” “Ya gimana, setiap ngobrol selalu bahas bapak. Bapak lagi bapak lagi.”
Hubungan Beno dengan bapaknya sebenarnya sangat dekat. Mereka selalu melengkapi satu sama lain. Beno melihat ayahya sebagai sosok yang ia teladani. Tetapi semakin berjalannya waktu, Beno semakin bertumbuh besar. Ego Beno pun terus bertambah. Beno sendiri adalah seorang anak yang nakal, dan cenderung susah untuk diatur. Sedari Beno kecil mereka memang sering berbeda pendapat. Semakin Beno bertumbuh besar, hal-hal kecil bisa jadi perdebatan besar dengan perbedaan mereka. Mereka berdua sosok yang dominan, dengan begini mereka memang sulit untuk mengalah kepada satu sama lain. Dan semakin bertumbuh besarnya Beno, ia semakin jauh dari bapaknya. Ia merasa akan selalu bertengkar dengan bapaknya. Hal ini membuat Beno merasa bahwa tidak ada gunanya berbicara kepada bapaknya. Akhirnya pun selalu sama.
“Ben itu bapak loh. Bapak kamu. Ngobrol lah Ben, jangan sibuk kerja terus.” Jawab Siti. “Kan, bapak lagi. Udah ya aku ga mau telat. Yang penting udah aku udah ngomong.” Jawab Beno sambil berlalu. “Hati-hati Ben.”
—
Setelah Beno pergi, Siti lah yang mengurus semua di rumah. Mulai dari memasak hingga bersih-bersih. Bahkan Siti juga mengurus anaknya, yang saat itu berusia tiga tahun, bernama Lara. Di rumah Siti juga mengurus bapak. Ayah Beno. Bapak Beno adalah seorang polisi yang sudah pensiun. Dan sekarang bapak Beno menghabiskan waktu sehari harinya di rumah, bahkan di waktu luangnya ia juga suka bermain golf. Bapak Beno memang seorang yang aktif.
Di tengah aktivitas Siti. Siti teringat bahwa dia belum menanyakan kapan Beno akan pulang. Tadi pagi ia terlalu sibuk untuk menyiapkan beno, dan berberes rumah. Belum lagi pagi tadi ia yang sempat bertengkar kecil dengan Beno saat membicarakan tentang acara kantornya di luar kota. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya, Siti memutuskan untuk menelepon Beno. Sudah kesekian kalinya ia telepon, tapi tetap saja Beno tidak mengangkatnya.
Waktu berlalu, Siti akhirnya menyerah untuk menelepon Beno. Siti berpikir bahwa Beno lagi sibuk dengan pekerjaannya. Dan berharap Beno akan menelepon balik saat sudah selesai. Beberapa saat kemudian, dugaan Siti benar. Beno menelepon Siti.
“Haloo, ada apa Tii? Maaf aku ga liat kamu nelfon tadi.” Sambut Beno. “Hi Ben, gapapa. Aku lupa nanya tadi. Kamu berapa lama ke luar kotanya?” Tanya Siti. “Aku kurang tahu pastinya sih, tapi harusnya malam tahun baru aku pulang.” “Oh iya aku udah jalan pulang ya tii.” “Oh ok Ben, kalo gitu matiin aja telfonnya. Kamu hati hati yaa.” “Ok tii.”
—
Setelah Beno pulang kerja, Beno langsung makan malam buatan Siti. Beno makan bersama Siti, Bapak, dan juga anaknya, Lara. Di meja makan suasananya sangat hening. Hanya terdengar suara bertemunya alat makan, dengan piring. Akhirnya Siti membuka pembicaraan.
“Liat nihh Ben, Lara udah mulai makann sendirii loh.” Seru Siti. “Iyaa keren banget nihh.” Jawab Beno. “Abis makan nantii Lara main yaa sama ayah.” Ajak Beno. “Kok bisa? dari tadi Lara makan ga di liat.” Ketus bapak.
Mendengar bapak yang berbicara seperti itu Beno diam. Ia tidak mau bertengkar dengan bapak di depan anaknya. Siti yang mengerti situasi pun langsung mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Eh yukk dessertnya, Lara mau cakenya kan yaa?” “hihi iyaa mauu cakee.” Jawab Lara dengan tertawa.
—
Pagi harinya berjalan seperti biasa. Siti membantu Beno untuk bersiap-siap. Tetapi pagi ini ada yang berbeda. Bapak keluar kamar. Bapak sangat jarang sekali keluar kamar di pagi hari, biasanya ia masih berada di kamarnya sekarang.
