Sesampai di rumah sakit mereka berdua langsung naik ke kamar inap ibunya yang berada dilantai 4. Ketika sampai dan masuk Abimara langsung meletakan tas dan kopernya tanpa basa-basi lagi langsung memeluk ibunya dengan erat. “ibukk, apa kabar? Abira kangen banget sama ibu sudah 4 tahunan aku ndak pulang untuk menjumpai ibu. Gimana keadaan ibu sekarang?” Abimara menangis melihat kondisi ibunya sekarang. “nak, ibu juga sangat rindu sekali dengan kamu, gak kerasa ya 4 tahun kita hanya panggilan video lewat hp adikmu. Seperti inilah keadaan ibu sekarang, ibu menunggu kamu datang nak akhirnya datang juga. Tetapi kondisi ibu juga sudah mulai membaik, dokter bilang besok ibu sudah boleh pulang nak.” Ibu juga menangis sekaligus terharu anak tertuanya datang menjumpainya. “oh ya nak, kamu disini sampai kapan? Ibu sih berharapnya sebulan.” Ibu bertanya sekaligus bercanda. “aku mengambil cuti hanya dua minggu dan itu tidak boleh lebih seharipun kalo lebih aku bisa kena tegur dan gaji dipotong karena tak sesuai perjanjian awal “oh, ndak apa nak perjumpaan singkat pun ibu sudah senang karena bertemu kamu dan sudah mengetahui kondisi kamu sekarang.” Ibu berbicara seperti orang menggigil.
Keesokan hari.. Ibu Abimara pun diperbolehkan pulang dan dokter berpesan supaya tidak melakukan aktivitas apapun di rumah jadi hanya boleh berbaring, duduk seperti layaknya orang yang tak berdaya melakukan apapun. Disaat itu Abimara gentian mengurus ibunya yang mungkin sudah tua jadinya memiliki sifat seperti anak kecil lagi seperti saat Abimara suapin dan ibunya memuntahkan ke baju Abimara, buang air kecil/besar dicelana tanpa sepengetahuan orang rumah sehingga menimbulkan bau yang tak sedap. Selama disana Abimara mengurus ibu seperti memandikan, memberi makan, membantu ibu jualan dan ternyata tak seperti yang dibayangkan Abimara bahwasanya tak sesulit ini mengurus ibunya namum ia salah. Setelah seminggu ia tinggal disana ia sudah mulai mersakan kecapean, ia lebih memilih kerja lembur sampai malam daripada mengurus seperti ini sangat melelahkan dan tak sesuai ekspektasinya.
“ternyata sulit ya mengurus ibu setiap hari dengan kondisinya yang seperti ini gak kebayang kalian berdua dan keponakan lainnya secapek apa ngurusin ibu.” Abimara menghela napas lagi karena merasa tak sanggup ngurusin ibunya tiap hari seperti ini. “iyo mbak, sekarang ibu sudah bertingkah seperti anak kecil ya kita maklumkan karena ibu juga sudah tua mbak, saya tau mbak belum pernah mengurus ibu seperti ini, saya juga tau pasti mbak’e kecapean kan.” “aku lelah dek ndak biasa dengan kebiasaan seperti ini, lebih baik saya di kantor sampai lembur daripada seperti ini. Saya sepertinya mau pulang besok saja.” “saya tau mbak’e lelah dengan mengurusi ibu seperti ini tapi mohon lah mbak besok jangan pulang, kasihan ibu beberapa minggu menunggu mbak Abira datang menjenguk dan mengurusnya.” Adik Abira menjawab dengan muka agak kesal dan memohon. “huuuffttt” Abimara menghela napas lagi.
Setelah kondisi ibu mereka baik-baik saja tetapi entah kenapa mereka harus balik ke rumah sakit yang ibunya dirawat karena ibu mereka pingsan ketika berjalan sendirian untuk mengambil minum. Dokter bilang bahwa ibu kumat lagi dan memasuki stadium dua dan memasuki fase lebih parah dari sebelumnya, mereka semua yang ada di ruangan itu kaget terutama Abimara yang terkaget sekaget-kagetnya dan mengeluarkan air mata kalo soal urusan mengenai ibu Abimara sangat cengeng. Selama di rumah sakit hanya Abimara yang menjagai ibu karena adik dan adik iparnya pulang ke rumah untuk jualan kembali.
