Bu Umi adalah ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pedagang gorengan keliling. Tak hanya gorengan, ia kadang juga menjual nasi uduk dan beberapa makanan ringan hasil buatan tangannya sendiri.
Dia hidup berdua bersama anak semata wayangnya. Namanya Bayu, Lembayung Nakula. Rumah yang terbuat dari bambu adalah tempatnya dan Bayu tinggal. Genteng yang terbuat dari triplek sudah tak layak pakai. Banyak bagian yang bolong hingga ketika hujan, rumahnya akan tergenang dan mereka akan mengungsi di rumah tetangga. Bukannya malas untuk memperbaiki, hanya saja Bu Umi tidak memiliki cukup uang untuk merenovasi gubuk tuanya.
Untuk makan sehari-hari saja susah. Bu Umi dagang mulai dari jam 8 sampai sore, kadang sampai malam. Yang terpenting dagangannya laku. Jika tidak, maka dia tidak bisa membeli makanan untuk dirinya dan anaknya makan. Tak jarang mereka berpuasa karena kehabisan beras dan dagangan yang sepi.
Bayu duduk di bangku SMA kelas 1. Sebentar lagi dia akan ualangan semester, namun dia belum berani bilang ke Ibunya karena dia tau Ibunya tidak memiliki uang untuk membayar uang semester.
“Gimana aku bilang ke Ibu? Ulangannya lima hari lagi..” Bayu menatap surat yang diberikan wali kelas. Otaknya berputar, mencari cara bagaimana dia bisa membayar uang itu tanpa merepotkan sang Ibu.
“Bayu?” “Eoh! Astaga, Paman mengagetkanku!” sentak Bayu yang terlonjak. Paman Sam tergelak, “Kamu ngapain masih disini? Ini udah sore loh, kamu gak pulang? Nanti dicariin Ibumu.” Bayu menunduk lesu, “Aku lagi bingung, Paman,” ucapnya
Paman Sam menatap Bayu, “Ada masalah? Coba cerita, siapa tau Paman bisa bantu.” celetuknya, sekarang Paman Sam duduk di samping Bayu.
Bayu menghela nafas panjang, “Sebentar lagi ualangan semester. Kata bu guru, yang belum lunas admistrasinya ndak bakal bisa ikut ulangan. Aku bingung bilang ke Ibunya, secara dagangan Ibu sepi. Ibu pasti ndak ada uang..” jelas Bayu menatap sendu kakinya yang berayun.
Paman Sam tersenyum kecil, dia menepuk pelan kepala Bayu, membuat pria itu mendongak, “Memangnya berapa biaya Administrasinya?” Bayu membuka kertas tadi, “Disini tertulis Rp 120.000 untuk uang semester. Dan harus melunasi uang SPP full satu tahun. Bulan ini aku belum bayar, berarti 3 bulan karena Oktober aku juga belum bayar. Total keseluruhannya Rp 480.000.” jawab Bayu menghitung jumlah biaya administrasinya. Sangat mahal bukan?
“Ya sudah, kamu pulang saja. Untuk biaya biar Paman saja yang bayar.” ucap Paman membuat Bayu terkejut. Pria itu praktis menggeleng. “Tidak usah Paman! Paman sudah sering membantu kami, kami bahkan belum sedikit pun membayar semuanya. Biar nanti Bayu coba bilang pelan-pelan ke Ibu, Bayu juga bakal cari kerja buat bantu bayar. Sekali lagi tidak usah Paman.” tolak Bayu. Benar, Paman Sam sudah banyak membantu dirinya dan juga sang ibu. Sudah cukup semuanya, dia tidak ingin membebani orang lain.
“Hey, kamu ini seperti ke orang lain saja. Aku sudah menganggap kamu sebagai anakku, jadi biarkan aku membiayai administrasimu yang kurang itu. Kamu tidak udah khawatir, saya ikhlas membantu. Anggap saja ini balas budi saya karena kamu telah menyelamatkan nyawa saya saat itu,” ucap Paman Sam.
