Sayup sayup kudengar suara azdan berkumandang karena memang letak rumahku agak jauh dari masjid. Perlahan kusibak selimutku meski udara pagi saat ini sangat dingin menggigit. Kupaksa tubuh ini bangkit dan kuseret langkah kaki meski mata masih agak terpejam kubasuh muka ini dengan air agar mataku bisa cepat terbuka. Kulanjutkan langkahku menuju dapur yang tidak terlalu jauh dari kamarku, kuambil cangkir kutuang air mendidih aroma kopi menyeruak diantara kepulan asap tanda masih panas pelan pelan kusruput dan kunikmati sampai tandas tak tersisa. Kantuk pun sirna, kupakai sarung dan baju koko tak lupa peci yang sudah bertengger di kepalaku dan semerbak minyak wangi non alkoholku yang meski harga murahan, setidaknya membuat aku jadi merasa gagah dan wangi, sebelumnya aku sudah ambil wudlhu terlebih dahulu.
Kukayuh sepedaku memecah suasana yang masih hening jalan yang berbatu membuat sepeda mengeluarkan suara riyuh glodak… glodak… glodak… aku tak peduli takutnya suara iqomah segera berkumang. Di penghujung jalan sepeda kuhentikan, tiba tiba ada bayangan tinggi besar disana yang membuat nyaliku agak menciut entah sosok manusia atau hantu. Aku jadi ragu antara maju atau malah berbalik arah untuk pulang saja, tapi nampak sosok itu berjalan semakin mendekat. Keringat dingin sudah mengalir deras padahal udara masih dingin mau lari pun sudah tak mungkin lagi dengan berharap cemas dan pasrah sosok itu semakin kian mendekat, huh setidaknya aku sudah merasa tenang ternyata sosok itu adalah manusia yang sedang menggendong tas ransel yang kelihatanya sangat berat membebani pundak serta tangan kanan kiri yang penuh dengan tentengan kardus yang diikat rafia dengan rapi.
“Maaf dik pasti kamu takut melihat bapak jangan khawatir bapak manusia bukan hantu dan bapak juga bukan orang jahat, hanya saja bapak sedang kebingungan bisakah kamu membantu bapak?” Menyapaku, lega rasanya dengan perkataan bapak tadi lalu aku turun dari sepedaku dan kutanyakan, “Apa yang bisa saya bantu pak?” “Begini dik bapak sudah sepuluh tahun tidak pulang kampung karena merantau jauh di seberang tapi setelah sekian lama kepergian suasana kampung ini sudah berubah tidak seperti dulu lagi, sehingga bapak agak bingung mencari rumah keluarga bapak”
Entah kenapa mendengar pengakuan bapak tadi hatiku mendadak berdesir, entah rasa apa aku juga tidak tahu lalu kutanya bapak mencari rumah siapa bapak tadi menjawab rumah Ibu Haryati sontak aku kaget dan terperanjak hampir sepedaku lepas dari tanganku. Bapak itupun sampai ikut kaget dan bingung atas reaksiku, aku diam membisu dengan berjuta petanyaan. Lantas bapak itu menyadarkan lamunanku.
“Iya pak saya tahu rumah Bu Haryati” Jawabku “Apakah adik bisa mengantarkan saya ke rumah Bu Haryati” “Bisa pak” jawabku langsung “Namun apakah tidak sebaiknya kita ke masjid dulu pak, kita sholat subuh berjamaah dulu setelah itu nanti saya antar.”
Mungkin karena beliau melihat penampilan saya yang sudah rapi akhirnya setuju untuk ikut ke masjid melaksanakan sholat subuh berjamaah. Iqomahpun berkumandang setelah selesai bapak tadi ambil wudlhu dan ikut berjajar rapi mengikuti urutan shaf dan kami sholat dengan kusyuknya. Setelah sholat selesai kuajak bapak tadi mengikutiku, kardus yang tadi dibawa kuletakan di boncengan sepedaku agar beliau tidak berat. Selama perjalanan kami berbincang sambil kutanyakan asal muasal beliau merantau dan akhirnya tidak pulang selama sepuluh tahun. Aku mendengarkannya dengan khidmat, tak terasa sampai juga di depan rumah Bu Haryati.
“Pak ini rumah bu haryati, coba bapak ketuk pintunya mudah mudahan sudah bangun karena sudah menjelang pagi” “Iya dik, tok.. tok… tokkk” terlihat lampu ruang tamu menyala tanda tuan rumah sudah terbangun, tak lama suara pintu terbuka terdengan pertanyaan siapa ya dari dalam rumah. “Haryati… apakah kamu ini Haryati” Tiba tiba bapak tadi sudah berderai air mata dan lari merengkuh tubuh Bu Haryati yang belum sadar sepenuhnya.
“Kamu si… si… siapa?” Kemudian bapak itu melepaskan pelukannya dan berpindah memegang kedua tangan Haryati. “Apakah kau sudah lupa denganku dik Haryati?” Bu Haryati masih saja bingung dan memandangi wajah laki laki itu yang memang tak nampak jelas karena lampu teras yang agak redup. “Aku Seno dik, aku Seno suamimu” “Se.. se.. Seno, tak mungkin.. tak mungkin, bukankah engkau sudah mati?” “Aku masih hidup dik aku belum mati”
Aku hanya diam terpaku menyaksikan adegan mereka berdua, tak terasa air mataku turut berderai.
“Lantas dimana anak kita dik?” Bu haryati lalu memandangku dengan berurai air mata tidak satu katapun terucap darinya, perlahan ku mendekat dengan kaki yang masih bergetar dan penuh dengan pemikiran. Diraih tanganku dan disinilah aku mengetahui laki-laki yang aku tolong adalah bapak kandungku sendiri yang selama ini kukira sudah mati. Tanpa ragu ia langsung memelukku dengan penuh penyesalan dan kerinduan.
Aku masih terdiam ini seperti mimpi, lalu kulepaskan pelukan dan berlari menuju kamar dan mungkin saja aku akan terbagun. Namun nyatanya ini bukan mimpi ini nyata, sosok bapak yang selama ini aku rindukan telah kembali. Tanpa pikir panjang kuberlari menghampiri beliau kupeluk erat kunyatakan bahwa aku merindukanya.
Cerpen Karangan: Hannifia Dalia Azza Mahfira Ttl : Wonogiri, 06 Januari 2002 Jenis kelamin: Perempuan Alamat: Kampung Baru rt 05/ rw 01, Purbalingga kidul, Kab. Purbalingga