“Eh pak sudah bangun ya.” Ucap Siti. “Beno mau berangkat?” Tanya Bapak. “Iya pak, tapi nanti pulangnya lebih cepat dari biasanya. Kan Beno akan keluar kota malam ini.” Jawab Siti. “Oh ya ok hati hati.”
Mendengar itu semua Beno disana hanya terdiam. Ia memperhatikan semua. Ia masih tidak percaya “Bapaknya baru saja menanyainya?” pikirnya. Walaupun tidak secara langsung tapi, Beno masih kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan Bapaknya.
—
Tiba saat malam Beno pun berangkat. Sanking sibuknya Beno, saat ia tiba di sana pun ia tidak sempat untuk mengabari Siti. Siti yang berada di rumah terus menunggu kabar dari Beno. Sampai akhirnya keesokan harinya, baru terdengar kabar dari Beno. Beno mengabari Siti lewat pesan yang ia kirimkan di siang hari.
Tak terasa sudah seminggu ia berada di luar kota. Semakin hari semakin dekat dengan malam tahun baru.
Kringgg!! suara telepon berdering. Saat mendengar itu Beno melihat bergegas melihat hpnya, itu dari bapak. Beno siap-siap untuk dimarahi, atau mungkin harus bertengkar lagi
“Halo, Beno kamu jadi pulang kan malam tahun baru?” Tanya bapak. Mendengar suara bapak Beno terkejut. Iya ini adalah kali pertama mereka berbincang selain meributkan sesuatu.
“Aduhh, Beno gak tau ya pak. Nanti bisa atau engga, soalnya kerjaan disini masih banyak banget.” Jawab Beno. “Nanti Beno usahain ya pak.” Lanjutnya. “Ohh ok kalo gitu Ben.”
Percakapan mereka selesai, sebenarnya Beno sudah ingin pulang selain Beno sudah rindu dengan Lara, anaknya. Dan juga hubungan ia dengan bapaknya yang sepertinya membaik. Beno juga tidak yakin saat itu. Tapi ia tahu seharusnya ia dan bapaknya harus lebih dewasa lagi terhadap satu sama lain.
Malam tahun baru pun tiba. Saat hendak untuk tidur setelah hari yang panjang. Namun baru beberapa saat Beno berbaring, telepon Beno Berdering. Setelah ia cek ternyata itu dari Siti, Istrinya. Beno pun langsung bergegas mengangkatnya.
“Ben, kamu jadi pulang kan malam ini?” Tanya Siti. “Kayaknya engga deh Tii, mungkin dua hari lagii” Jawab Beno. “Loh diperpanjang? Ben bapak akhir akhir ini drop terus, nanyain kamu juga. Semoga kamu bisa pulang secepatnya ya.” Jelas Siti. “Ah udah kamu tenang aja, paling cuma sakit biasa aja. Iya aku usahain kok.” Jawab Beno.
Telepon itu berakhir. Ketika Beno ingin melanjutkan tidurnya, telepon kembali berdering. Kali ini dari bapak. “Halo Ben, kamu kapan pulang nak?” Tanya bapak. “Beno belum tahu pak, disini di perpanjang terus.” Jawab Beno. “Oh yasudah, hati-hati ya nak.” Jawab bapak.
—
Di pagi harinya Beno dikejutkan dengan semua telepon dan pesan yang ia dapat. Pesan paling banyak ia dapatkan dari Siti. Siti mengabarkan bahwa bapak masuk rumah sakit. Dan pesan terakhirnya adalah bapak telah tiada. Beno kaget. Beno masih tidak percaya dengan apa yang ia liat. Seketika ia merasa dunianya hancur saat itu. Beno kesal. Beno kesal mengapa di saat diterakhir bapaknya ia tidak ada di sisinya. Bahkan Beno sempat menyepelekan informasi sakit yang sedang di alami bapaknya.
Saat itu juga Beno memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah hari sudah malam. Kondisi rumah Beno sudah dipenuhi banyak orang. Semua orang datang dan menyampaikan belasungkawa mereka. Beno Mencari Siti dan langsung memeluknya. Beno menyesal. Mengapa ia tidak meluangkan waktunya bersama bapak? Sekarang semuanya terlambat. Semua sia-sia. Beno merasa seharusnya ia mendengarkan omongan istrinya, untuk bisa membagi waktu antara keluarga dan pekerjaannya. Namun sekarang nasi sudah menjadi bubur. Beno tak bisa melakukan apa apa lagi untuk mengubah kondisi bapaknya. Tapi Beno sadar dari peristiwa ini, ia ingin lebih banyak waktu bersama keluarganya. Karena saat ini yang ia rasakan adalah penyesalan.
Cerpen Karangan: Ahmad Zackafzal Haydar Ananta, SMP Tarakanita 1 instagram : @zackafzalhaydar