Di momen tersebut ibu berkata kepada Abimara “nak maaf ya ibu jadi meroptkan kamu yang seharusnya kamu sekarang berada di kantor dan bekerja seperti biasa disini malah mengurusi ibu, ibu tahu pasti kamu ndak tahan untuk ngurusin ibu seperti ini.” Ibu menangis saat berkata hal tersebut. “jujur sih, iya bu. Aku capek kalo tiap hari ngurusin ibu begini apalagi aku tidak biasa, aku yang biasa di kantor duduk manis, mengerjakan tugas berkas, jalan-jalan bersama teman tapi di situasi yang terpepet ini harus mengurusi ibu. Aku sih ndak masalah jikalau mengurusi ibu tapi kalau caranya tiap hari begini aku ndak tahan bun dak kuat, capek juga.” Abimara menjelaskan sambil menangis. “sebenarnya aku ingin pulang kemarin tapi adik melarangku agar ndak pulang sebelum waktu yang kujanjikan tapi aku ndak tahan bu, huufftt” (menghela napas lagi). “ibu tahu nak, ibu tahu kok karena adikmu menceritak perihal dan keluhanmu pada ibu, ibu tahu semuanya tentang keluh kesah kamu tetapi ibu mohon ya pulang sesuai waktu yang kamu janjikan dan mohon bersabar dalam mengurusi ibumu yang sekarang ndak bisa berbuat apa-apa lagi. Ndak apa kalau kamu mau mengeluh setiap orang punya keluhan, kerisihannya masing-masing dan itu wajar saja.” Ibu berbicara sambil menangis. “ya mau gimana lagi bu, aku mengharapkan ibu sehat dan pulih tidak seperti agar kehidupan dan aktivitas kita normal kembali tapi kapan Tuhan akan membuat mukjizat untuk ibu? Kapan bukk?” Abimara kesal dan tak tahan dengan situasi tersebut dan berharap Tuhan membuat mukjizat untuk ibunya. “sabarlah nak pasti Tuhan akan memberikan waktu yang indah untuk ibu tetapi tidak sekarang kita sebagai manusia hanya bisa menunggu waktu yang pas ibu berharap kamu bisa bersabar siapa tau seminggu lagi sehat.” Ibu berusaha menenangkan Abimara dan membuatnya yakin atas kelu kesahnya. “siapa tahu Tuhan akan memberi jawaban kepada kamu atas keluh kesah kamu saat ini terhadap ibu kita tunggu saja nak mukjizat Tuhan, karena sesungguhnya Tuhan tak akan meninggalkan umatnya yang sedang kesulitan dalam hal apapun ia akan selalu bersama hambanya yang bersabar dalam menghadapi keluh-kesah, intinya sabar dan selalu berdoa.” Ibu menangis dan tahu kalau umurnya tak akan Panjang karena minggu yang lalu di rumah sakit sebelum Abimara datang, dokter prediksi ibu tak bertahan dari sebulan (paling lama).
Seminggu sudah ibu di rumah sakit tetapi kondisi ibu makin drop, wajah semakin memucat dan makin kurus, disitu saya dan keluarga saya tahu bahwasanya umur ibu tak panjang lagi. Dan saya baru tau mengenai hal tersebut karena adik ipar menelepon saya beberapa hari lalu dan saya sedih mendegarkannya. Kondisi ibu semakain parah, kami semua tak tahu harus bagaimana lagi mengatasinya.
Adik saya pergi ke gereja yang jaraknya tak jauh dari rumah, gereja itulah tempat dimana saya dan adik saya dibaptis disini serta setiap minggu kami misa disana. Ia pergi kesana untuk memanggil pastor untuk memberikan sakramen pengurapan orang sakif karena kondisi ibu sudah parah dan ia tak berdaya lagi bahkan untuk makan dan minum pun susah. Keluarga saya menyuruh adik agar ibu diberikan sakramen pengurapan orang sakit bertujuan untuk menguatkan kondisi ibu sendiri, serta mempersiapkan bekal baginya jikalau ibu dipanggil Tuhan supaya ia tenang dan tidak cemas.