Bayu menghela nafas panjang, “Itu sudah lama berlalu, Paman. Lagian Paman selamat bukan karena aku, tapi karena takdir Tuhan yang masih mengizinkan Paman untuk hidup. Sudah ah Bayu mau pulang dulu!” balas Bayu tak setuju dengan ucapan pria tua itu. Kecelakaan itu sudah beberapa tahun yang lalu, dan Paman Sam masih mengkaitkan itu ketika akan membantu dirinya. Dia sangat tidak enak.
Saat itu mobil yang ditumpangi Paman Sam jatuh ke jurang. Paman Sam terguling hingga tercebur ke sungai yang mengalir hingga dekat rumahnya. Dia yang sedang membantu Ibu mencuci baju di sungai tak sengaja melihat tubuh Paman Sam yang mengambang, dia pikir Paman Sam sudah meninggal. Namun ternyata pria blasteran Korea itu masih hidup. Dan selama dia tak sadarkan diri, Bayu dan Ibunya yang merawat Paman Sam hingga pulih seperti sekarang.
“Lagi pula aku dan Ibu ikhlas membantumu.” lanjut Bayu yang sudah siap akan pulang ke rumah. Paman Sam buru-buru mencegah. “Aku juga ikhlas membantu kalian, sekarang antar aku menemui Ibumu. Aku akan bilang sendiri kepadanya.”
Bayu mengalah, dan disini mereka sekarang. Duduk di kursi yang terbuat dari kayu didepan rumah Bayu. Paman Sam, Bu Umi, dan Bayu yang sudah mengganti pakaiannya duduk berhadapan.
“Jadi kedatangan Paman ke sini karena ingin membantu biaya sekolah Bayu?” tanya Bu Umi saat Paman Sam selesai menjelaskan semua maksud dirinya kesini.
Paman Sam mengangguk, “Benar Bu Umi. Saya harap anda berkenan, karena saya melakukan ini segenap hati saya, saya ikhlas dan tak menuntut balas budi dari anda.” jawab Paman Sam.
Bu Umi menghela nafas panjang, Paman Sam sudah sering membantunya. Apakah dia pantas menerima bantuan kali ini? “Tapi anda sudah banyak membantu, Paman.. Saya tidak enak.” ucap Bu Umi. Paman Sam tersenyum, “Tidak perlu sungkan, Bu. Saya juga sudah mengirim arsitek untuk merenovasi rumah anda dan Bayu. Seenggaknya lebih layak untuk ditinggali.” ucap Paman Sam mengagetkan Bayu begitu pula Bu Umi.
“Jangan berlebihan Paman! Tarik semuanya!” kesal Bayu yang sudah tak habis pikir dengan Paman Sam.
Paman Sam tertawa, “Tidak perlu kaget seperti itu, saya ikhlas melakukan ini semua. Saya harap kalian menerimanya karena saya tidak suka penolakan.” final Paman sam, kemudian laki-laki itu berdiri dan berpamitan. Memasuki mobil mewahnya dan melaju meninggalkan Bu Umi dan Bayu.
“Boleh kita sebut rezeki, Bu? Tapi Bayu tidak enak, dia sudah banyak membantu kita.” celetuk Bayu.
Bu Umi tersenyum, dia merangkul Bayu, “Anggap saja begitu. Sekarang kamu hanya perlu belajar, jangan mengecewakan orang yang sudah membantu kita, belajar dan biar bisa dapet nilai yang bagus, balas kebaikan Paman Sam dengan kamu yang berhasil.” jawab Bu Umi yang mendapat anggukan dari anaknya.
Paman Sam sangat baik. Bayu berjanji, jika dia sudah sukses nanti, Bayu akan membalas semua kebaikan Paman Sam. Sekarang, Bayu akan membalas kebaikan Paman dengan mencapai nilai yang bagus. Dengan itu Paman akan bahagia kan? Sekai lagi, terimakasih Paman!
Cerpen Karangan: Tanisa Putri Valencia