Sekitar satu jam kami menunggu akhirnya adik saya kembali ke rumah sakit bersama pastor yang akan memberikan sakramen tersebut pada ibu. Pemberian sakramen berjalan dengan lancar, adik saya beserta keluarga menangis menitihkan air mata tetapi tidak dengan saya yang hanya melihatnya dengan mata yang kering serta percaya bahwa ibu akan sehat dan pulih kembali.
Setelah pemberkatan selesai tinggalah saya, adik ipar, dan adik yang duduk disebelah ibu lalu ibu berkata kepada kami “terimakasih ya nak selama ini kalian sudah baik pada ibu, maafkan ibu kalau sering menyusahkan kalian dan kalian tetep sabar mengurusi ibu yang sudah sakit parah ini. Bagi kamu Abira terimakasih sudah merawat dan menemani ibu disini, ibu tahu pasti kamu sebal melakukan ini dan tak terbiasa tetapi ibu sangat bersyukur kamu sudah mau mengurusi ibu, menemani. Maafkan ibu ya tiap hari merepotkan kamu.” Ibu menangis tersedu-sedu seakan ia tahu bahwa umurnya sudah tak lama lagi. Aku yang sudah capek, pusing serta timbul keinginan untuk balik ke Jakarta lagi karena sudah badmood hanya mengatakan “iya bun dak apa-apa.” Dengan muka datar tanpa ekspresi.
Dua hari setelah ibu mendapatkan sakramen pengurapan, disitulah saya hendak balik ke Jakarta menggunakan bus karena ingin sambil refreshing pun kaget karena hp bergetar dan ternyata yang menelepon adalah adik saya. “halo kak, apakah kak sudah sampai terminal bus?” dia bertanya sambil menahan tangisan. “belum, baru mau otw ke terminal, ada apaan? kenapa?” saya bertanya dengan tegas. “akum au kasih tahu, tapi aku ndak sanggup kak rasanya ingin ku teriak dan banting hp ini.” Ia menjawab sambil tersedak karena menahan air mata untuk keluar. “apa sih, kok kek orang nangis kamu? Ada apa sih, bicara yang jelas supaya aku ngerti.” “IBU MENINGGAL KAK!!!” ia jawab dengan teriak sambil melepaskan tangisannya. “APA, YANG BENER KAMU??? NDAK BERCANDA KAN?? YA AMPUN IBU~~~~~.” Aku yang kaget mendengarkannya serontak langsung menangis dirumah ibu.
Akupun bergegas menuju rumah sakit dan setelah aku masuk kamarnya, ternyata benar ibu sudah meninggalkan kami semua. Ia meninggal pada pukul 00.22 ketika sedang tertidur dan adik ipar saya mengetahuinya karena memegang tangannya yang sudah dingin, pucat dan mengecek napasnya dengan mendekatkan cerpen ke hidungnya dan benar ibu tak menghembuskan napas. Disitu adik ipar saya berteriak dan memanggil suster untuk cek lebih lanjut.
Keesokan harinya kami mengadakan acara untuk pemberkatan jenazah, tutup peti, disaat detik-detik tutup peti itulah saya merasakan sedih, tangisan, emosi yang luar biasa hebat. Saya sampai melarang untuk menutup peti jenazah ibu sampai memberontakan sehingga beberapa saudara saya sampai menghadang.
“ibu jangan pergi tinggalkan kami semua, jangan tinggalin aku buk. Aku menyesal ya Tuhan karena sudah bilang hal yang tak mengenakan kepada ibu saat sakit, aku nyesel Tuhan seharusnya saya tak bilang seperti itu pada ibu saya. Tolong kembalikan nyawa ibu ya Tuhan, saya tak sanggup saya menyesal.” Abimara menangis hingga teriak, tapi percuma semuanya sudah terlambat sangat amat terlambat.
Disaat penguburan peti saya menangis tak berhenti bersama adik saya, saya merasakan luka terdalam, merasakan cinta pertama saya telah pergi selama-lamanya. Lalu saya mengingat sebuah quotes yang berisikan “Tidak ada kata selamat tinggal untuk kita. Di manapun kamu berada, kamu akan selalu ada di hatiku” – Mahatma Gandhi
Cerpen Karangan: Gerardus Ragha Putra Situmorang Instagram: cocowatermelon_pass